Marah
‘Sial! Kenapa ayah selalu saja memaksaku untuk segera menikah? Aku masih ingin bebas tidak terikat dengan pria mana pun juga,’ gerutu Laura dalam hati.
Ia berjalan cepat menyusuri jalanan menghindari kejaran dari orang suruhan ayahnya. Kakinya sesekali menendang batu untuk mengekspresikan rasa kesal. Sampai terdengar suara dengan nada bariton membuat langkah kakinya terhenti.
“b******k! Siapa yang sudah melempar batu?” umpat Daffa emosi.
Tatapan Daffa jatuh pada seorang wanita yang berdiri tidak jauh darinya. Ia menggerakan jari memberi isyarat kepada wanita itu untuk mendekat.
Dengan langkah yang sedikit ragu Laura berjalan mendekat ke arah pria itu. Dan berhenti tidak jauh darinya.
“Kamu harus minta maaf kepada saya, Nona! Karena sudah membuat wajahku menjadi sakit akibat ulahmu,” ucap pria yang tak dikenal Laura.
Laura menatap pria yang memiliki raut wajah tampan dan rahang yang tegas itu dengan tajam. “Mengapa saya harus meminta maaf? Saya tidak membuat kesalahan kepadamu!”
Daffa menyipitkan mata, ia sedikit heran kepada wanita muda yang berdiri tepat di hadapannya karena tidak takut sama sekali.
Daffa memberikan kode kepada pengawalnya untuk mendekat sambil membawa batu yang tadi mengenai wajahnya.
Ia berjalan mendekati Laura sampai jarang di antara mereka begitu rapat. Hembusan napasnya pun terasa hangat menerpa wajah cantik Laura.
“Kali ini kau kumaafkan, Nona! Jangan sampai kau membuatku marah atau kesal dengan apa yang kau lakukan!” Bisik Daffa tepat di telinga Laura.
Laura begitu tertegun dengan aura maskulin dan wangi parfum yang menguar dari tubuh Daffa sampai-sampai membuatnya tidak sadar kalau pria itu sudah menjauh.
Daffa melayangkan senyum sinis melihat wanita yang tak ia kenal terlihat kagum. Ia masuk mobilnya diikuti oleh pengawal pribadi dan sopirnya.
Setelah tersadar Laura mengerjapkan mata memandangi mobil yang ditumpangi pria asing tadi. ‘Sial! Kenapa diriku sampai kagum? Pria itu kasar sekali,’ gerutu Laura.
Ia meneruskan langkah menuju apartemen mewah milik sahabatnya karena enggan pulang ke rumah. Yang hanya akan membuat bertengkar dengan ayahnya.
‘Sial! Kenapa lama sekali Ratih membuka pintu ini?’ gerutu Laura begitu ia sudah berada di depan pintu apartemen sahabatnya.
Tangannya terulur untuk menggedor pintu apartemen itu karena tidak sabar menunggu dibukakan oleh sahabatanya. Akan tetapi, bukan pintu apartemen sahabatnya yang terbuka.
“Apa yang kau lakukan membuat keributan? Tidak bisakah kau menunggu dengan sabar pintu itu di buka!” bentak seorang pria yang langsung dikenali Laura.
Laura yang sedang dalam Susana hati tidak baik memberikan pelototan kepada pria itu sambil berkacak pinggang. “Siapa kau? Berani Sekali menegurku.”
Daffa menatap dingin wanita yang berdiri tidak jauh darinya. Ia merasa sungguh sial harus berurusan dengan wanita itu untuk yang kedua kali. Ia tadi sedang bermesraan dengan kekasihnya saat suara gedoran pintu terdengar berisik dan mengganggu.
Daffa berjalan mendekati wanita itu hingga jarak antara mereka berdua begitu rapat. Dicekaunya dagu Laura dengan kasar hingga terlhat meringis kesakitan.
“Kau wanita menjengkelkan yang hanya coba mencari masalah saja. Jangan pernah perlihatkan wajahmu di hadapanku lagi atau kau akan merasakan akibatnya,” desis Daffa dengan gigi terkatup rapat.
Laura mengacungkan tangan ke udara, gadis tomboy blasteran Indonesia Belanda itu tidak takut dengan ancaman dari Daffa. Ia berdiri dengan sikap menantang pria asing yang hanya membuat sial saja baginya.
Dari dalam apartemen terdengar langkah kaki diseret dan pintu di buka. Seorang wanita dengan rambut acak-acakan dan mata yang terlihat masih mengantuk memandang Laura sambil menguap.
“Laura! Apa yang terjadi? Kenapa ada ribut-ribut di depan pintu apartemenku?” Tanya sahabat Laura dengan ekspresi bingung.
Laura melangkah masuk sambil mendorong sahabatnya. Akan tetapi, sebelumnya ia menyempatkan untuk membalikan badan menghadap Daffa menjulurkan lidah mengejek pria itu.
Sayangnya sebelum Daffa sempat membalas kelakuan nakal gadis itu pintu sudah tertutup. Hanya menyisakan rasa geram di hati Daffa.
“Sayang! Kamu jangan memikirkan tentang wanita aneh tadi. Ayo, kita lanjutkan saja kemesraan yang tadi sempat tertunda.” Bisik manja teman wanita Daffa.
Bukannya menuruti ajakan dari wanita itu, Daffa melepas pegangan tangan kekasihnya dari pinggang. Dengan suara dingin ia berkata, “Aku sudah tidak berminat lagi.”
Dengan kalimat singkat itu Daffa berjalan menyusuri koridor apartemen mewah tersebut menuju lift menuju basement di mana mobilnya terparkir. Ia tidak menghiraukan rambut ikalnya yang terlihat sedikit berantakan. Ia hanya perlu menjauh dari wanita muda tadi yang membuat darahnya mendidih karena emosi.
Selang beberapa menit Daffa sudah duduk di balik kemudi mobil mewah miliknya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemeja lalu mengetikan pesan untuk orang kepercayaannya.
‘Tolong Selidiki wanita yang berada di sebelah apartemen teman kencanku. Kau cari tahu siapa dirinya sampai sedetil-detilnya.’ Pesan pun dikirim Daffa. Ia lalu mematikan ponsel dan memasukan pada dashboard.
Dikemudikannya mobil dengan kecepatan tinggi menuju rumah mewah yang selama ini ia tempati. Dalam waktu beberapa menit tembok besar dengan pintu gerbang besi tinggi sudah terlihat. Ia tidak perlu turun dari mobil seorang petugas keamanan yang berjaga sudah sigap membuka gerbang tersebut.
Daffa turun dari mobil menaiki undakan tangga menuju pintu rumah yang langsung terbuka, sebelum ia sempat memegang kenop pintu sudah terlebih dahulu di buka.
“Selamat malam, Tuan!” sapa pelayan yang membukakan pintu untuk Daffa.
Daffa hanya memberikan anggukan terus dan terus berjalan dengan gagah memasuki rumah. Ia menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Sesampai di kamar Daffa membuka kulkas diambilnya minuman kaleng dingin kemudian ia duduk di sofa ganda depan televisi. Diminumnya sampai tandas isi minuman kaleng tersebut.
‘Siapa wanita itu? Ia benar-benar membuat masalah saja, tetapi aku suka dengan caranya yang berani. Hmm, ia harus menjadi milikku,’ gumam Daffa.
Dibaringkannya badan di atas sofa empuk tersebut dengan berbantalkan satu lengan. Matanya memandang langit-langit kamar yang berwarna putih polos.
***
Laura menghenyakan badan di sofa ruang tamu sahabatnya. Ia memejamkan mata dengan raut wajah masih menyiratkan amarah. “Siapa pria yang menjadi tetanggamu itu? Ia sangat kasar sekali kepadaku. Sungguh hari ini merupakan kesialan bagiku. Setelah aku bertengkar dengan ayah harus bertemu pria itu.”
Sahabat Laura berkacak pinggang memandangi wajah sahabatnya yang telah membangunkan ia dari tidur. “Aku tidak mengenal siapa pria itu dan aku juga tidak ingin mencari tahu.”
Sahabat Laura berjalan menuju dapur di bukanya kulkas lalu ia mengambil dua botol air mineral. Kemudian ia berjalan kembali diserahkannya satu botol kepada Laura,
Ia duduk di samping Laura yang telah membuka mata. “Kau perlu minuman dingin untuk mendinginkan kepalamu. Sekarang apa lagi masalahmu dengan ayahmu itu??”
Laura menghembuskan napas dengan kasar. “Aku kabur dari rumah dan aku tidak akan kembali lagi ke sana sampai pria tua itu berhenti mencarikan suami untukku!”