Chapter 16

1321 Kata
Mendaline sedang mengetik sesuatu di kolom pencarian. Kata kunci yang dimasukan olehnya adalah 'Islam', 'muslim' dan kata lain yang berhubungan dengan Islam. "Dilarang makan daging babi, darah … minum khamar atau alkohol," ujar Mendaline saat dia membaca artikel di pencarian itu. Setelah membaca artikel itu, Mendaline seperti teringat lagi, beberapa ingatan ketika dia dan Askan sedang menghabiskan waktu bersama di hari libur Askan. "Waktu itu dia restoran, dia memang nggak makan bacon, tapi bisa-bisanya yah dia nggak jijik sama aku, dan malah bilang ke aku habiskan makanannya karena aku lapar … lalu tadi … dia memang nggak bisa minum bukan karena pekerjaannya tapi karena itu ajaran kepercayaannya yang sudah dianut dari kecil," gumam Mendaline. "Tapi dia bahkan mengikutiku masuk ke bar diskotik untuk merayakan hari ini. Askan … kamu sebenarnya kenapa begitu baik padaku? aku jadi benar-benar nggak bisa mengabaikan kamu, dan ingin terus bersandar padamu," ujar Mendaline. Mendaline menatap layar laptop, yang mana di layar itu, ada beberapa gambar yang berhubungan dengan Islam, di antara gambar itu ada Al-Quran, sajadah, masjid dan tasbih. Mendaline menatap layar laptop hingga beberapa detik tak berkedip. Kemudian dia bergumam pelan. "Dia muslim dan aku …? atheis." "Dia punya Tuhan, sementara aku nggak punya. Benar-benar berbeda," gumam Mendaline. * "Jadi kamu dan Nona Korban telah berpacaran?" tanya Candra. Askan melirik ke arah Candra yang sedang mencomot cemilan, lirikan mata Askan terlihat kaku saat mendengar ucapan dari Candra. "Ada apa? kenapa matamu melihatku seperti itu? ada yang salah?" tanya Candra. "Nona siapa yang baru saja kamu sebut?" tanya Askan. Candra mencomot cemilan lagi. "Kita di sini sudah berpendapat, jika esok lusa kamu nggak jadi nikah sama Nona Korban, maka Tuhan sungguh mempermainkan kalian," ujar Otto. Teman-teman yang lain mengangguk. "Setiap hari libur, kamu nggak pernah ngabisin waktu dengan kita, selalu saja berlari ke pelukan Nona Korban, kita mengalah saja lah demi kebahagiaan kamu," timpal Koko. Yang lainnya mengangguk. "Katakan, selama kalian menghabiskan waktu bersama di hari libur, kalian pergi ke mana saja?" tanya Bintang. "Nah, itu! kamu nggak pernah cerita loh! kita kan jadi penasaran!" Candra duduk bersila di tengah ranjang. Askan melotot ke arah Candra. "Tempat tidurku, woi! jadi kotor! makan model apa itu? cemilan lari sana lari sini!" Candra melirik ke arah ranjang yang selalu ini dia kuasai. "Ehm, maaf, maaf. Jangan diambil hati, nanti aku bersihkan." "Minggir! aku mau tidur!" Askan membersihkan sebagian ranjang lalu hendak tidur. Candra cemberut. "Yah, hari ini nggak ada cerita dong?" "Ceritakan saja kisahmu sendiri, bagaimana bisa kamu menikah dengan dokter jiwamu," cibir Askan. "Hei! dia istriku!" Candra melotot ke arah Askan. "Memangnya kamu dengar aku bilang dia istri siapa?" tanya Askan. "Yah … tadi kamu bilang aku menikah dengan dokter jiwa," jawab Candra. "Lalu aku tanya sekarang, apa pekerjaan istrimu?" tanya Askan. "Dokter," kawan Candra. "Dokter apa?" tanya Candra. "Psikiater dia," jawab Candra. "Psikiater itu apa?" tanya Askan. "Dokter jiwa," jawab Candra. Candra malah menarik lalu menghembuskan napas kasar. "Bersihkan tempat tidur. Jangan sampai ada banyak serangga," pinta Askan. Candra turun dari ranjang dan membalas, "Tiba-tiba perutku sakit. Dadah!" Pada akhirnya Candra melarikan diri dari dalam kamar itu. Askan menggelengkan kepalanya. "Memang teman nggak ada akhlak." Yang lainnya terkekeh. * Pada hari berikutnya, Askan dan teman-teman lainnya telah berangkat untuk agenda latihan berikutnya. Setelah kapal menjauh dari pelabuhan, Askan menatap daratan dari balkon kapal. "Empat minggu lagi, tunggu aku datang," ujar Askan. Sementara itu di sisi lain. "Kenapa? wajahmu murung setelah kita bertemu?" tanya Grace. "Kapan kau dan Steve merayakan sendiri hari ujian kemarin?" tanya Mendaline balik ke arah Grace. "Steve sudah ke New York tadi pagi," jawab Grace. "Apa? lalu bagaimana kalian bisa merayakan hari ujianmu?" tanya Mendaline. "Bosnya memanggil, ada urusan penting. Mereka akan mengunjungi Kanada untuk kerja sama. Dia sudah bisa menyempatkan datang ke sini dan memberiku surprise saja aku sudah bersyukur pada Tuhan. Kali ini aku juga harus mendukungnya dalam pekerjaan," jawab Grace. "Bersyukur pada Tuhan?" tanya Mendaline. Grace mengangguk. "Ya." Mendaline menyedot jus jeruk, setelah itu dia bertanya pada Grace. "Grace, aku ingin bertanya, bagaimana caramu bersyukur pada Tuhan?" "Ucapkan nama Tuhanmu lalu berkata baik-baik, seperti terima kasih Tuhan, Terima kasih Yesus, seperti itu. Atau jika kamu ingin lebih, bisa pergi ke gereja dan berdoa pada Tuhan," jawab Grace. Mendaline memandangi lama Grace. "Ada apa? kenapa tiba-tiba kamu bertanya padaku soal bersyukur pada Tuhan?" tanya Grace. "Ah! apa jangan-jangan kau sudah mulai mempercayai Tuhan? bagus! bagus! tanyakan saja apa yang ingin kamu tanyakan padaku! aku akan menjawab seadanya, jika aku tidak bisa menjawab, maka aku akan membawa kepada pendeta untuk menjawab pertanyaanmu!" Grace terlihat sangat bersemangat saat berkesimpulan bahwa sahabatnya sudah mulai membuka hati menerima kehadiran Tuhan. "Dia muslim," ujar Mendaline. "Hm?" Grace diam lalu mengedipkan matanya beberapa kali. "Dia? dia siapa yang muslim?" tanya Grace. "Dia mayoritas di negaranya," ujar Mendaline. Grace buru-buru mencari di kolom pencarian mengenai mayoritas apa saja di Indonesia. Setelah membaca fakta, wajah Grace berubah agak tercengang. Dia menggaruk kepalanya dan berkata pada Mendaline. "Setidaknya dia percaya Tuhan." "Tapi aku tidak percaya Tuhan, kami berbeda," balas Mendaline. Grace berkata, "Mari aku cari tahu di kolom pencarian, bagaimana sistem hukum agama di sana-" "Tidak diperbolehkan menikah beda agama," potong Mendaline. Grace tidak jadi mencari di kolom pencarian, dia melirik wajah Mendaline. "Jadi kamu bertanya mengenai Tuhan karena telah mencari tahu mengenai Tuhan yang dipercayai oleh Tuan Pahlawan?" Mendaline tidak menyangkal, dia mengangguk. "Di sana, nikah beda agama tidak diakui, apalagi itu Islam. Sangat menentang pernikahan beda agama," ujar Mendaline. Grace mengetik mengenai pernikahan beda agama di Indonesia di kolom pencarian. "Menurut artikel ini, memang menikah beda agama di Indonesia dilarang, tapi ada yang menikah di luar negeri, pernikahan mereka sah, jadi tidak masalah bagimu dan Tuan Pahlawan," ujar Grace. "Dia abdi negara, terikat hukum militer, bagaimana mungkin menikah tanpa melapor pada atasan?" ujar Mendaline. Grace sakit kepala saat memikirkan ucapan dari Mendaline. "Ini benar-benar rumit." "Satu-satunya cara agar kalian bersama yah tidak perlu menikah dan hidup berdua begitu saja," usul Grace. Mendaline menatap wajah sang teman. Grace buru-buru mengibaskan tangannya. "Jangan! itu akan merugikan kamu!" Mendaline melanjutkan makan sambil memikirkan sesuatu. * Pada hari-hari berikutnya, Askan dan para prajurit gabungan angkatan laut berlatih di dekat pulau kecil yang tak berpenghuni milik angkatan laut Inggris. Askan dan yang lainnya berenang sejauh satu kilometer dari kapal ke pesisir pulau. Beberapa teman lain baik dari senegara maupun tidak, mereka telah mengembangkan kemampuan yang cukup. Meskipun laju renang dan daya tahan napas mereka tak sebagus Askan, setidaknya mereka dapat mencapai pesisir pantai meskipun lebih telat. Askan sedang memasang senjata miliknya, sementara itu, para atasan baru saja turun dari sekoci. Para atasan yang melihat perkembangan signifikan dari para prajurit mereka itu, mengangguk puas. * Saat Mendaline memasuki rumah, Mr. Brian menghadangnya. "Kau mengagetkan aku," ujar Mendaline. "Nona, apakah Anda telah lupa bahwa Tuan Brian ingin Anda mendatangi kantor miliknya?" tanya Mr. Brian. Dia ingin mengingatkan lagi Mendaline bahwa sang majikan memerintahkan Mendaline untuk datang ke kantor ayah tirinya. "Aku sibuk," balas Mendaline. "Anda telah menyelesaikan ujian Anda," balas Mr. Brian. "Lalu aku tidak perlu wisuda setelah ujian?" tanya Mendaline sarkastik. Mr. Brian menatap wajah Mendaline. "Nona, saya harap Anda jangan melupakan diri bahwa di dalam rumah ini, Tuan Barnett adalah majikan." Mendaline agak mendekat ke arah telinga Mr. Brian. "Dia majikanmu, bukan majikanku." "Kau tau mengapa? karena kau adalah budaknya, sementara aku tidak." Setelah berkata ini, Mendaline mengambil jarak dari Mr. Brian dan melihat wajah Mr. Brian yang memerah karena marah. Mendaline melangkah meninggalkan Mr. Brian dengan senyum puas. Sementara itu, Mr. Brian merogoh ponsel dan menelepon seseorang. "Katakan!" perintah orang dari seberang. "Tuan, Nona menolak," ujar Mr. Brian. "Siapkan semua dokumennya!" perintah Barnett. "Baik," sahut Mr. Brian patuh. Panggilan diakhiri. Setelah itu, Mr. Brian melirik ke arah kepergian Mendaline. "Setelah ini, tidak ada hukum Indonesia yang bisa melindungi kamu." * Di dalam kamar, Mendaline membereskan kamarnya, dia mencari dokumen penting miliknya. Selama beberapa saat mencari, dia tidak menemukan dokumen-dokumen miliknya, keringat membasahi pelipis Mendaline. "Celaka, paspor dan dokumen penting milikku hilang!" *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN