Layar komputer yang menampilkan berbagai angka dan huruf, sudah menjadi teman bagi Andrea di tiap harinya. Walaupun angka dan juga huruf itu kadang membuatnya pusing, tapi setidaknya mereka dapat mengalihkan pikiran Andrea dari berbagai masalah yang di alaminya belakangan ini.
Selama satu bulan belakangan ini ia berusaha melupakan kejadian waktu itu. Sebisa mungkin ia bahkan menghidari makhluk bernama Austin. Jika Austin datang menemuinya, tak jarang Andrea akan langsung bersembunyi, hingga kemudian Austin pergi.
Awalnya ia pikir Austin tidak akan kembali lagi, tapi ternyata pemikirannya salah karena pria itu tetap kembali. Lagi dan lagi. Terus seperti itu hingga satu bulan lamanya. Ish! Pria itu benar-benar tak mengenal kata menyerah ternyata.
Andrea kemudian menghela nafas lelah. Nafsu makannya akhir-akhir ini benar-benar menurun, membuat berat badannya sedikit berkurang. Belum lagi pusing dan mual yang selalu melandanya dipagi hari. Itu semua mungkin karena masuk angin, karena beberapa minggu ini, Andrea lebih memilih lembur dikantor daripada pulang ke apartmen dan berujung bertemu dengan Austin.
"Wajahmu pucat sekali. Apa kau sedang sakit?"
Menoleh. Andrea kemudian tersenyum saat menemukan Olin memandangnya khawatir. "Tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing,"
Wanita yang tengah hamil 3 bulan itu berjalan mendekat, kemudian berdiri disamping meja kerja Andrea. "Lebih baik kau beristirahat saja. Kau terlalu giat bekerja,"
Andrea tertawa pelan. "Aku tidak apa-apa. Hanya—sebentar!" Andrea membekap mulutnya. Tanpa menyelesaikan ucapannya, ia langsung berlari menuju toilet karena rasa mual yang kembali melandanya.
Ia memuntahkan sarapannya tadi pagi di wastafel, dibantu oleh Olin yang memijat pelan tengkuknya. Ugh! Ini benar-benar menjijikan!
Andrea menyalakan keran dan membasuh mulut dan wajahnya yang terlihat pucat. Ia menopang tubuhnya dengan berpegangan pada wastafel.
"Maaf kau harus melihatku seperti ini," ia terkekeh pelan.
Olin memandang Andrea khawatir. "Andrea...sebenarnya ada apa denganmu? Kenapa...kau muntah-muntah seperti ini?"
"Aku tidak apa-apa, Lin. Hanya mual dan pusing yang sering melandaku. Ini pasti karena aku terlalu lelah bekerja." Andrea memijat tengkuknya yang terasa pegal.
"Tapi...kenapa yang aku lihat. Kau seperti orang yang sedang hamil? Pertama, kau mengalami mual dan juga pusing. Kedua, apa kau ingat kemarin? Kau sempat muntah karena mencium bau spageti, padahal nyatanya itu makanan kesukaanmu. " Ucap Olin panjang lebar.
Hamil? Nafas Andrea langsung tercekat mendengar kata itu. Tidak mungkin ia hamil 'kan?
Andrea tertawa. "Jangan bergurau. Aku tidak mungkin hamil, Lin."
"Tapi Andrea—"
"Sudahlah. Tak perlu khawatir, aku tidak mungkin hamil," Tanpa menunggu Olin, Andrea kembali ke meja kerjanya.
Meskipun ia berusaha untuk melupakan ucapan Olin tadi, pada kenyataannya perkataan itu malah semakin terngiang-ngiang dikepalanya. Bagaimana jika yang dikatakan Olin tadi benar? Bagaimana jika ia benar-benar hamil?
Tanpa sadar Andrea menggigit bibir bawahnya gelisah sambil meremas jari tangannya yang terasa dingin.
Ia pun akhirnya langsung membereskan barang-barangnya saat itu juga. Ia harus segera pulang untuk memastikan semuanya.
"Kau mau kemana?" Saat hendak menaiki lift, tanpa sengaja Andrea berpapasan dengan Olin.
Andrea gelagapan."Aku..." Andrea diam memikirkan jawaban. "...ah kepalaku pusing. Jadi aku akan pulang untuk beristitahat." Dustanya.
Olin tersenyum maklum. Ia tahu jika Andrea menyembunyikan sesuatu. Tapi apapun yang disembunyikan Andrea, Olin berharap hal itu adalah hal yang baik.
"Beristirahatlah. Kembali jika kau sudah sembuh."
Andrea mengangguk, setelah mengucapakan terima kasih, ia langsung bergegas pergi.
***
Setelah membeli satu testpack di apotek terdekat, Andrea langsung masuk ke dalam apartemennya. Untung saja ia tidak menemukan Austin di depan apartemennya—seperti biasanya.
Berada di kamar mandi, Andrea merobek testpack di tangannya dan menggunakannya. Ia menunggu beberapa menit untuk melihat hasilnya. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamar mandi sambil menggigit kukunya.
Beberapa menit telah berlalu. Andrea masih belum berani melihat hasil testpack di tangan kirinya. Ia kemudian menghela nafas panjang untuk meyakinkan dirinya.
Dengan penuh keyakinan, Andrea membuka genggaman jarinya. Satu garis merah terlihat disana. Tinggal memastikan apakah ada satu garis lagi. Dan setelah genggamannya terbuka sepenuhnya. Andrea bisa melihat dengan sangat jelas jika testpack itu menunjukkan hasil positif. Ia langsung membekap mulutnya tak percaya. Tidak! Aku tidak mungkin hamil!
Andrea menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak! Tidak! Ini pasti salah. Hasilnya pasti salah!
"Aku tidak mau hamil!" Andrea terduduk lemas sambil menangis histeris. Kilas balik tentang kejadian malam itu kembali berputar di kepalanya. Tentang bagaimana ia menganggap Austin sebagai Steffan dan tentang bagaimana Austin memanfaatkan keadaan saat itu. Ya Tuhan! Bagaimana jika Ibunya mengetahui semuanya?!
Andrea menghentikan tangisanya. Ia kemudian berdiri, meletakan testpack itu di wastafel, menyalakan keran dan membasuh mukanya. Setelahnya Andrea mematut dirinya dicermin.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin, dengan matanya yang bengkak dan juga hidungnya yang memerah karena tangis, Andrea jadi semakin yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.
***
Esok harinya, Andrea bangun kesingan. Entah sejak kapan dia tertidur pulas seperti ini. Bahkan cahaya matahari tidak sedikitpun mengganggunya.
Tadinya ia masih berharap jika apa yang dialamninya kemarin adalah mimpi buruk. Tapi saat melihat keadaan kamar yang berantakan karena ulahnya kemarin. Ia langsung sadar jika semuanya bukan mimpi.
Andrea terduduk, mengumpulkan nyawanya yang masih berpencar sejanak. Hingga kemudian rasa mual kembali melandanya. Ia berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan menjijikan dari lambungnya. Lidahnya terasa pahit karena sejak kemarin dia hanya memasukan sedikit makanan ke tubuhnya.
Setelah membasuh mulutnya, Andrea kemudian berjalan ke dapur. Entah kenapa ia sangat ingin memasak.
Andrea melihat beberapa sayuran dalam kulkasnya, mengambil beberapa sayuran dan daging dari kulkas dan mulai memasak makanan sederhana.
***
Setelah menghabiskan sarapannya, Andrea kemudian mandi guna membersihkan dirinya. Usai mandi dan berganti baju, Andrea memilih untuk duduk di sofa ruang tamu. Memandang kosong pada vas bunga di hadapannya. Suasana yang hening benar-benar sangat cocok dengan hatinya.
Ditengah keheningan itu, Andrea mendengar ponselnya berbunyi. Ia pun mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja dan melihat siapa yang menelpon.
Ia menghela nafas panjang saat tahu jika Austin yang menelponnya. Tanpa menjawab panggilan itu, Andrea langsung melemparkan ponselnya ke sofa.
"Sebenarnya apa mau pria itu?! Kenapa selalu saja menelpon? Apa dia tidak tahu jika aku sedang tidak ingin diganggu?!" Gerutu Andrea sendiri.
Ia pun berdiri dari sofa dan masuk ke dalam kamar. Bersiap-siap untuk pergi. Karena hari ini juga, ia harus segera mengambil keputusan.
***
Jadi disinilah Andrea berada, berdiri di depan sebuah klinik yang dalam kondisi tak begitu ramai. Ia mengamati keadaan klinik itu, menemukan ada beberapa orang perempuan yang tengah duduk di kursi tunggu. Dan Andrea yakin, jika mereka punya tujuan yang sama dengannya.
"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang perawat ketika Andrea berdiri di depan meja resepsionis.
Sambil meremas tali tasnya gugup, Andrea menjawab pertanyaan suster itu. Untuk sesaat ia menemukan pandangan sedih dari suster itu.
Suster itu kemudian menyerahkan sebuah formulir yang harus diisi oleh Andrea.
Sesudah mengisi formulir itu, Andrea menyerahkan kembali formulir itu pada suster.
"Mari, ikut saya." Suster itu menyuruh Andrea untuk mengikutinya.
Suster itu membawa Andrea ke sebuah ruangan yang dimana di dalamnya sudah disediakan brankar. Dan Andrea juga melihat alat USG disana. Tapi ia langsung mengalihkan pandangannya ketika melihat itu.
"Silakan ganti pakaian Anda dengan pakaian rumah sakit, Mrs." Ucap suster itu sambil menyerahkan pakaian rumah sakit. "Setelah itu Anda harus berbaring. Saya akan panggilkan dokter,"
Andrea hanya mengangguk. Ia pun segera mengganti pakaiannya ketika suster itu keluar. Dan meletakkan pakaiannya di atas meja kecil di dekat brankar.
Selagi menunggu dokter datang, Andrea memilih untuk berbaring di brankar. Matanya menatap nyalang pada langit-langit yang berwarna putih.
Jika boleh jujur, sebenarnya Andrea merasa takut sekali saat ini. Ia sempat ingin membatalkan niatnya ini, tapi ketika wajah Ibunya terlintas dipikirannya, Andrea memilih untuk melanjutkan semua ini.
"Halo Mrs. Andrea,"
Andrea langsung tersadar ketika seorang dokter menyapanya. Ia kemudian tersenyum kaku melihat dokter yang baru saja masuk.
"Panggil Andrea saya, Dok."
"Oke Andrea, perkenalkan, saya Sofia." Dokter Sofia berjalan mendekat dan duduk di samping Andrea. Dokter itu tampak menghela nafas sejenak. "Andrea apa kau yakin ingin melakukan ini?"
Ditanya seperti itu, Andrea hanya bisa mengangguk kaku.
"Kita lihat bayinya dulu, oke?"
"Oke."
Dokter Sofia mulai mengoleskan sebuah gel diatas perut Andrea, dan mulai menggerekan alat USG disana.
"Lihat, dia kecil sekali." Dokter Sofia menunjuk ke arah layar monitor. "Kau dengar itu? Itu suara detak jantungnya,"
Andrea hanya terdiam kaku. Ia bahkan tak berani menatap ke arah layar monitor itu. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk tak menghiraukan apa yang diucapkan dokter Sofia.
"Apa kau tetap yakin dengan pilihanmu, Andrea?" Untuk kesekian kalinya, dokter Sofia bertanya.
"S-saya yakin!"
Dokter Sofia menghela nafasnya panjang. "Baiklah, Andrea. Aku akan mulai membiusmu,"
Dokter Sofia mulai membius Andrea, perlahan-lahan bius itu mulai bekerja pada Andrea. Matanya mulai terasa berat untuk terbuka, dan akhirnya ia tak sadarkan diri.
Ketika dokter Sofia tengah menyiapkan peralatannya bedahnya, ponsel Andrea yang berada di atas meja berbunyi. Dokter Sofia mengarahkan matanya ke ponsel Andrea, ia kemudian menyuruh suster Anna untuk mematikan ponsel Andrea.
Suster Anna mengangguk, ia mengambil ponsel Andrea dan hendak mematikannya, tapi ia urungkan saat matanya tanpa sengaja melihat satu pesan yang masuk ponsel itu.
Austin : Andrea, aku mohon angkat telponku. Kita perlu bicara.
Kemudian ponsel itu berbunyi untuk kedua kalinya, dan setelah meyakinkan dirinya, suster Anna menjawab panggilan itu.
Berharap jika panggilan itu bisa menghentikkan niat Andrea.