“Giethoorn?” tanyaku pada mantan Mas Rio yang tengah menggenggam sebuah buket pengantin. Sepertinya rangkain bunga itu dipersiapkan untuk acara salah satu klien malam nanti. Ia mengangguk, tak sungkan mentertawakanku. Sementara earbuds menjadi perantara ekspresi kegelisahan Mas Rio. Aku rasa, Mas Rio memang harus menjelaskan perkara Giethoorn ini. Aku mendekati Puri. Mempertemukan ujung sepatu kami. “Oke. Nanti gue tanya. Apa lebih bagus dari city line and sunrise langit London yang kami nikmati berdua,” ujar gue dengan nada bangga. Ia tak boleh tau jika saat ini aku sungguh ingin meluapkan kekesalanku pasa Mas Rio. Aku lalu memajukan wajah, berbisik di telinga Puri. “Berdua!” tegasku, memasukkan stigma kalah dalam mentalnya. Gegas kumundurkan langkahku setelahnya, menahan kekehan