Usia kehamilanku sudah memasuki minggu ke tiga belas. Sebentar lagi sudah mau memasuki minggu ke empat belas atau lebih tepatnya empat bulan. Aku dan mas Wawan akan mengadakan syukuran empat bulan kehamilanku.
Masih ada waktu satu minggu lagi untuk mempersiapkan semuanya. Rencananya kami akan melaksanakan syukuran empat bualanannya di rumah ibuku.
"Mas kamu beri tahu keluargamu kalau minggu depan kita akan mengadakan syukuran empat bulanan di sini" suruhku kepada mas Wawan yang sedang menikmati secangkir kopi di halaman belakang rumah ibu.
"Kalau mereka gak keberatan atau gak lagi sibuk suruh datang ke sini" sambungku.
"Iya dek nanti mas telepon mbak Sarah untuk memberi tahu keluargaku"
Lalu aku kembali ke dapur untuk membantu ibu yang sedang memasak sekaligus mau menanyakan tentang rangkaian acaranya.
"Bu, tentang syukuran empat bulananku nanti acaranya mau bagaimana ?"
"Sederhana saja ya nak. Kita paling mengundang keluarga dan tetangga dekat saja". "Kalau untuk konsumsi ibu mau masak dibantu sama bude Yati" sambungnya sambil mengiris sayuran.
"Ya sudah kalau begitu ibu atur saja bagaimana bagusnya"
Malam harinya sebelum tidur aku kembali mengingatkan mas Wawan untuk memberi tahu keluarganya. Dan mas Wawan pun segera menelpon mbak Sarah.
Teeet...
Teeet...
Suara sambungan telepon tandanya nomornya aktif dan tak berselang lama mbak Sarah pun mengangkat telpon dari mas Wawan.
"Assalamu'alaikum" ucap mbak Sarah di seberang sana.
"Wa'alaikumsalaam. Mbak tolong kasih tahu ibu kalau minggu depan aku dan Lia akan mengadakan syukuran empat bulanan di dini. Aku berharap kalian bisa ke sini ya" ucapku menjelaskan maksud dan tujuanku menelponnya.
"Iya besok mbak sampaikan. Sekarang ibunya sudah tidur. Semoga acaranya lancar"
"Iya mbak. Ya sudah kalau begitu telponnya aku tutup ya, aku hanya ingin menyampaikan itu saja. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalaam".
Mas Wawan pun mematikan sambungan telponnya dan meletakan kembali benda pipihnya di meja riasku.
"Mas aku boleh minta tolong pijitin kakiku. Rasanya pegal sekali" pintaku merengek manja.
"Boleh dong. Sini biar mas pijitin. Kamu gak boleh capek-capek ya, ingat dalam rahimmu ada calon anak kita"
"Iya mas" jawabku sambil menelonjorkan kakiku. Saking enaknya dipijitin, aku sampai tertidur pulas.
***
Esok harinya seperti biasa aku bangun subuh. Setelah shalat subuh lalu aku pergi ke dapur untuk membantu ibu menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk mas Wawan.
Bapak juga sudah ada di sana menikmati secangkir teh hangat dengan ditemani pisang goreng yang masih panas.
"Wawan mana ? Suruh dia ke sini sarapan dulu mumpung pisang gorengnya masih panas. Teh manisnya juga sudah ibu mu siapkan" ucap bapak dengan suara yang kurang jelas karena mulut penuh dengan pisang goreng yang masih panas.
"Dia masih di kamar pak sedang bersiap-siap. Sebentar lagi juga ke sini"
"Tuh kan dia muncul" ucapku lagi sambil menunjuk ke arah mas Wawan yang sedang berjalan ke arah kami sembari merapika pakaiannya.
"Ayo nak sarapan dulu" ucap ibu.
"Iya bu"
Mas Wawan pun duduk di meja makan berhadapan dengan bapa yang sedari tadi asyik mengunyah pisang goreng.
"Ayo dimakan mungpung masih panas". Bapak menyodorkan sepiring pisang goreng.
Ibu dan bapakku memang memperlakukan mas Wawan seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat menyayanginya.
Deerrrt...
Derrttt...
Ponsel mas Wawan berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari mbak Sarah. Lalu mas Wawan pun segera mengangkat telpon dari mbak Sarah.
"Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalaam. Wan, tadi mbak sudah memberi tahu ibu perihal rencana kamu yang akan mengadakan syukuran empat bulanan di sana"
"Kata ibu insyaAllah nanti kami hadir"
"Oh iya mbak syukurlah kalau begitu. Kami tunggu ya kedatangannya"
"Iya. Sudah dulu ya, mbak hanya ingin mengabarimu itu saja"
"Iya mbak". Lalu mas Wawan pun menutup sambungan teleponnya dan melanjutkan sarapan bersama bapak.
***
Hari ini aku dan ibu juga dibantu bude Yati menyiapkan keperluan untuk acara syukuran kehamilanku besok. Tadi pagi mereka sudah pergi ke pasar membeli bahan-bahan makanan untuk hidangan yang akan disuguhkan besok. Kami akan membuat hidangan seadanya.
Sementara mas Wawan dan bapak memindahkan kursi yang ada di ruang tamu ke halaman belakang. Karena rencananya ruang tamu akan dipakai untuk para tamu undangan besok.
"Mas, pak. Ini kopinya diminum dulu mumpung masih panas" ucapku sembari menyuguhkan dua gelas kopi. Lalu kedua lelaki yang beda usia itu menghampiriku dan mengambil gelas kopi yang telah ku suguhkan.
"Ibu dan kakakmu kapan mau ke sini mas ?" Tanyaku kepada mas Wawan yang sedang menyeruput kopi.
"Katanya besok pagi mereka akan ke sini"
Aku menganggukkan kepalaku dan berlalu meninggalkan mereka.
Ke esokan harinya saat aku sedang menyapu halaman rumah tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah ibu. Ternyata itu adalah rombongan keluarga suamiku. Ku lihat ada ibu dan bapak mertuaku juga kedua kakak iparku dan anak-anaknya. Sementara Dila dan suaminya mbak Sarah dan mbak Sinta tidak ikut karena sedang bekerja.
Semenjak menikah, Dila ikut suaminya dan tinggal di rumah mertuanya. Dan semenjak itu juga aku jarang berkomunikasi dengannya.
Aku menyimpan sapu di pojokan depan rumah ibu dan langsung mencuci tanganku. Lalu aku menghampiri keluarga mas Wawan untuk menyambut hangat kedatangannya.
Ku ulurkan tanganku untuk bersalaman dengan mereka. Mereka pun menyambut uluran tangan dariku. Setelah itu aku langsung mempersilahkan mereka masuk.
"Pak tolong turunkan barang-barang bawaan kami ya dan angkatin ke dalam" suruh ibu mertuaku kepada seorang supir sewaannya.
"Baik bu" jawab pria itu lalu bergegas menurunkan barang bawaan ibu mertuaku dan menyimpannya ke dalam rumah.
"Eh bapak dan ibu sudah datang. Ayo silahkan masuk" sambut mas Wawan sembari menyalami mereka satu persatu.
Setelah mereka masuk, aku langsung membuatkan minum untuk mereka sekalian memanggil ibu dan bude yang tengah sibuk memasak di dapur.
Ibu dan bude Yati pun segera menghampiri mereka.
"Loh kok sudah ada bu Yati di sini. Kapan ke sini bu ? Tanya ibu mertuaku.
"Iya bu Salma. Kemarin siang saya ke sini"
"Silahkan diminum" ucapku sembari menyuguhkan beberapa gelas air minum dan cemilan.
"Kalau begitu saya tinggal ke belakang dulu ya mau melanjutkan masak lagi" ucap bude Yati
"Saya juga ya bu. Kalian istirahat dulu di sini" sambung ibu. Lalu mereka pun berlalu menuju dapur kembali.
"Iya bu. Itu ada beberapa buah-buahan dan juga biskuit untuk menambah suguhan nanti"
Setelah beberapa menit keluarga suamiku beristirahat, lalu ibu mertuaku pergi ke dapur untuk sekedar bantu - bantu. Sementara mbak Sarah dan mbak Sinta masih duduk di ruang tamu sambil momong anaknya.
"Masak apa saja bu ?" Tanya ibu mertuaku.
"Ini kami masak seadanya saja bu. Hanya beberapa menu yang kami masak" jawab ibuku sambil menunjuk ke arah bahan makanan yang akan dipasak
"Kami hanya memasak sayur daging, sambal goreng kentang, pepes ikan dan bihun goreng" sambungnya lagi.
"Cuma itu saja, memangnya tidak ada pilihan menu yang lain ?" Ibu mertuaku bertqnya kembali dengan nada yang kurang mengenakan.
"Memangnya gaji anak saya selama ini kamu pakai buat apa saja. Kok mengadakan syukuran aja sesederhana ini. Bikin malu saja mending gak usah mengadakan syukuran saja sekalian" sambungnya lagi dengan nada ketus.
Ibuku dan bude tercengang mendengar ucapan mertuaku barusan. Memang tak sepantasnya dia berkata seperti itu. Seharusnya dia menghormati niat kami untuk mengadakan syukuran walau dengan cara yang sangat sederhana.
"Maaf bu, bukannya aku tak mau mengadakan acara syukuran ini dengan lebih mewah. Tapi aku harus berhemat dan menabung untuk biaya persalinanku nanti" jawabku.
Bukan hanya sekedar alasan saja aku menjawab ucapan ibu mertuaku. Tapi memang kenyataannya aku harus menabung untuk biaya persalinanku nanti. Belum lagi aku harus membeli alat-alat perlengkapan bayi. Lagipula tradisi di kampungku memang seperti ini. Syukuran apapun selalu dilaksanakan dengan cara sederhana. Hanya orang yang berada saja yang mengadakan syukuran dengan cara lebih mewah.
"Halaaah paling itu cuma alasan kamu saja. Bilang saja kalau kamu pelit. Atau jangan-jangan gajih anakku kamu habiskan untuk memberi makan keluargamu"
Deg !
Nyesek banget saat ibu mertuaku bicara seperti itu. Aku memang tinggal menumpang di rumah orangtuaku. Tapi kalau urusan makan kami selalu makan seadanya menikmati hasil kebun bapak dan ibu. Aku hanya membantu membayarkan listrik dan keperluan lainnya.
"Maaf bu Salma. Meskipun Lia dan Wawan tinggal disini dan meskipun aku dan suamiku tidak punya penghasilan tetap, tapi aku tidak mengandalkan mereka apalagi mengandalkan uang Wawan. Aku dan suamiku masih bisa menghidupi diri sendiri" jawab ibuku dengan netra yang mulai berembun.
Aku mengerti dengan perasaan ibuku. Ingin rasanya ku jawab perkataan mertuaku. Tapi aku hanya bisa menghela nafas dan berusaha sabar karena sebentar lagi mau ada acara syukuran di rumah ibu. Kalau aku meladeninya takut acaranya malah menjadi kacau.
Sikap keluarga mas Wawan berubah semenjak aku belum bisa hamil terutama ibunya. Aku kira saat aku hamil sikap mereka akan kembali baik seperti dulu. Tapi nyatanya tidak.
Aku mengedipkan mataku kepada ibu mengisyaratkan bahwa tak usah meladeninya. Kemudian ibu dan bude pun kembali melanjutkan memasak karena waktu yang sudah mepet. Acara akan di mulai setelah shalat dzuhur nanti.
Sementara ibu mertuaku kembali lagi ke ruang tamu. Dia tak jadi membantu ibu dan bude masak.
"Ibu kenapa cemberut ?" Tanya mbak Sarah.
Aku menghentikan langkahku dan berdiam diri di balik lemari penyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga.
"Ibu kesel banget sama si Lia dan ibunya. Mereka hanya menghambur-hamburkan uang adikmu". Jawab ibu tak sesuai kenyataan.
"Oh pantas saja sekarang dia mengurangi jatah uang jajan anak kita ya mbak" sambung mbak Sinta dengan suara bisik-bisik namun masih terdengar karena mereka duduk tepat di d3kat lemari penyekat.
Aku melongo saat mendengar ucapan mbak Sinta barusan.
'Maksud mbak Sinta apa ya berbicara seperti itu. Apa selama ini mas Wawan selalu memeberi jatah uang jajan buat keponakannya tanpa sepengetahuanku' bathinku.
Dari awal nikah uang gaji suamiku memang aku yang pegang. Tapi dia tidak memberikan semua uang gajinya kepadaku dengan dalih uangnya ditabung untuk membeli rumah dan biaya persalinanku.
"Kita harus bicarakan ini dengan Wawan bu" sambung mbak Sarah.
"Iya betul. Ibu juga kesal jatah bulanan ibu dikurangi"
'Ya Allah apa benar mas Wawan memberikan uang kepada keluarganya tanpa sepengetahuanku' bathinku lagi.
Aku tidak percaya dengan pembicaraan mereka. Selama ini aku mengenal mas Wawan sebagai suami yang baik dan jujur.
Bukan tak boleh memberikan uang kepada keluarganya. Tapi alangkah lebih baiknya jika istri mengetahui hal itu tanpa harus diam-diam. Bagaimanapun juga aku sekarang sudah menjadi istri mas Wawan. Jadi apapun yang dia lakukan aku wajib mengetahuinya.