Bab 1
“Rhea?” Mario menghampiri Rhea yang tengah membuat list apa saja yang harus disiapkan untuk ulang tahun nanti.
Ia lalu menoleh kepada Mario. “Iya, Mario? Ada apa?” tanyanya kemudian. Perempuan tangguh—ditinggal pergi oleh sang kekasih saat dirinya tengah mengandung Kaisan tiga tahun yang lalu.
Mario kemudian duduk di samping perempuan itu sembari mengulas senyumnya. “Aku nggak bisa ngasih hadiah yang mewah untuk Kaisan. Modal usahaku masih butuh banyak dan hanya bisa kasih ini buat dia.”
Mario memberikan kotak kado berukuran cukup besar kepada Rhea untuk Kaisan. Anak kecil itu akan berulang tahun ketiga tahun satu minggu yang akan datang.
Sebagai ibu yang bertanggung jawab dan sangat menyayangi anaknya itu, Rhea hendak merayakan acara ulang tahun anaknya di sebuah hotel mewah.
Perempuan itu lantas terkekeh pelan. “Ya udah sih, nggak ngasih juga nggak apa-apa. Yang penting nanti kamu hadir di sana, sebagai ayahnya.”
Mario lalu mengulas senyumnya. “Bahkan aku belum berani lamar kamu karena belum punya apa-apa. Sudah dua tahun padahal, aku ada di sini.”
Rhea lalu mengusapi lengan lelaki itu dengan lembut. “Yang penting kamu masih mau menemani aku dan Kaisan juga udah deket banget sama kamu. Bahkan menganggap kamu sebagai ayah kandungnya.”
“Aku senang, Rhea. Tapi, ada rasa tidak enak hati juga karena belum bisa jadi ayah yang baik buat Kaisan.”
Perempuan itu hanya menghela napasnya. Ia lalu menyimpan kado tersebut di atas tempat tidurnya.
“Udah, jangan terlalu memikirkan hal itu. Selama dua tahun ini aku nggak pernah minta kamu buat lamar aku. Yang penting kamu ada di sini, udah buat aku nyaman.”
Mario lalu mengulas senyumnya. “Terima kasih, Rhea. Oleh karena ini, aku selalu jatuh hati pada kamu.”
Rhea membalas senyum itu.
Tok tok tok!
“Permisi, Non. Ada telepon dari sekolahnya Kaisan.” ART yang bekerja di rumah Rhea masuk ke dalam kamar memberi tahu ada panggilan telepon dari sekolah Kaisan.
Rhea lalu menyambungkan telepon yang ada di ruang tengah itu ke telepon di dalam kamarnya.
“Selamat siang, saya dengan ibunya Kaisan.”
“Selamat siang, Ibu. Mohon maaf mengganggu waktunya. Apakah Ibu bisa ke sekolah sekarang juga? Anak Ibu, Kaisan tadi bertengkar lagi dengan teman satu kelasnya.”
“Apa? Ya ampun. Kaisan kenapa lagi. Baik, Bu. Saya segera ke sana.” Rhea lalu menutup panggilan tersebut.
“Ada apa, Rhea? Kaisan kenapa lagi?” tanya Mario tampak cemas.
Rhea menghela napas kasar. “Kaisan … berantem lagi sama teman kelasnya. Aku ke sekolah dulu. Kamu, lagi nggak ada kerjaan, kan? Tolong tulis nama-nama yang mau diundang ini, yaa.”
Mario mengangguk. “Beres!”
Rhea lalu menerbitkan senyumnya. “Thank you!” ucapnya lalu segera beranjak dari duduknya dan mengambil kunci mobil untuk menjemput anaknya yang lagi dan lagi bertengkar dengan teman satu kelasnya.
Lima belas menit kemudian, Rhea tiba di sekolah anaknya itu. Lalu masuk ke dalam kelas yang mana anak kecil yang sudah dipukul oleh Kaisan tengah menangis histeris.
“Sayang. Kamu kenapa lagi, heum? Kenapa temannya dipukul?” Rhea memegang kedua tangan anaknya itu sembari mengusapi rambutnya.
“Biasalah, Bu. Anak kecil kadang kalau diganggu pasti akan marah. Tapi, kali ini Kaisan benar-benar marah. Gaftan selalu mengganggunya, makanya Kaisan memukul wajahnya Gaftan.” Bu Ira memberi tahu kronologinya.
Rhea lalu memejamkan matanya sekejap dan menatap Kaisan lagi. “Minta maaf ya, Nak. Mami tidak pernah mengajarkan kamu untuk memukul teman kamu. Tidak boleh ya, Nak. Sekarang minta maaf!” titah Rhea dengan suara lembutnya.
Kaisan hanya menggeleng. Tidak berucap apa pun hanya melirik pada Gaftan yang masih menangis.
“Bu. Orang tuanya Gaftan juga dipanggil? Saya mau tanggung jawab dan meminta maaf,” ucap Rhea bertanya kepada Bu Ira.
“Masih di jalan, Bu. Ibunya katanya tidak bisa datang. Nanti ayahnya yang datang kemari.”
“Oh, iya. Biasanya, kalau dengan ayahnya tidak akan seribet dengan ibunya.” Rhea meringis pelan.
Bu Ira terkekeh pelan. “Ibunya Gaftan memang jarang mengantar dia ke sekolah, Bu. Yang sering mengantarnya ke sekolah itu ayahnya. Berangkat dan pulang pasti ayahnya yang menjemput.”
Rhea manggut-manggut dengan pelan. Ia lalu mengusapi pucuk rambut Gaftan dengan lembut. “Maafin Kaisan ya, Sayang. Nanti Tante beliin es krim. Mau?”
“Gaftan alergi s**u, Bu. Jangan diberi jajanan seperti itu.”
Rhea mengerutkan keningnya. Ia lalu menoleh dengan cepat kepada Gaftan dan menatapnya dengan lekat. Lalu menatap Kaisan lagi. Ada kesamaan dari wajah kedua anak itu.
“Ngomong-ngomong, karena Kaisan baru satu bulan sekolah di sini, dan saya selalu memikirkan ini. Mohon maaf sebelumnya. Tapi, wajah mereka hampir mirip, yaa. Saya pikir, Ibu masih terikat saudara dengan orang tuanya Gaftan.”
‘Dan ternyata Ibu Ira juga merasakan hal yang aku rasakan juga. Mungkinkah anak ini ….’ Rhea berucap dalam hatinya.
“Bu Rhea?” Bu Ira menepuk pundah Rhea karena terlihat melamun.
Perempuan itu lantas menoleh kepada Bu Ira. “Kalau boleh tahu, nama orang tua Gaftan siapa ya, Bu?” tanyanya kemudian.
“Ibu Tari dan Pak Brandon, Bu.”
Detik itu juga, Rhea membolakan matanya serta menutup mulutnya lantaran terkejut kala tahu dan yang dia kira tadi memanglah benar.
“Itu dia, papanya datang.” Bu Ira menunjuk Brandon yang baru saja tiba dan langsung memeluk anaknya itu sembari mengusapi pucuk kepalanya.
Rhea tidak ingin menoleh. Tidak mau melihat lelaki yang sudah hampir empat tahun lamanya ini menghilang darinya.
‘Kenapa? Kenapa harus dipertemukan lagi dengan manusia bodoh itu?’ ucapnya dalam hati.
“Jangan menangis lagi ya, Nak. Ada Papa di sini. Cuma kegores kukunya sedikit, tidak apa-apa. Anak jagoan nggak boleh nangis, oke?” ucap Brandon dengan suara lembutnya.
Rhea menggenggam erat tangan Kaisan seraya menekan dadanya yang terasa sesak. Ingin mengeluarkan air matanya, namun masih ia tahan.
“Gaftan-nya jahat, Om. Ganggu aku terus,” ucap Kaisan dengan suara khas anak kecil.
Brandon lalu menoleh pada Kaisan. Betapa terkejutnya ia kala melihat wajah tampan anak itu.
“Bu Rhea, Pak Brandon. Saya permisi dulu sebentar, yaa.”
Brandon lantas membolakan matanya. “Rhea?” ucapnya pelan.
Detik itu juga, Rhea langsung menggendong anaknya tanpa mau menoleh pada Brandon. Tidak ingin lelaki itu mengenali anaknya.
“Rhea, tunggu!” Brandon menahan tangan Rhea dan menggenggamnya dengan sangat erat.
“Lepas!” ucap Rhea dengan tegas. Ia lalu mengibaskan tangannya yang digenggam oleh Brandon tadi.
Brandon menatap wajah Kaisan yang tengah digendong oleh Rhea. Hidung dan matanya tidak bisa mengelak kalau anak kecil itu adalah anaknya.
“Kenapa kamu menyembunyikan ini dari aku, Rhea?” tanya Brandon meminta penjelaan kepada Rhea tentang anak yang digendong oleh perempuan itu.
“Rhea, jawab!” Brandon meminta Rhea untuk menjawab pertanyaannya tadi.