3. Kalah Telak

1074 Kata
Beberapa penjaga tampak waspada di sekitar Marchel. Carol sudah ketakutan mengingat bagaimana kasarnya mereka memperlakukannya kemarin. Tapi Marchel berbeda, dia tampak begitu santai dan tidak takut sama sekali. "Mana mungkin saya melupakan seseorang yang pernah menyelamatkan nyawa saya." Ucap madam Olive "Anda pernah mengatakan saya memiliki satu permintaan sebagai balasan karena menyelamatkan nyawa anda. Saya ingin mengambil permintaan itu sekarang." Madam Olive tampak mngernyit dengan penasaran. Tapi senyum manis yang memiliki banyak arti masih tersungging dengan sempurna. "Baiklah, bagaimana kalau kita duduk dulu supaya lebih nyaman mengobrol?" Ajak Madam Olive dengan lembut dan nada suara menggoda. Marchel hanya tersenyum sopan tapi tidak bergerak sedikitpun. "Saya tidak memiliki waktu banyak, sore ini harus pulang ke Indonesia. Lagipula permintaan saya sederhana, saya menginginkan rubah ini." Madam Olive tertawa. Jenis tertawa yang menyeramkan. Carol sedikit tersentuh, terlebih ketika dia merasakan genggaman Marchel yang mengerat di tangannya. "Saya mohon maaf sebesar-besarnya tapi rubah ini sudah menjadi milik seseorang. Dia sudah membayar lunas sebelum dia kabur." Kali ini giliran Marchel yang terkekeh. "Kalau begitu tinggal kembalikan saja uangnya. Itu perkara mudah bukan?" "Tidak bisa seperti itu, ini adalah masalah menepati perjanjian." Jawab Madam Olive dengan santai, walau raut wajahnya sudah sedikit berubah tidak seramah tadi. "Permintaan saya juga merupakan janji yang harus di tepati. Saya dan pelanggan anda lebih duluan saya yang diberi janji, jadi saya yang menang benar kan?" Beberapa penjaga tampak lebih waspada mereka bahkan sudah berdiri dari tempat duduknya. Carol semakin mendekatkan tubuhnya pada Marchel. "Maaf tapi untuk rubah yang ini saya benar-benar tidak bisa memberikannya." Marchel terkekeh. "Ada apa ini?" Semua orang menoleh ke arah sumber suara. Para penjaga tampak mundur, Madam Olive tampak sedikit takut. Tapi Marchel tersenyum miring. "Aku menginginkan rubah ini, tapi Madam Olive sepertinya sangat keberatan." Ucap Marchel tenang. "Apa aku harus menghancurkan tepat ini lagi seperti dulu?" Carol sendiri tidak mengetahui siapa laki-laki bertubuh besar yang sepertinya berpihak pada Marchel itu. "Tuan Bima, bagaimana jika kita bicarakan ini secara baik-baik?" Bima tampak mendengus. "Aku tidak suka basa-basi lepaskan rubah itu atau silahkan meninggalkan tempat ini." Alasan Marchel tidak takut sedikitpun memasuki tempat ini adalah karena dia tahu, Bima sangat berkuasa di daerah ini. Teman Dimas yang merangkap sebagai mata-mata Dewi itu adalah pemilik beberapa club malam di daerah sekitar sekaligus pemilik bangunan yang digunakan tempat prostitusi oleh Madam Olive. "Tuan masalahnya rubah ini sudah dibeli oleh tuan Marco Antonius." Marchel terbelalak kaget. "Hanya Marco apa yang kau takutkan, biar aku yang membereskannya."Madam Olive mengangguk dengan sedikit takut. "Bawa dia pergi! Tidak akan ada yang menghalangimu." Marchel tersenyum, kemudian menatap Carol yang terlihat ketakutan. "Ambil barang-barangmu! Paspormu juga ada di dalam sana kan?" Gadis itu mengangguk tapi tidak berani bergerak. "Ambilkan barang-barang rubah ini cepat!" Ucap Bima lantang. Beberapa penjaga berlari menuju ruangan untuk mengambil barang-barang Carol. Madam Olive diam saja, tidak menyangka bahwa laki-laki yang terlihat baik seperti Marchel bisa mengenal Bima. "Apakah kau tahu siapa rubah yang kau jual ini?" Madam Olive tidak menjawab, hanya pandangannya menyiratkan rasa penasaran. "Dia adalah sepupu dari bos yang sangat aku hormati." Carol melongo. Sepupunya yang mana yang menjadi bos dari laki-laki menyeramkan seperti Bima? "Maaf tuan saya tidak tahu. Saya mendapatkannya dari seseorang." Bima nampak jengkel. Apa saja yang berhubungan dengan Dewi akan membuatnya marah jika diusik. Laki-laki itu mendapatkan segalanya karena bantuan Dewi. Bahkan ketika adiknya membutuhkan biaya banyak untuk operasi jantung, Dewi membantunya dengan cuma-cuma. Itulah kenapa Bima sangat menghormati wanita manja yang sering membuatnya pusing itu. Jika tidak ada Dewi, mungkin sekarang Bima hanya akan berakhir menjadi preman jalanan saja. "Aku mau informasi semua orang yang terlibat dengan kasus ini. Kau tahu aku tidak suka info yang setengah-setengah." Madam Olive mengangguk. Marchel mengagumi adik iparnya di dalam hati. Tidak semua orang bisa mempunyai seseorang yang setia seperti Bima. "Thanks Bim, gue cabut yah."Marchel langsung mengambil semua barang-barang Carol yang dibawakan penjaga dan meninggalkan tempat itu. "Oke bro, safe flight yah." Marchel mengangguk. "Terimakasih." Ucap Carol lirih. Bima tersenyum. Dia akui keluarga Dewi memang cantik-cantik. *** Mereka berdua tiba di Bandara dengan perjalanan sunyi tanpa pembicaraan. Carol diam saja, mulai percaya pada Marchel. "Keluarkan paspormu!" Carol menurut. "Kita pulang ke Indonesia sekarang?" Marchel mengangguk. "Sebentar lagi adalah hari yang aku janjikan untuk membawa calon istri ke rumah." Carol terkesiap. Dia harus mulai memikirkan cara untuk mempengaruhi orang tuanya agar menolak Marchel. Jika tidak maka dia akan benar-benar menjadi istri laki-laki menyebalkan itu. "Ngomong-ngomong siapa sepupuku yang menjadi bos Bima tadi?" Marchel melirik sebentar tapi tidak menjawab. "Marchel aku bertanya!" "Aku tidak ingin menjawab." Laki-laki itu berucap tanpa menoleh. Pandangannya fokus pada layar ponsel. Carol benar-benar merasa akan darah tinggi jika lama-lama berada di sekitar Marchel. Dia tidak habis pikir bagaimana Dimas bisa memiliki saudara semenyebalkan ini? "Baiklah. Baiklah terserah." Carol membuang pandangannya dari Marchel dengan jengkel. Diam-diam Marchel tersenyum tipis. Entah kenapa membuat rubah itu jengkel menjadi kesenangan tersendiri. "Carolin! Kok kamu disini? Mamah telponin kamu dari kemarin gak aktif." Carol mematung, kenapa harus bertemu ibunya disini? Bisa gagal semua rencananya. Gadis itu meggigit bibir dalamnya melihat Marchel berdiri dengan sopan dan menyalami calon mertuanya itu. "Selamat malam tante, saya Marchel." Maya yang melihat laki-laki tampan di samping putrinya ternyata bukan orang asing, tersenyum sumringah. Ini yang dia tunggu-tunggu sejak dulu. "Wahhh siapanya Carolin? Kok kalian bisa barengan disini?" Carol sudah hendak menjawab tapi melihat Marchel mengkode menggunakan ponsel, dia tidak berani. Bisa gawat kalau ibunya sampai tahu tentang iklan bodoh itu. "Saya pacarnya Carolin tante." Maya mengembangkan senyum semanis madu miliknya sambil melrik putrinya menggoda. "Ohh jadi kemarin tidak bisa dihubungi karena kalian... mmmm sudah lah tidak perlu di bahas yang penting mamah tunggu kedatangan kamu untuk melamar." Marchel tersenyum lebar, berbeda dengan Carol yang merasa kalah sebelum berperang. Bagaimana bisa takdir semudah itu berpihak pada si menyebalkan Marchel? "Siapa yang melamar mah?" Tambah gawat karena ayahnya ternyata ada disini, dan begitu melihat Marchel laki-laki itu langsung berjabat tangan dengan akrab. "Papah kenal sama Marchel?" Tanya Maya penasaran. "Tentu saja, dia putra sulungnya Gunawan Prayogo loh mah. Kakaknya Dimas yang jadi dokter itu." Maya menganga tidak percaya. Bagaimana putrinya yang pecicilan itu bisa mendapatkan calon suami potensial seperti ini? Rasanya wanita itu ingin sujud syukur sekarang juga. "Dia pacarnya Carolin loh pah, yang tadi mamah tanya soal lamaran." Erik tersenyum lebar sambil menatap Marchel menanyakan kebenarnya. Begitu Marchel mengangguk dengan senyuman, laki-laki paruh baya itu tertawa begitu gembira. Sepertinya hanya Carol saja yang sedang merasa sangat sial, karena nyatanya semua orang tampak bahagia dengan kabar itu. "Jadi kapan putri om mau dilamar?" Erik tampak begitu bersemangat. Bagaimanapun keluarga Prayogo adalah calon menantu yang sangat potensial. Carol sudah pasrah, sepertinya memang sudah menjadi takdirnya menikah dengan laki-laki semenyebalkan Marchel "Secepatnya om, setelah Marchel mengenalkan Carolin pada mamah dan papah." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN