Aku berputar-putar didepan kaca besar yang ada di kamarku. Kini, aku telah siap berangkat ke kampus dengan kemeja panjang, rok panjang tak lupa hijab yang aku beli bersama Amanda.
Sebelum turun ke bawah, Aku memastikan kembali jika penampilanku sudah paripurna. Terbiasa memakai pakaian ketat dan minim membuatku sedikit tak percaya diri dengan outfit yang aku pakai hari ini. Jika, bukan permintaan Pak Ayang pastinya aku tidak akan ke kampus memakai hijab.
“Selamat pagi semuanya,” sapaku saat masuk ke ruang makan.
“Eh, Mbak Mimi tumben pakai hijab?” Papa terkejut dan hampir tersedak ketela goreng.
“Memangnya di kampus ada pelajaran Agama?”
“Ya, ada, Ma. Kalau ambil Jurusan Pendidikan Agama,” jawabku setelah duduk di sebelah Nayeef. Mama selalu menggodaku setiap kali berusaha berubah hanya karena ingin mendapatkan cinta Pak Ayang.
“Mbak Mimi mau bimbingan sama Pak Rayan, Pa. Makanya hari ini pakai hijab.” Giliran kesayanganku yang bicara. Kemarin, aku sudah menjelaskan pada Nayeef jika aku berhijab setiap bimbingan.
“Oh ...” Hanya itu saja jawaban Bapak Yopie. Mungkin beliau malas menanggapi keanehan putri semata wayangnya.
“Diteruskan saja, Mbak. Hijrah kok setengah-setengah,” saut Mama.
“Namanya juga baru belajar, Ma. Pelan-pelan dong. Nanti kalau langsung pada pingsan.”
Ibu Jazil memutar bola mata setelah memberikan sepiring nasi goreng untukku. Beliau selalu berusaha menuntunku ke jalan yang benar tapi tak kunjung berhasil.
“Kayaknya Pak Rayan enggak bakal suka sama Mbak Mimi kalau besok lepas hijab.”
“Benar tuh kata Adek,” ujar Mama. “Lagian Pak Rayan kalau mau cari jodoh pasti wanita sholeha. Bukan modelan kamu, Mbak.”
“Mama sama Adek tuh gak pernah ada di pihakku. Kayak nggak rela gitu Pak Rayan berjodoh dengan aku.”
“Ya, memang,” jawab Mama dan Nayeef bersamaan.
“Kok gitu sih? Jahatnya!” Aku mendengkus kesal karena tak ada yang mendukungku. Keluargaku sepertinya kasihan dengan nasib Pak Ayang jika berjodoh denganku.
Papa menambahkan telur mata sapi ke dalam piringku saat laukku sudah habis lebih dulu. Cinta pertamaku selalu tahu apa yang aku butuhkan. Tambahan lauk sebagai nutrisi otak ku agar bimbingan hari ini lancar.
Setelah sarapan selesai, aku bergegas berangkat ke kampus. Meski, bimbingan dengan Pak Ayang tetap harus tepat waktu. Karena dia itu sama persis dengan kakaknya.
“Cintami kesambet apa?”
“Haha, hijrah, Mi?”
“Duh, calon istri idaman.”
“Hey, Cinta. Siap menikah nih.”
Hah, sialnya aku bertemu dengan rombongan rumpi Prodi PGSD. Padahal aku sudah parkir agak jauh dari tempat mereka biasa memarkirkan motor.
“Baru belajar teman-teman. Doakan semoga istiqomah ya,” jawabku. Cari aman lah. Malas menanggapi manusia-manusia tukang ghibah.
“Tumben, pagi-pagi sudah datang ke perpus univ. Biasanya perpus mau tutup kamu baru datang.”
“Aku ada bimbingan sama Pak Arayan. Beliau minta bimbingan di perpus.”
“Pantesan kamu parkir mobil di sini.”
“Rencananya setelah bimbingan mau langsung pulang.”
Soal parkir saja di permasalahkan. Memang sih aku parkir di pinggir jalan. Bukan di tempat parkir khusus mobil. Ya, itu tadi alasanku karena langsung pulang setelah bimbingan.
“Bukannya Dosen pembimbingmu Pak Yafiq. Kenapa bimbingan sama Pak Arayan?” si paling cerewet sejak tadi tak kunjung selesai mengintrogasi ku. Namanya, Yessi. Dia teman satu kelas ku. Waktu magang pun kita satu SD.
“Aku kurang tahu pastinya. Denger-denger Pak Yafiq lagi Umroh. Jadi, mahasiswa bimbingannya yang masih proposal dialihkan ke Pak Arayan.”
“Enak ya bisa bimbingan sama Dosbing ganteng. Pantas saja kamu pakai hijab. Pasti mau bikin Pak Arayan terkesan.”
Aku melotot mendengar ucapan Yessi. Bibir tipisnya jika berbicara selalu menyemburkan lahar panas. Sepertinya dia keturunan kuncen gunung berapi.
Tak mau ambil pusing dengan gunjingan manusia tukang ghibah, aku memutuskan pergi meninggalkan mereka tanpa berpamitan. Malas sekali bersikap sopan dengan orang yang mulutnya tak beretika.
***
“Tidak di kasih coretan, Pak?”
“Sudah benar kenapa harus di coret?” tanya balik Pak Arayan.
Aku takjub sekali dengan proposal ku yang bersih dari tinta merah. Rasanya seperti ingin berteriak, akhirnya aku berhasil mengerjakan proposal dengan baik.
“Besok langsung daftar sempro. Biar minggu depan sudah dapat jadwalnya. Kamu harus bisa wisuda tepat waktu.”
“Baik, Pak.”
“Jangan menggampangkan, Cintami!”
Aku menggelengkan kepala. Lalu melihat ke arah Pak Arayan. Sejenak mata kami bertemu tapi tak lama. Seperti biasa Pak Ayang pasti memutusnya lebih dulu. “Saya juga pengen lulus tepat waktu, Pak.”
“Sudah daftar di SD mana?”
“Masih mencari-cari SD yang mau menerima saya, Pak.”
“Kenapa tidak mendaftar di sekolah Nayeef?”
“Mana boleh sama Adek, Pak? Dia bilang malu kalau saya mengajar di sekolahnya.”
Memang adik kesayanganku itu jahat sekali dengan kakaknya. Sebelum aku berpikir tempat magang, dia lebih dulu mewanti-wanti ku agar tidak mendaftar di sekolahnya.
“Wajar kalau Nayeef malu.”
Aku tak salah dengar 'kan? Pak Ayang setuju dengan Nayeef. Sepertinya aku tidak ada salah bicara sejak tadi. Kenapa dia menyerang ku lagi?!
“Bapak bikin saya sedih,” ucapku dengan wajah sedih.
“Tidak usah drama.”
“Saya bicara fakta, Pak.”
“Sudah, sudah. Lebih baik kamu sekarang pergi dari sini. Belajar yang rajin untuk persiapan seminar proposal. Jangan sampai kamu mempermalukan saya.”
Aku tersenyum semanis mungkin. Lalu membenarkan hijab ku yang masih rapi. Sengaja aku melakukan itu di depan Pak Ayang. Dari tadi dia tak berkomentar soal penampilanku hari ini.
“Kenapa?”
“Bapak tidak ada niat memuji penampilan saya?”
Pak Arayan hanya menggelengkan kepala tanpa melihat ke arahku. Sungguh keterlaluan! Ada gadis sholehah di depannya bisa-bisanya tak tertarik sama sekali. Jangan-jangan aku ini kurang cantik di matanya? Ah, tapi itu tidak mungkin!
“Saya ‘kan sudah berubah seperti yang Pak Arayan minta. Masak tidak ada sedikit komentar untuk menyenangkan hati saya,” gumamku pelan. Tapi, aku yakin Pak Ayang masih bisa mendengarnya.
“Kamu mau komentar seperti apa? Banyak mahasiswi di kampus ini yang memakai hijab. Jadi, penampilanmu saat ini biasa saja. Tak perlu diberi komentar maupun pujian.”
Aku memegang dadaku setelah mendengar jawaban Pak Ayang. Sedikit nyeri tapi sudah biasa bagiku. Hanya ingin mendramatisir saja, siapa tahu Pak Ayang menarik ucapan pedasnya barusan.
“Banyak loh, Pak. Mahasiswa yang bilang saya cantik hari ini.”
“Terus?”
“Bapak lihat dulu yang benar.” Keadaan perpustakaan masih sepi. Jadi, aku berani sedikit agresif dengan calon imamku. Aku berdiri dari tempat duduk ku. Sedikit berpose agar Pak Ayang bisa melihat penampilanku. “Pak ...”
“Hmmm.”
“Lihat saya dulu. Sebentar saja,” ucapku sedikit memaksanya.
Akhirnya, masa depanku mau melihat ke arahku. Dia melihat dari atas sampai ke ujung kaki. Setelah itu, kembali fokus pada laptopnya.
“Gimana, Pak?”
“Saya sudah bilang. Penampilanmu sama dengan para Mahasiswi berhijab di kampus ini.”
Aku mendengkus kesal. Kembali duduk untuk membereskan barang-barang ku. Percuma saja dandan cantik sejak subuh pada akhirnya dibilang biasa saja.
“Bapak tuh harus periksa mata deh. Masak Cintami secantik ini dibilang seperti Mahasiswi pada umumnya.” Sebelum pergi meninggalkan perpus aku kembali menggerutu.
“Ya, memang kenyataannya seperti itu,” jawab Pak Ayang.
“Bapak pasti kagum tapi malu buat ungkapin. Iya ‘kan, Pak? Terus terang saja, Pak. Tak perlu malu-malu.”
Pak Arayan membuka kacamatanya. Kembali menatap ke arahku. “Kalau begini kamu kelihatan lumayan.”
Mulutku menganga saat Pak Arayan mengatakan aku lumayan. Tapi, tanpa kacamata. Itu adalah salah satu penghinaan. “Mata Bapak minus berapa?”
“Kanan 3 kiri 2,7.”
“Bilang lumayan dengan mata buram. Astaghfirullah, Bapak!!!”