“Gimana RUPS-nya tadi, humaira?” Tepat istirahat siang di tempat gue. Yang artinya sekitar pukul enam sore di Jakarta. Reina ngga terlihat baik-baik aja. Ia tengah menopang wajahnya dengan tangan kanan. Kirinya memegang pensil yang menari di atas permukaan kertas. Saat gue bertanya tadi, Reina hanya melirik sesaat lalu kembali fokus ke oretannya seraya tersenyum malas. “Kok gitu sih sama Mas?” tanya gue lagi, rada ngambek. “Everything’s fine, Mas,” jawabnya singkat. “Tapi kok muka kamu ditekuk gitu?” “Reina tinggal bikin laporan kerja dan hand over aja.” Sontak gue terdiam. Sementara kesayangan gue itu meletakkan pensilnya, menutup sketchbook, lalu menatap gue sembari tersenyum. Masalahnya, tatapannya justru nampak berduka. Sumpah gue berharap banget mesin waktu itu ada, at