"Des, kamu benar-benar putus dengan Ivan? Aku dan Gilang minta maaf, ya. Aku sudah dengar dari Ivan tentang kalian, tentang kamu yang sekarang mengandung anak dia." Abel merasa sangat bersalah atas apa yang menimpa Destina.
Abel dan Gilang seharusnya ke kosan Desti kemarin, tetapi ada tugas kampus dadakan yang membuat mereka terpaksa menunda pergi ke kosan gadis itu. Beruntung saat Abel dan Gilang sampai di sana, Desti sudah kembali dari rumah orang tuanya. Sementara Bisma, lelaki itu sudah pulang ke apartemen tempat dia tinggal.
"Iya, aku dan Ivan memang sudah putus. Ini bukan salah kalian berdua, jadi kalian tidak perlu minta maaf sama aku," ucap Desti seraya mengulas senyum tipis. Gadis itu tampak begitu polos. Hal itu membuat Gilang dan Abel semakin merasa bersalah.
"Tidak, Des. Semua yang terjadi padamu itu ada campur tangan aku dan Abel. Kami mengajak Ivan taruhan untuk berpacaran sama kamu selama lima bulan. Kami berpikir dengan jangka waktu yang lumayan lama bisa membuat Ivan jatuh cinta sama kamu, tapi kenyataan yang terjadi malah tidak sesuai dengan yang kami harapkan. Ini bukan soal uang. Kami melakukan taruhan itu karena kami peduli pada Ivan yang mati rasa semenjak ditinggalkan oleh Luna. Parahnya, sekarang ulah kami justru merugikan kamu." Gilang menjelaskan tentang keterlibatan dia dan Abel dalam hubungan Ivan dan Destina.
Gadis itu tampak terkejut. Ada raut kecewa, tetapi beberapa saat kemudian dia bersikap biasa. Marah untuk apa? Semua sudah terjadi. Emosinya tidak akan dapat situasi lebih baik. Belum lagi pengaruh dari emosi yang dapat membahayakan bayi dalam kandungannya. Destina berpikir sejauh itu.
"Semua sudah terjadi, Gilang. Mungkin memang sudah takdir aku seperti ini. Aku sudah memaafkan kalian. Soal Luna, dia ... cinta pertama Ivan?" Entah mengapa Destina justru tertarik untuk membicarakan soal Luna.
Gadis itu cukup penasaran tentang siapa sebenarnya Luna. Bagaimana wanita itu bisa mendapatkan tempat yang begitu spesial di hati Ivan. Sementara dia yang selama beberapa bulan ini mencoba untuk menjadi kekasih terbaik lelaki itu tidak berhasil membuat hatinya tersentuh.
"Tebakan kamu benar, Des. Luna itu cinta pertama Ivan. Dia cinta mati sama gadis sialan itu. Sementara Luna justru bermain-main di belakang Ivan. Sampai suatu hari, Ivan melihat dengan mata kepalanya sendiri, Luna bersama tiga orang pria di dalam kamar apartemennya. Jangan kamu pikir Ivan memutuskan Luna karena itu, justru Luna yang memutuskan Ivan. Dia jujur tidak bisa melanjutkan hubungan dengan Ivan karena memiliki kelainan orientasi seksual. Ivan sampai memohon pada Luna hari itu, tapi hasilnya nihil. Luna tetap memutuskan Ivan." Abel menceritakan kisah masa lalu antara Ivan dan Luna. Mendengar itu, Destina tahu seberapa besar rasa cinta Ivan untuk Luna. Pantas saja dia tidak bisa menembus benteng hati Ivan.
"Sampai sedalam itu perasaan Ivan ke Luna? Maksudku, dia tidak masalah mengetahui Luna bersama para lelaki itu?"
"Iya, Des. Separah itu kebucinan Ivan ke Luna. Aku juga sudah capek mencoba mengingatkan Ivan soal kehidupan dan masa depan. Buat apa dia tetap terpaku pada seorang wanita yang jelas-jelas tidak bisa menjadi pasangan yang baik untuknya? Dia bahkan sudah beberapa kali mencoba untuk bunuh diri karena frustrasi. Ivan memang sudah gila," umpat Gilang.
Destina tahu sekarang kalau Ivan benar-benar jauh dari jangkauannya. Dia sempat berharap Ivan akan menyesal dan berbalik melihat dia dan bayi yang ada dalam kandungannya. Tapi setelah mendengar semua itu, angan Desti tentang Ivan menguap begitu saja. Mau atau tidak, dia harus memulai hidup baru dengan perlahan menghapus nama Ivan. Dia harus terbiasa menjalani hari tanpa kehadiran pria bernama lengkap Ivan Fadillah Baskara itu.
"Mungkin suatu saat Ivan akan menemukan seseorang yang bisa membuat dia lupa pada Luna. Kalian sebagai sahabat Ivan harus selalu mendukung dia. Sebagai orang yang pernah hadir dalam hidup Ivan, aku cuma bisa titip dia ke kalian. Ivan suka susah makan, apalagi kalau sudah nugas. Tolong diingatkan, ya. Biasanya setiap pagi aku selalu pesan bubur Mang Udin untuk dia sarapan, aku minta tolong salah satu dari kalian lakukan itu untuk dia. Tugasku sudah selesai. Aku dan anak yang ada di dalam kandunganku ini tidak akan lagi mengganggu kehidupan Ivan." Destina mengatakan itu sambil tersenyum, walau air mata juga ikut berjatuhan di pipinya.
Gilang dan Abel berpandangan. Mereka berdua turut merasakan luka yang sedang Desti rasakan. Di saat seperti ini, gadis itu bahkan masih mengingat hal tentang Ivan yang jelas-jelas sudah membuang dia dan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Abel ikut menangis. Dia menarik tubuh Desti dan membawa tubuh itu ke dalam dekapannya. Tangis Destina pecah. Jelas sekali kalau keadaan ini juga berat untuk gadis itu. Gilang yang berada di antara mereka sampai berkaca-kaca.
"Terus kamu gimana, Des? Kamu yakin akan tetap mempertahankan kehamilan kamu? Kamu butuh Ivan, Des. Gimana kalau aku coba bantu kamu ngomong ke orang tua Ivan. Mereka berhak tahu kalau kamu sedang mengandung cucu mereka. Siapa tahu nanti orang tua Ivan bisa bicara ke Ivan buat nikahin kamu." Abel menyampaikan idenya.
Sebenarnya ide Abel tidak buruk. Dengan bicara ke orang tua Ivan memang besar kemungkinan bisa membuat Destina mendapatkan haknya. Tapi melihat Ivan yang belum selesai dengan masa lalunya, apa yang bisa diharapkan? Desti tidak ingin menjadi beban untuk orang lain, walau dia tahu, dirinya sudah membebani hidup Bisma.
Setidaknya Destina yakin, bersama Bisma anak di dalam kandungannya itu akan merasakan kasih sayang dari orang tua yang lengkap. Bisma bisa menerima bayinya, sementara Ivan tidak.
"Aku baik-baik saja, Abel. Ya, aku akan tetap mempertahankan bayi ini. Ada orang baik yang mau bertanggung jawab untuk aku dan bayiku. Untuk ide kamu, maaf, bukannya aku menolak. Aku tidak mau mengganggu Ivan lagi. Dia berhak bahagia. Kalau aku dan bayiku memang tidak dia inginkan, aku tidak akan memaksa. Aku percaya, Tuhan pasti masih akan memberikan uluran tangannya walaupun aku sudah melakukan kesalahan sebesar ini."
Destina melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang masih membasahi netranya. Dia memang harus melanjutkan langkahnya tanpa Ivan, bukan? Melupakan lelaki itu jelas bukan hal yang mudah bagi Desti, tetapi bukan tidak mungkin dia akan berhasil melakukan itu.
"Des, kamu terlalu baik untuk menanggung semua ini. Sekali lagi maafin aku dan Gilang, ya. Kami akan berusaha sebisa mungkin membantu kamu. Kalau kamu butuh apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi kami, ya. Aku dan Gilang siap kapanpun untuk kamu dan bayimu."
Destina mengangguk cepat. Gadis itu tersenyum.
"Iya. Makasih ya, Bel. Aku tidak marah ke kalian. Aku memang sempat kecewa, tetapi buat apa aku marah-marah? Emosiku tidak akan membuat Ivan kembali. Bayiku juga butuh ketenangan."
Sementara itu, di rumah Ivan. Lelaki itu tampak baru saja bangun tidur. Dia langsung menuju ke ruang makan dan duduk di sana.
"Des, buatin mi goreng, dong!" teriak Ivan yang masih belum sepenuhnya sadar.
Biasanya Destina memang sering di rumah Ivan. Gadis itu sering membantu mama Ivan menyiapkan pesanan kue.
"Den Ivan cari non Desti?"
"Iya. Mana dia, Mbok? Aku mau dibuatin mi goreng sama dia." Ivan masih belum sadar juga.
"Dua hari ini kan non Desti tidak ke sini, Den. Nyonya juga sudah menghubungi nomornya tapi tidak bisa. Tadi nyonya malah nyuruh mbok buat tanya ke Den Ivan, apa non Desti ganti nomor, gitu."
Ivan meraup wajahnya. Dia sadar sekarang. Dia ingat semuanya. Tentang bayi itu, tentang hubungan dia dan Destina yang sudah berakhir.
"Astaga, aku lupa, Mbok. Destina lagi banyak tugas. Dia sudah izin ke aku buat matiin nomor ponselnya beberapa hari. Bilangin ke mama ya, Mbok." Ivan terpaksa bohong. Dia tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya ke asisten rumah tangganya.
"Oalah, gitu to, Den. Iya, nanti mbok bilang. Kok bisa lupa, sih, Den? Terlalu terbiasa ada non Desti di sini, ya? Itu soal mi goreng, mau dibuatin mbok aja?"
"Boleh, deh, Mbok. Jangan lupa dikasih telur mata sapi setengah matang ya, Mbok."
"Siap, Den."
Wanita paruh baya itu segera pergi ke dapur. Ivan memukul-mukul pelan kepalanya. Bagaimana dia bisa lupa soal Desti? Apa benar kata si mbok? Dia sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Desti di sekitarnya?
Ivan mengambil ponselnya dari dalam saku celana. Dia langsung melihat wajah Desti di layar kuncinya. Dia juga lupa mengganti foto gadis itu dengan gambar lain. Entah mengapa tiba-tiba dia teringat soal pertengkaran mereka dua hari yang lalu.
"Kenapa aku harus memikirkan dia? Apa aku merasa bersalah hanya karena anak itu? Dia sendiri yang memilih untuk mempertahankan kehamilan, jadi buat apa aku memikirkan dia? Aku cuma butuh Luna. Dia harus kembali ke sisiku lagi. Tidak masalah kalau aku harus berbagi dengan lelaki lain. Aku mau dia."
Ivan segera mengganti wallpaper ponselnya dengan foto Luna. Setelahnya, dia tersenyum sambil mengelus foto gadis itu di bagian pipinya. Sampai detik ini Luna masih memegang kasta tertinggi di hati Ivan.
"Luna, aku minta maaf. Aku tidak sengaja menghabiskan malam bersama gadis lain. Tapi aku tidak menginginkan itu, Luna. Sekarang aku sudah siap untuk berbagi dengan lelaki lain. Kita harus bertemu. Aku ingin bicarakan ini berdua sama kamu. Kita bisa balikan, kan? Kamu pasti tidak akan menolakku lagi. Itu syarat yang kamu mau, kan, Luna?"
Ivan tersenyum dengan menatap foto Luna. Katakan saja dia memang gila karena cinta. Luna bukan gadis baik, tetapi dia tidak peduli. Dia mau wanita itu kembali ke dalam rengkuhannya.
"Luna, ayo bertemu di tempat biasa." Tulis Ivan di kolom pesannya dan Luna lalu menekan tombol kirim. Dia sudah yakin dengan keputusan yang dia ambil. Luna harus kembali menjadi miliknya.