“Teh?”
Papi memanggilku dari balik pintu setelah mengetuk beberapa kali.
“Masuk, Pi,” jawabku.
Cinta pertamaku pun menampakkan wajahnya, tersenyum teduh. Aku membentangkan kedua tangan, menagih pelukan hangatnya yang ditanggapi dengan tawa renyah.
“Hmm ... nyaman banget ih dipeluk Papi,” ujarku manja seraya membenamkan wajah di bahunya.
“Nyaman mana sama pelukan Rio?” balas Papi.
Aku tergelak. Lagipula, seantero rumahku dipasangi CCTV, lantas apa yang bisa aku sembunyikan? Nyaris tak ada.
“Pelukan Papi dong! Selalu!”
“Papi jealous tau, Teh.”
“Papi nih serba salah. Teteh ngga ada yang dekatin Papi pusing. Ada yang Teteh taksir dan sayang sama Teteh, Papi malah jealous.”
“Iya ya?”
Pelukan kami pun terurai, aku terkekeh, menertawai ayahku. Kedua tangannya kugenggam, dan beliau nampak jelas menatap cincin yang melingkar di jari manisku.
“Kata Mas Rio, nanti wedding ring-nya ditumpuk, Teh.”
“Papi udah lihat cincin ini juga?”
“Iya. Kan tadi Mas Rio udah bilang ke Papi hajatnya apa dan gimana.”
“Bener-bener ya cowok sekarang, pengen ngajak nikah tapi yang diajak bapaknya si calon.”
Saat Papi tergelak, suara merdu lainnya pun terdengar. Mami ikut bergabung di kamarku, membawa segelas air untuk diletakkan di samping tempat tidurku. Sudah hafal jika anak gadisnya selalu lupa membawa air minum ke kamar.
“Makasih, Mi.”
“Mas Rio belum ngomong apa-apa nih ke Mami,” ujar ibuku kemudian.
“Iya, Mi. Kata Mas Rio, besok sebelum ke makam, mau ke klinik dulu. Mami ada waktu kan?”
“Ada. Bilang aja di admission kayak biasa.”
“Oke, Mi,” jawabku senang. “Tapi, Mami ngga keberatan kan?”
“Soal apa?”
“Papi belum cerita?”
“Cerita apa?” Papi malah balik bertanya. “Suruh Rio bilang sendiri ke Mami. Ngga boleh ke Papi aja, yang lahirin Teteh kan Mami.”
“Tau gitu tadi Mami ikut ke kafenya Jihan,” ujar Mami.
“Mami mana mau pergi sih kalau ada Rain?” balasku.
“Nanti, habis Teteh nikah, ngga lama Rain pasti nyusul nikah. Tinggal Mami Papi deh berduaan di sini. Mau pacaran, mau kencan, mau makan minum ke mana-mana bisa kapan aja. Lagi kalian di rumah terus, biar Mami dan Papi manjain.”
Tangan Papi yang sedari tadi dalam genggaman, aku lepaskan, berpindah melingkari tubuh Mami. Mami balas memelukku erat.
“Sempatin ke tempat Aki, Oma dan Opa. Kenalin Mas Rio, biar mereka ngga pusing mikirin Teteh yang jomblo melulu.”
“Mamiii!” rajukku manja. “Udah ngga jomblo sih.”
“Aki, Oma sama Opa ngga ada yang percaya Mami bilang Teteh udah punya pacar. Malah Opa bilang Mami nyebar hoax.”
Aku dan Papi kompak tergelak.
“Iya Mi, besok Teteh pasti seret si Tua Bangka ngenalin diri ke barisan tetua kesayangan Teteh.”
“Jangan panggil Tua Bangka, Teh. Repot nanti kalau ada yang tersinggung!” ujar Papi. Maksud Papi, salah-salah yang dikira tua bangka justru ketiga kakek dan nenekku itu.
Aku dan Mami terkekeh menanggapi.
“Teh,” tegur Mami kemudian.
“Ya Mi?”
“Mmm ... Mami mau nyampaikan sesuatu ke Teteh. Apa yang pernah Mami lewati dulu. Siapa tau kelak bermanfaat. Boleh, Sayang?”
“Boleh banget, Mi.”
***
Jakarta di masa lalu.
“Makasih ya A. Bulan depan kalau Ica dapat rezeki lebih, inshaaAllah langsung Ica lunasin. Minimal Ica cicil.”
Ica, panggilan khusus untuk seorang Annisa Syahida Pranata – ibu Reina – dari orang-orang yang mengenalnya baik, termasuk Ari – kekasihnya. Ia tengah mengenyam pendidikan medisnya, menjadi seorang dokter magang.
Titik pandangnya lalu bergeser, menatap tumpukan cupcake yang baru saja dibatalkan sang pemesan. Siang itu, harusnya Ica mengantar kue-kue tersebut. Yang tak ia sangka, pesanan itu dibatalkan begitu saja tanpa peduli modal, waktu dan tenaga yang sudah Ica kerahkan.
Ari mengulurkan kedua tangannya, mengusap lembut wajah Ica, menyingkirkan air mata gadisnya yang mengalir. Belakangan, Ica memang sangat sensitif jika berurusan dengan materi. Ari lalu menunduk, melabuhkan ciuman hangat untuk menenangkan kesayangannya.
“Aa aja yang beli kuenya ya? Di kosan banyak orang kok. Pasti habis.”
“Ngga usah, A. Itu banyak banget.”
“Kenapa?”
“Nanti Ica suruh Ian ke sini aja.”
“Terus? Mau disuruh bagi-bagi ke teman-temannya?”
“Iya.”
“Apa bedanya dengan Ica jual ke Aa? Nanti juga yang ngambil Aa suruh bayar. Kan biasa Ica lihat di kosan Aa yang punya camilan lebih ditaruh di box. Yang mau tinggal bayar dan ambil.”
Ica mendengus, memalingkan wajahnya dari tatapan Ari.
“Ya udah, Aa ngga jadi beli,” pungkas Ari. Enggan membuat Ica semakin berkecil hati. Ari sangat paham, Ica terguncang dengan kejadian yang menimpa keluarganya. Semua harta yang mereka miliki hilang dalam sekejap mata. Dan pelakunya adalah keluarga sendiri yang kini entah di mana keberadaannya. Dilema bukan?
Sementara Ica justru mengalami kompleks inferioritas, sama seperti yang dialami Irgi – sang sulung Pranata. Ica tak ingin orang lain melihatnya lemah. Namun efeknya, ia justru seperti menyiksa dirinya sendiri. Apa pun yang bisa ia jadikan uang sangunya sehari-hari tanpa mengganggu studinya, pasti ia lakoni. Dan jika Ari ingin membantu, Ica akan merasa Ari meremehkannya sehingga ujung-ujungnya mereka pasti bertengkar hebat. Ari, tak mau lagi mengulangi kegilaan itu. Hatinya terlampau sakit mendengar Ica memekik sambil menangis padanya.
“Ca ...” tegur Ari kemudian. Ibu jari dan telunjuknya mengapit dagu Ica, menariknya lembut agar kembali menatapnya. “Aa sayang banget sama Ica. Ica tau kan?”
Ica mengangguk. Nampak kedua matanya berkaca-kaca. Pembicaraan siang itu diakhiri pelukan hangat, dengan Ari yang terus saja menatap nanar tumpukan kotak berisi cupcakes buatan kekasihnya.
**
Masa lalu, di saat yang lain.
Ari menarik kursi untuk Ica, menunggu kesayangannya duduk dengan nyaman barulah ia memposisikan diri di kursi yang berhadapan. Waiters berpenampilan necis meletakkan dua daftar menu untuk masing-masing. Bahkan, buku tersebut nampak begitu mewah.
“Mau makan apa, Ca?” tanya Ari, lembut.
“Chicken steak aja, A.”
“Tenderloinnya lembut banget lho. Ngga mau coba?”
Ica menggeleng.
“Chicken steak satu, tenderloin steak satu,” ujar Ari kemudian pada sang pelayan. “Medium well ya.”
Pelayan mereka mengangguk.
“Appetizers-nya, saya mau Thai Beef Salad,” ujar Ari lagi. “Kamu mau apa, Sayang?” tanyanya kemudian pada Ica.
“Mushroom Soup aja,” jawab Ica.
“Dessert-nya?” tanya Ari kemudian.
Di bagian ini, Ica menggeleng.
“Chocolate Molten Lava dan Tiramisu ya, Mas,” ujar Ari, kembai ke sang pelayan.
“Baik, Tuan.”
“Minumnya, saya Sunset Cooler. Ini pakai soda kan?”
“Betul, Tuan.”
Ari mengangguk, lalu menatap Ica, menunggunya memilih minumannya. Ica mendengus sebelum akhirnya memilih Jasmine Tea sebagai pilihannya.
Begitu pelayan itu pergi, Ari mengulurkan tangannya, menggenggam lembut tangan Ica. Ica diam saja, tatapannya menembus kaca, tertuju ke kerlap-kerlip megahnya kota Jakarta di malam hari.
Malam itu, keduanya tengah merayakan hari jadian mereka yang kedelapan tahun. Ya, memang selama itu mereka sudah bersama.
“Ca?” panggil Ari, lembut.
Ica menoleh, menantang tatapan Ari yang begitu hangat.
“Happy birthday yang kedelapan untuk kita,” lanjut Ari lagi.
“Hmm. Happy birthday untuk kita,” balas Ica.
“Masih sayang kan sama Aa?”
“Harusnya Ica yang nanya begitu ke Aa.”
“Aa selalu sayang sama Ica. Ngga pernah berkurang sedikit pun, yang ada malah makin sayang dari hari ke hari.”
Ica tersenyum. Namun, Ari tau pasti, senyum itu tak tulus. Ari tau Ica memikirkannya, tulus mencintainya, hanya saja ... makin hari, senyum ceria yang biasanya selalu menghiasi wajah Ica saat bersamanya, kini raib ditelan nelangsa.
Satu persatu makanan pun tiba. Dari mulai appetizer, makanan utama, lalu dessert. Ari pun selalu membagi apa yang ada di piringnya untuk Ica. Ica tentu saja menerima, pun membalas dengan perlakukan yang sama. Semua ... baik-baik saja, setidaknya untuk beberapa jam kebersamaan mereka malam itu. Ica bahkan enggan pulang cepat. Dan akhirnya mereka baru tiba di halaman kediaman Pranata saat hari sudah nyaris berganti.
Lampu mobil sudah Ari matikan, Namun, saat akan mematikan perangkat lainnya semisal pengatur suhu, Ica mencegahnya.
“Kenapa, Ca?” tanya Ari dengan senyum teduhnya. Ica tak langsung menjawab, hanya menatap Ari lekat. Merasa ada yang salah dengan tatapan itu, Ari memajukan wajahnya, mengusap kepala Ica. “Kenapa cintanya Aa?”
Ica sama sekali tak menjawab. Ia justu melekatkan bibir mereka, mengajak Ari menghabiskan sisa hari dengan saling berbalas kecup. Ari diam-diam merogoh kantong celananya. Ia membawa sebuah hadiah untuk Ica. Hanya saja, berhubung raut wajah Ica nampak sendu sedari tadi, Ari tak berani memberikannya. Saat tangan Ari akan keluar dari saku, Nisa menghentikan ciumannya dan memberi jarak. Lalu ... meneteskan air mata.
Hadiah itu tak jadi lagi berpindah ke genggaman Ari. Ia justru panik mendapati situasi yang semakin tak bisa ditebak. Apa yang membuat Ica menangis? Apakah ia melakukan kesalahan?
“Ca? Kenapa? Aa ada salah ya? Aa minta maaf, Ca.”
“Kenapa sih Aa selalu aja minta maaf ke Ica?” balas Ica, ketus. Ia mengusap kasar kedua matanya, menatap Ari dengan tatapan yang sungguh tak Ari suka. Seolah, Ica lupa jika mereka adalah sepasang kekasih.
“Karena Aa mencintai Ica. Dan Aa yang paling berpeluang nyakitin Ica. Bahkan tanpa Aa sadari!” tegas Ari.
Ica terdiam, meski air matanya masih saja menerobos pelupuk.
“Aa harus gimana, Ca? Kasih tau Aa, Ca ....”
“Aa ....”
“Hmm?”
“Ica mau ... kita putus.”