Bali
Benar sekali Luna melihat Willy melangkah dengan cepat keluar dari café sambil memegang ponselnya. Wajah Willy pun terlihat sangat cemas.
“Sepertinya Pak Willy sedang menghubungi seseorang” ucap Nyoman yang bermaksud membuat Luna tambah curiga.
“Nyoman, kamu sudah sangat lama disini. Lebih baik antarkan pesanan Ibu Prista ya” ucap Luna mengusir secara halus Nyoman.
“Oh iya Bu, maaf. Saya terlalu semangat jika sudah ketemu sama Ibu. Ibu mau bareng ke kantor sama saya” tawar Nyoman.
“Tidak terima kash Nyoman” tolak Luna tanpa melihat Nyoman karena matanya tetap fokus melihat punggung Willy.
“Kalau begitu saya pergi ya Bu. Telepon saya saja jika Ibu butuh tumpangan” ucap Nyoman lagi.
“Iya” ucap Luna.
Luna penasaran apa yang terjadi dengan Willy. Luna tidak pernah melihat wajah Willy sangat panik seperti tadi. Luna melihat kembali makanan Willy yang belum habis.
“Apa yang sebenarnya terjadi kepada Willy, aku kira dia cemburu dengan Nyoman?” Tanya Luna bingung.
Luna membayar makanan pesanannya dan Willy. Lalu Luna pun mengikuti Willy dari belakang. Luna sengaja tidak mendekat agar Willy tidak mengetahuinya kalau Luna mengikutinya.
Willy kembali melihat ponselnya dan kembali melangkah lagi. Masih tidak ada balasan dari Bianca. Willy pun teringat Icha. Willy mencoba menghubungi Icha.
“Halo Cha, apa kamu sedang bersama Bianca?” Tanya Willy langsung saat Icha mengangkatnya.
“Willy” ucap Icha karena nomor yang Willy gunakan Ichha belum tahu dan Icha y=hanya mengira dari suaranya.
“Iya. Apa kamu sedang bersama istriku?” Tanya Willy lagi.
“Tidak. Aku sedang di kantor. Ada apa Will?” Tanya Icha.
“Cha boleh minta tolong kamu segeralah ke rumahku dan lihat apa yang terjadi. Karena sejak tadi aku menghubungi Bianca tidak diangkat-angkat” ucap Willy.
“Okey, aku dan Naena akan segera kesana” ucap Icha.
“Terima kasih, tolong segera kabari aku” ucap Willy.
“Baik Will” ucap Icha.
Tidak hanya Icha, Willy juga menghubungi Naena dan menanyakan Bianca. Naena dan Icha pun ikut panik karena Willy terus menerus menghubunginya apalagi saat mereka dalam perjalanan, Willy tidak hentinya menanyakan apakah mereka sudah sampai atau belum.
“Will, apa yang terjadi?” Tanya Luna yang akhirnya penasaran dengan siapa Willy menelepon.
Willy berbalik dan dia terkejut kenapa ada Luna di belakangnya. Dan sejak kapan Luna ada dibelakangnya? Apa Luna mendengar percakapannya di telepon tadi?
“Kamu kenapa disini?” Tanya Willy.
“Harusnya aku yang bertanya kenapa kamu disini, tadi kamu bilang ma uke toilet?” Tanya Luna curiga.
Willy terdiam. Tidak mungkin Willy mengatakan kalau dia sedang panik karena mencemaskan istrinya Bianca. Otak Willy berputar cepat untuk memikirkan jawaban yang masuk akal. Karena Luna sepertinya tahu kalau Willy menghubungi seseorang dan wajahnya terlihat panik.
“Siapa yang kamu hubungi sampai wajahmu terlihat panik seperti itu?” Tanya Luna lagi.
“Mami aku” jawab Willy.
“Mami kamu. Ada apa dengan Mami kamu?” Tanya Luna.
“Aku juga belum tahu karena sejak tadi aku menghubunginya tidak ada yang mengangkatnya” jawab Willy.
Lunak terlihat melunak.
“Apa kamu sudah menghubungi Papimu atau pembantumu atau siapapun yang dekat dengan Mamimu?” Tanya Luna.
“Sudah, tetapi mereka sedang tidak bersama Mami” jawab Willy.
“Mami kamu tinggal dimana?” Tanya Luna, dan Luna sepertinya baru sadar kalau selama ini dia belum pernah mengenal orang tua Willy.
“Jakarta” jawab Willy.
“Kalau begitu kita kembali ke kantor ya. Bia raku yang mengemudi. Kamu jadi bsa terus menghubungi Mamimu lagi atau siapapun” ucap Luna yang ikut cemas.
Willy menganggukkan kepalanya. Willy pun kini tidak bisa menghubungi Naena ataupun Icha lagi untuk menanyakan apa mereka sudah sampai atau belum karena Willy sudah bersama Luna.
Wlly dan Luna sudah di dalam mobil. Luna mengemudi dengan hati-hati dan Willy terus memandangi ponselnya menunggu kabar dari Icha, Naena ataupun Mami. Sampai mobil yang dikendarai oleh Luna dan Willy sampai di kantor Luna tidak ada juga pesan di ponsel Willy.
“Bagaimana apa sudah ada kabar?” Tanya Luna.
“Belum” jawab Willy.
“Kamu menunggu di ruanganku saja ya sambil menunggu mereka mengabarimu” tawar Luna.
Tidak mungkin Willy menunggu di ruangan Luna. Willy pun memilih untuk pulang ke penthousenya.
“Aku akan kembali ke penthouse Lun” ucap Willy.
“Apa kamuy akin pulang dengan keadaan panik dan cemas seperti ini?” Tanya Luna mencemaskan keadaan Willy.
“Aku baik-baik saja. Kamu kembalilah ke ruangamu” ucap Willy.
“Baiklah, kamu hati-hati dijalan dan kabari aku apapun yang terjadi” ucap Luna.
“Iya” ucap Willy menganggukkan kepalanya.
Luna turun dari mobil Willy. Willy juga turun dan naik kembali di kursi kemudi. Willy menunggu Luna pergi dan tidak terlihat barulah Willy kembali melihat ponselnya.
To : Willy
From : Icha
Will, Bianca pingsang di dapur. Tangannya juga mengeluarkan darah sepertinya terkena pecahan gelas.
Hati Willy seketika lemas mebaca pesan dari Icha sekaligus gambar yang Naena kirimkan dengan pesan yang sama dengan Icha.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi kepadamu Bii. Pantas saja perasaanku tidak enak sejak pagi tadi” ucap Willy sedih.
Willy segera menghubungi Icha.
“Halo Cha, bagamana bisa terjadi Bianca pingsan, dan kemana Bi Inah?” Tanya Willy dengan panik.
“Willy pelan-pelan. Aku sedang menggendong Aditya. Dia baru saja diam setelah aku mengganti popok dan memberinya s**u” ucap Icha.
“Maaf aku sangat panik sekali” ucap Willy.
“Iya aku mengerti Will. AKu dan Naena juga panik setelah datang kesini dan melihat Bianca pingsan. Bi Inah sedang ke pasar” ucap Icha.
“Apa kalian sudah menghubungi dokter?” Tanya Willy.
“Naena langsung menghubungi dokter. Sebentar lagi dokter akan sampai” jawab Icha.
“Baiklah, tolong kabari aku apa yang dokter katakana. Mamiku juga sedang dalam perjalan ke rumah” ucap Willy.
“Okey Will” ucap Icha.
Willy menjatuhkan kepalanya pada setir kemudi. Hatinya masih tidak tenang mengetahui Bianca pingsan dengan tanga terkena pecahan gelas. Pikirannya pun melayang kesesuatu yang tidak-tidak.
“Tidak-tidak. Bianca tidak mungkin sampai berpikir senekat itu. Bianca bukanlah wanita berpikiran pendek” ucap Willy menggelengkan kepalanya karena di dalam pikirannya terbayang jika Bianca mencoba membunuh dirinya dengan menggores tangan menggunakan pecahan kaca.
Willy sangat tidak tenang aalagi Icah juga belum mengabari lagi bagaimana keadaan Bainca setelah diperiksa oleh dokter.
“Bii, kamu kenapa Bii? Kenapa bisa sampai pingsan?” Tanya Willy benar-benar cemas.
“Aku tidak bisa seperti ini terus. Aku yakin Bianca sepertinya memikirkanku disini. Aku harus kembali ke Jakarta sekarang juga” ucap Willy.
Willy menjalankan mobilnya. Willy mengendarai mobilnya ke salah satu kantor milik Gunardi. Ya, Willy tahu Gunardi saat ini sedang berada di kantor satunya semenjak Luna sudah menempati kantornya.
Tidak butuh waktu lama Willy sudah sampai kantor Gunardi. Wilyly datang disaat yang tepat Gunardi baru saja sampai juga setelah dia meeting dengan kliennya.
“Ada apa?” Tanya Gunardi saat bertemu Willy diparkiran. Karena Gunardi tahu pasti ada sesatu yang Willy ingin bicarakan.
“Saya ingin berbicara berdua dengan anda” jawa Willy.
“Okey, ikutlah ke ruanganku” ucap Gunardi.
Willy mengekori Gunardi masuk ke ruangannya. Gunardi yang mengerti meminta asistannya untuk keluar. Hingga di dalam ruangan itu hanya ada Willy dan Gunardi.
“Kamu mau minum apa?” Tanya Gunardi.
“Tidak perlu repot-repot” ucap Willy.
“Baiklah. Langsung katakan apa yang ingin kamu sampaikan” ucap Gunardi to the point.
“Saya ingin kembali ke Jakarta sekarang” ucap Willy serius.
“APA?” Tanya Gunardi yang langsung tertawa.
“Kamu gila” ucap Gunardi lagi.
“Kamu tahukan mana mungkin saya mengizinkan kamu ke Jakarta sebelum kamu menikahi cucu saya Luna” ucap Gunardi.
“Pak saya mohon izinkan saya kembali ke Jakarta” ucap Willy memohon.
Sebenarnya Willy enggan lakukan ini memohon kepada orang. Tetapi demi bisa bertemu Bianca Willy melakukannya hingga dia pun berlutut di depan Gunardi membuang jauh martabatnya sebagai seorang Willy Pratama.