Sinar mentari pagi yang masuk melalui celah jendela, mengusik tidur lelap Andrea. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, menyesuaikan penglihatannya. Sementara otaknya mengingat apa yang terjadi dengannya semalam.
Andrea mengedarkan pandanganya, bernafas lega saat itu juga karena tak berakhir di tempat asing karena mabuk. Ia kemudian meringis saat kepalanya terasa seperti di hantam dengan palu.
Ia menguap lebar, duduk dan mengangkat tangannya, meregangan otot-ototnya yang terasa sangat lelah. Selimut yang melorot di tubuhnya membuat Andrea terdiam saat merasakan selimut itu menyentuh kulitnya secara langsung. Tunggu, sepertinya ada yang salah disini.
Ia kemudian menunduk dan seketika membelalakan matanya saat melihat tubuhnya terpampang tanpa sehelai benangpun. Belum lagi beberapa tanda kemerahan yang berada di tubuhnya.
Oh, tidak!! Kenapa ini?!
Andrea menelan ludahnya takut. Jangan bilang jika apa yang dipikirannya ini benar. Oh God!
Ia menyingkap selimut yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya, memastikan bahwa yang dipikirannya itu tidak benar. Namun saat melihat noda darah di sprei, Andrea tau bahwa dia sudah kehilangan harta berharganya itu.
Ya Tuhan! Apa yang terjadi??
Kemudian Andrea merasakan kasur di sebelahnya bergerak, ia pun menolehkan kepalanya. Tombol emosi langsung menyala di kepalanya saat melihat siapa orang yang berada di sebelahnya-orang yang telah mengambil kesempatan disaat ia mabuk.
Nafas Andrea menggebu-gebu. Sambil mencengkram erat selimut di dadanya, Andrea langsung menampar keras Austin. "b******k!! APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADAKU?!" Andrea terus menyerang Austin tanpa mendengar rintihan sakit pria itu.
"Aw! Hentikan, Andrea. Aku bisa menjelaskannya. Semalam kau mabuk," Austin mencoba menghentikan serangan yang diberikan Andrea padanya.
Andrea menarik rambut Austin. "Menjelaskan apa hah?! Menjelaskan bahwa kau mengambil kesempatan disaat aku mabuk?!" Andrea berteriak marah. Sialan! Austin sialan! Ia kemudian melepaskan jambakkannya dan duduk membelakangi Austin. Kedua bahunya bergetar karena tangis.
"Andrea...kau tidak apa-apa?" Tanya Austin saat melihat kedua bahu mungil Andrea yang bergetar.
Andrea berbalik, menatap Austin dengan mata berair. "Tidak apa-apa katamu? Apa pantas kau bertanya seperti itu, setelah apa yang kau lakukan?!"
Andrea menghela nafas, kepalanya kembali terasa pusing. "Sekarang bagaimana?" Jujur ia merasa takut. Bagaiamana jika Steffan mengetahui hal ini? Pria itu pasti akan menghinanya habis-habisan karena tidur dengan pria tak dikenal-ah ralat! Ia mengenal Austin, tapi hanya sebagai rekan bisnis.
Belum lagi apa yang harus ia katakan pada Ibunya nanti. Ia sudah berjanji pada Ibunya untuk menjaga kehormatannya sampai ia menikah. Tapi semua itu hancur hanya dengan satu malam sialan ini!
"Aku akan bertanggung jawab jika itu yang kau inginkan, Andrea." Ia tahu, ia salah. Seharusnya ia bisa lebih keras menolak Andrea. Tapi sekarang, menyesal pun tidak ada gunanya. Semua tidak akan kembali hanya karena rasa menyesal.
Ucapan Austin langsung saja mengundang decihan bagi Andrea. "Bertanggung jawab dengan apa? Menikah? Apa kau pikir semudah itu bagimu untuk menikah?!"
Austin diam. Tak tahu harus menjawab apa.
Melihat Austin yang hanya diam, Andrea memaksakan berdiri dengan selimut membelit tubuhnya-tak peduli pada selankangannya yang berdenyut nyeri.
Dia masuk ke dalam kamar mandi, mengunci dirinya di kamar mandi. Tubuhnya langsung merosot di balik pintu kamar mandi, dan menangis disana.
Mendengar suara tangis pilu Andrea dari kamar mandi, Austin langsung beranjak dan memakai bajunya terlebih dahulu. "Andrea, maafkan aku," ia mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.
"MAAF TIDAK AKAN BISA MENGEMBALIKAN SEMUANYA!!" sahut Andrea dari dalam.
Austin menarik rambutnya frustasi. "Lalu aku harus apa?" Mendengar tangisan pilu Andrea, mengingatkannya pada memori kelamnya yang berusaha ia lupakan. Memori tentang-
Pintu kamar mandi terbuka. Andrea muncul sudah memakai baju yang dia ambil dari walk in closet. "Pergi dari hidupku! Jangan pernah muncul dihadapanku lagi!" Ucap Andrea nyalang.
"Tapi-"
"Pergi!! PERGI SEKARANG JUGA!!" Andrea mendorong Austin keluar dari apartemennya. Ia melemparkan dompet, ponsel dan kunci mobil Austin pada pria itu.
Tanpa menatap Austin lagi, ia menutup pintu apartemennya dengan kencang dihadapan Austin. Ia kemudian duduk menyender di pintu dengan lutut tertekuk. Sekarang bagaimana? Andrea benar-benar bingung. Ia telah melanggar janjinya.
"Andrea..." Panggil Austin lembut. "Maafkan aku...aku tidak bisa langsung pergi begitu saja,"Austin mengela nafas panjang. "Aku tahu jika apa yang aku lakukan ini salah. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk membuktikannya padamu. Aku akan bertanggung jawab," ucapnya sebelum melangkah pergi dari sana.
***
Setelah Austin pergi dari apartemennya, yang dilakukan Andrea hanya duduk terdiam di dalam kamarnya. Memikirkan apa yang harus dilakukannya sekarang. Harta berharganya sudah hilang karena Austin. Bahkan pria yang dicintainya juga sudah di rebut oleh wanita lain.
Jadi apa yang harus dilakukannya sekarang? Menangis juga sudah tidak ada gunanya, semuanya tidak akan kembali seperti semula lagi.
God! Dia benar-benar bingung.
Bagaimana jika setelah dia hamil?
Hamil?
Mata Andrea terbuka lebar begitu kata itu terlintas dikepalanya. Ia kembali mengingat-ingat tentang kejadian semalam.
Andrea mulai merasa takut. Tangannya terasa dingin hingga keujung jarinya. Tapi sesaat kemudian ia terkekeh hambar. "Hah! Aku tidak mungkin hamil. Iya 'kan?" Tanya Andrea pada dirinya sendiri. "Aku baru melakukannya sekali, jadi tidak mungkin aku langsung hamil." Ia berusaha meyakinkan dirinya jika ia tidak mungkin hamil.
"Ya, aku tidak mungkin hamil."
Dan semoga saja doanya benar-benar terkabul.
***
"Mama?"
Pagi-pagi sekali Andrea dikejutkan ketika ia hendak pergi bekerja, malah menemukan Ibunya berdiri di depan pintu apartemennya. "Kenapa Mama tidak bilang jika akan kesini?"
Mata Marlyn memicing curiga pada putrinya itu. "Kenapa Mama harus memberitahumu? Bukankah Mama sudah biasa datang tiba-tiba?"
Ah iya, benar juga. Mamanya memang sering datang tiba-tiba tanpa memberitahu. Tapi kini keadaannya sedang tidak mendukung. Andrea takut Ibunya akan bertemu dengan Austin, karena pria itu selama hampir dua hari ini selalu datang ke apartemennya untuk membahas tentang malam sialan itu.
"Mama ada perlu apa kemari?" Tanya Andrea. Sementara matanya menatap awas pada sekitarnya. Ia menghela nafas ketika tak mendapati tanda-tanda Austin akan muncul.
"Memangnya harus ada perlu dulu untuk menemui Putri Mama ini?" Marlyn tersenyum hangat pada Andrea.
"Tidak, Ma. Maksudku bukan seperti itu,"
"Mama hanya ingin melihatmu. Akhir-akhir ini perasaan Mama selalu tidak enak. Untuk itu Mama datang kemari, Mama takut sesuatu terjadi padamu." Marlyn mengusap rambut coklat Andrea. "Kau tidak apa-apa 'kan?"
Nafas Andrea tercekat saat itu juga. Agar Ibunya tak menatap matanya, Andrea buru-buru mengalihkan pandangannya ke depan. "Aku tidak apa-apa, Ma. Aku baik-baik saja, seperti yang Mama lihat,"
"Apa kau masih berhubungan dengan pria b******k itu?"
Andrea memutar matanya malas. "Mama seharusnya tahu, jika semenjak kejadian waktu itu, aku tidak lagi berhubungan dengan Steffan."
Marlyn tersenyum lebar. "Baguslah kalau begitu." Ia mengalihkan pandangannya ke depan. "Apa kau selalu mengingat apa yang Mama ucapkan? Untuk selalu menjaga diri dan juga kehormatanmu?"
Lagi. Andrea kini kembali merasakan hantaman keras dihatinya begitu mengingat jika kini ia telah mengingkari janjinya itu.
"Andrea?"
"Ah iya, Ma! Aku selalu mengingat apa yang Mama katakan,"
"Syukurlah jika kau selalu mengingatnya,"
Tangan Andrea menggenggam erat tas kerjanya. Ia menghembuskan nafasnya perlahan-lahan saat merasakan matanya mulai memanas, dan sebelum air mata itu sempat mengalir, Andrea buru-buru mengalihkan pandangannya ke samping.
Maaf, Ma. Maaf karena sudah mengecewakanmu.