6 | Terima Kasih ... Daddy

1073 Kata
Terdengar bunyi anjng menyalak, membuat Liam yang tidur mengawang-awang langsung melotot. Bergegas Liam menyikap selimutnya kemudian bangkit dan berlari keluar dari kamar. Liam berlari ke arah asal suara anjing, lalu saat diambang pintu, Liam langsung berteriak, “Kairo!” Anjing jenis Siberian Husky itu langsung mengenali Liam. Segera Kairo melompat dari pelukan Yudistira kemudian menubrukkan badannya pada Liam. Kairo menggonggong keras, seolah sedang melampiaskan rasa bahagianya saat bertemu teman. “Sudah kukira kau akan kurus, tapi kau terlihat jauh lebih sehat sekarang.” Diusap-usap Liam puncak kepala Kairo, juga tidak lupa Liam menciumi bulunya. “Kau merindukanku? Apa di penampungan hewan kau memiliki banyak teman? Bagaimana perasaan mereka saat tahu kau hari ini pergi dari sana?” Guk, guk! Kairo menjawab dua kali dan Liam langsung menepuk-nepuk puncak kepala Kairo. “Anak baik. Nanti kau akan bertemu mereka lagi. Jangan khawatir.” Kemudian Liam mendongakkan kepala menatap Yudistira. “Terima kasih sudah membawanya kembali, Dad.” “Itu saja? Kau tidak ingin memberikan pelukan pada Dad?” tanya Yudistira dengan tangan terentang lebar, seolah menunggu Liam bergerak untuk menghampiri dan merangkulkan kedua tangannya pada tubuh Yusidtira. “Aku masih dalam mode tidak ingin bicara atau bertindak banyak pada Dad. Ingat, sebelum Dad memenuhi permintaanku, aku tidak akan merubah perilaku.” Kemudian Liam meletakkan Kairo di lantai dan berbicara, “Mari ikut aku ke kamar. Aku belum menggosok gigi, kurasa kau menyadari bau mulutku.” Liam sudah akan beranjak, tapi Yudistira menahannya. “Kau serius ingin Tante Sasi jadi nanny? Liam, percayalah dengan yang Dad katakan, Tante Sasi lebih dari apa yang kau pikirkan. Dad tidak bisa mempekerjakan orang sepertinya untuk mengasuhmu.” “Lebih dalam hal apa? Dad tahu, Tante Sasi pandai memasak. Aku juga merasa obrolanku dengan Tante Sasi begitu nyambung. Jadi, Dad, tolong sekali ini turuti permintaanku. Aku janji jadi anak baik dan tidak menyusahkan Daddy.” Yudistira menghela napas panjang, juga memijit pangkal hidungnya. Kekeras-kepalaan Liam memang tidak ada obatnya. Yudistira sebagai orang tua lagi-lagi dibuat pusing dengan permintaan anaknya sendiri. “Ya sudah, kalau begitu Dad akan menawari Tante Sasinya langsung. Ingat, dengan syarat Tante Sasi menerima tawaran lalu Dad akan memberikan tes untuknya.” Sisi bersorak kemenangan yang ada di dalam tubuh Liam langsung Liam tekan untuk beberapa saat. Liam mencoba terlihat biasa saja saat ini. “Benarkah? Dad tidak akan ingkar janji, kan? Laki-laki itu dinilai dari ucapan dan tindakan, kalau salah satu dari keduanya tidak diterapkan maka–” “Dad janji,” ucap Yudistira dengan sungguh-sungguh. Liam mengkode pada Kairo agar mengikutinya. Ketika mereka mendekat pada Yudistira, Liam mengulurkan tangan dan mengacungkan jari kelingking. Yudistira menerima janji ala anak kecil itu dengan menautkan kelingkingnya pada kelingking Liam. “Sudah disahkan. Dengan ini Dad tidak boleh mencabutnya lagi.” *** Sasi baru selesai mandi dan akan berpakaian. Tapi bel rumah yang dibunyikan membuat Sasi urung memasang pakaiannya dan memilih membukakan pintu hanga dengan menggunakan handuk yang membungkus tubu Sasi. Hal ini sudah biasa, Sasi yang suka mengundang dan tergantung orang-orangnya-lah, apakah menerima undangan tersebut atau menolaknya. “Sebentar, ya,” kata Sasi dari dalam. “Kenapa hobinya bertamu jam delapan malam? Ini waktunya istirahat tau. Mending tamu yang datang langsung ngasih uang segepok. Kalau tidak, rugi gue.” Diputar Sasi gagang pintu kemudian ditariknya. Meski niat Sasi ingin mengundang, tapi masih ada rasa was-was juga. Takut kalau tamu itu adalah kakek-kakek tua atau om-om gendut yang bau. Kalau sampai benar, maka Sasi nyari mati namanya. “Lho, daddy-nya Liam?” tanya Sasi kaget, kemudian perlahan-lahan keluar dari persembunyian dan memperlihatkan tubuhnya pada Yudistira. “Ada apa? Tadi ada menghubungi saya?” Yudistira mengusap rambutnya kemudian membuang pandangan ke arah lain, lebih tepatnya enggan berbicara sambil menatap Sasi. “Ada yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Kali ini serius dan penting.” “Oh, silahkan masuk,” ujar Sasi. “Atau ... Anda masuk dulu, sedangkan saya berpakaian secara sopan. Hm, soalnya saya habis mandi, kalau berpakaian lebih dulu pasti membutuhkan waktu yang lama untuk membukakan pintu.” “Lebih baik seperti itu saja,” sahut Yudistira cepat. “Anda berpakaian dan saya menunggu di luar. Setelah selesai, Anda kembali lagi dan baru saya akan masuk.” Sasi tertawa geli. “Ya sudah kalau begitu. Tunggu di sini sebentar, Daddy-nya Liam.” Sasi mengerling genit. Sebelum beranjak, Sasi berbicara lagi, “Gerak-gerik Anda seperti orang yang dalam bahaya, padahal saya hanya gadis lemah yang tidak memiliki kuku panjang untuk menerkam.” *** Garis besar yang Yudistira tawarkan adalah, menjadi nanny untuk Liam. Sasi akan digaji besar asal kerjanya bagus dan memuaskan bagi Yudistira. Sasi juga akan diberikan bonus seandainya Yudistira ada pasien darurat malam hari dan Sasi yang akan menemani Liam tidur. Yudistira bilang, kalau Sasi menerima tawarannya maka Sasi akan diberikan tes. Memang tidak diberitahu secara garis besar tes macam apa yang akan Sasi jalani, tapi Sasi percaya diri akan menyelesaikan tes itu dengan baik. Karena apa? Karena Sasi perempuan multitalenta. Bisa apa saja dan mengerjakan apa saja. “Okay, saya menyetujuinya,” jawab Sasi mantap. “Mungkin dari penampilan atau perilaku saya yang membuat Anda mundur beberapa minggu yang lalu. Tapi bukankah Anda sudah sering mendengar kalau jangan menilai seseorang dari kovernya saja?” “Maaf itu kesalahan saya,” ujar Yudistira tidak nyaman. “Lain kali saya tidak akan seperti itu lagi. Menjadikan Anda seorang nanny itu adalah permintaan khusus anak saya. Kalau tidak dituruti maka anak saya melakukan aksi mogok bicara.” Sasi mengangguk-angguk mengerti. Ya, dari pertama datang ke rumah ini saja wajah Yudistira sudah terlihat terpaksa dan enggan, apalagi sampai menawari Sasi pekerjaan. Tapi sudahlah, urusan ini belakangan, yang penting Sasi sudah bisa masuk ke dalam lingkungan Yudistira. Sasi mempunyai rencana cantik yang tersusun di kepalanya, setelah melewati tes, maka rencana Sasi akan direalisasikan. “Sampaikan salam dan terima kasih saya untuk Liam. Anak itu pintar dan baik sekali. Sadar atau tidaknya, Liam sudah menyediakan lapangan pekerjaan untuk pengangguran seperti saya.” Juga menyediakan peluang untuk mendekati daddy-nya, lanjut Sasi dalam hati. “Sama-sama. Ini bukan hal yang besar.” Segera Yudistira menandaskan tehnya kemudian bangkit. “Saya kira, ini saja yang saya sampaikan. Terima kasih untuk menerima kedatangan saya dan untuk tehnya. Besok pukul tiga sore di rumah saya, jangan lupa datang.” “Tentu.” Saat Sasi melihat Yudistira akan beranjak pergi, Sasi menahannya dengan mengulurkan tangan. “Tanda terima kasih saya, juga ... permohonan untuk menanggalkan nada formal dalam berbicara. Karena saya merasa tidak nyaman dan lidah saya kaku.” Yudistira enggan menyambut, tapi karena terus-terusan dihujami Sasi dengan tatapan menuntut, mau tidak mau Yudistira menerimanya. “Sama-sama. Urusan berbicara formal atau tidak, itu hak Anda. Saya sama sekali tidak mempermaslahkannya.” Setelah itu Yudistira akan menarik tangannya, namun Sasi menahan dengan cara mempererat jabatan tangan. “Kalau begitu,” bisik Sasi pelan. “Terima kasih juga untuk yang ini, ... Daddy.” Seketika seluruh bulu di tubuh Yudistira langsung merinding. Dipanggil ‘daddy’ oleh Liam sudah biasa, karena Liam memang anaknya. Tapi dipanggil oleh orang lain, lebih lagi orang itu perempuan dewasa dan punya keahlian dalam menggoda pria? Itu sangat mengerikan sekali bagi Yudistira. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN