Chapter 5

1500 Kata
Askan tersenyum kecil. "Terima kasih sudah datang ke sini dan mengembalikan jaket ini," ujar Askan. "Terima kasih padamu karena telah meminjamkan jaket itu padaku," balas Mendaline. Askan mengangguk. "Aku dan yang lainnya harus pergi dulu. Jika kita bisa bertemu lagi, aku harap mungkin kita berjodoh." Ucapan ini diselingi oleh nada candaan. Mendaline terkekeh pelan. "Semoga memang berjodoh." Askan dan Mendaline tertawa bersama. Mendaline melambaikan tangannya. Askan membalas lambaian tangan dari Menaline. "Nggak bisa aku percaya, kamu baru saja gombalin anak orang, ck ck ck!" Bintang menggelengkan kepalanya. Rekan seprofesi yang bermata sipit menempati jok penumpang di depan tertawa. "Jangan terlalu menggoda wanita, nanti karma berlaku untukmu," ujarnya. "Dia cukup manis," ujar Askan. "Oohh! jadi Letnan Askan kita sudah terpesona dengan pesona Mendaline?" tanya Bintang agak meledek. "Omong kosong!" bantah Askan. "Lagi pula kita nggak akan ketemu lagi." Bintang terkekeh. "Yakin sekali kamu." * Dialog dianggap dalam bahasa inggris. "Karena insiden perompakan dua hari yang lalu, penelitian kita berhenti untuk sementara waktu," ujar Grace, teman dari Mendaline. Dua sahabat itu sedang duduk di sebuah kafe sambil menikmati minuman dingin. "Kita tunggu kebijakan dari pihak kampus," balas Mendaline. Grace melirik Mendaline. "Kamu bilang kamu baru saja dari gedung departemen angkatan laut?" tanya Grace. Mendaline mengangguk. "Ya." "Untuk apa ke sana? apakah ingin mencari kepastian untuk penelitian kita?" tanya Grace. Mendaline menggelengkan kepalanya. "Tidak. Hanya mengembalikan sesuatu, kebetulan pemilik benda itu ada di sana," jawab Mendaline. "Ah begitu." Grace menyedot minuman dingin. "Butuh waktu dua atau tiga bulan lagi agar kita bisa lulus sesegera mungkin dari sini," ujar Grace. Mendaline hanya mengangguk. "Menda, jika kamu lulus, setelah ini ingin ke mana?" tanya Grace. "Menjauh sejauh mungkin dari sini," jawab Mendaline, "kamu?" "Tentu saja menikah dengan Steve, lalu setelah itu mengikutinya pindah ke New York dan kami akan menghabiskan hidup bersama di sana," jawab Grace. "Semoga tercapai," ujar Mendaline. "Untukmu juga semoga tercapai," balas Grace. Wajah Mendaline hanya terlihat datar lalu agak dipaksakan untuk mengangguk, kemudian dia menyedot minuman dingin. * Satu hari kemudian. Mendaline dan Grace keluar ruang pembimbing mereka dengan memegang masing-masing amplop surat di tangan mereka. "Besok kami akan mulai melanjutkan penelitian, ayo aku traktir makan siang," ujar Grace. Mendaline mengangguk. Beberapa saat kemudian dua wanita itu telah duduk di restoran outdoor. "Kau tidak mengolesi obat yang diberikan oleh dokter kulit padamu?" tanya Grace sambil memperhatikan wajah Mendaline yang masih membiru. Mendaline mendadak menghentikan aktivitas makan. Dia meraba pipi kirinya. "Apakah terlalu tampak menyeramkan?" tanya Mendaline. Grace mengangguk. "Ya, warnanya sudah sangat membiru. Jika kamu tidak segera mengobatinya maka jangan berjalan berdampingan denganku, orang-orang akan menyangka bahwa aku yang memukulmu," jawab Grace. Mendaline memaksakan senyum kecil. "Aku akan segera mengolesi obat agar tidak lebih parah." Grace mengangguk setuju. "Besok kami harus tiba lebih awal di tempat itu, jangan lupa bawa surat izin dan rekomendasi dari Profesor Allert," ujar Grace. Mendaline mengangguk mengerti. "Ya." * "Kami begitu beruntung yah, saat yang tepat dalam penelitian, dua angkatan laut gabungan sedang latihan bersama di perairan ini," ujar Grace sambil melihat pemandangan luar kapal. Mendaline mengangguk, dia bersandar lalu melihat ke arah balkon kapal yang bersebelahan. Matanya terpaku saat saling bertatapan dengan orang yang dia kira mereka tak akan bertemu lagi. "Menda." "Askan." Askan dan Mendaline sama-sama saling mengucapkan nama dari lawan bicara. "Kamu di sini?" Askan agak terkejut. Mendaline mengangguk, namun dia cepat menyadari bahwa latihan gabungan dua angkatan laut itu adalah Inggris dan Indonesia. "Inikah latihan gabungan itu?" tanya Mendaline. Askan mengangguk. "Kamu?" Wajah Grace terlihat cerah saat melihat Askan. "Tuan pahlawan!" * Beberapa saat kemudian, Askan, Mendaline dan Grace duduk tak jauh dari jendela kapal militer. "Penelitian tesisku mengenai jalur lalu lintas kapal negara kepulauan, sebelumnya aku dan Grace telah mendapat izin untuk melakukan penelitian di kapal pesiar Cora, tapi sesuatu hal yang tidak terduga terjadi. Kapal pesiar Cora dihentikan pengoperasian dan diperiksa oleh pihak berwenang Inggris. Tiga hari kemudian kami mendapat rekomendasi dari profesor untuk melakukan penelitian di sini mengingat bahwa di waktu sebelumnya terjadi hal tidak enak. Beliau memiliki kepercayaan dari orang militer di sini, rekomendasi profesor diterima," ujar Mendaline dalam bahasa inggris. "Kupikir aku salah lihat, namun ternyata itu benar adalah kamu. Sepertinya kita berdua berjodoh," canda Askan. Grace tertawa menutup mulutnya, kemudian dia berkata, "Berjodoh saja, itu hal yang bagus, sahabatku belum memiliki pacar, Pak." Mendaline agak melotot ke arah Grace, namun Grace malah terkekeh senang. Sementara itu, Askan menatap wajah Mendaline, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Jadi, untuk berapa lama penelitian dilakukan di sini?" tanya Askan. "Kurang lebih satu bulan, setelah itu kami diberi waktu satu bulan lagi untuk menyusun hasil lalu ujian akhir," jawab Mendaline. Askan mengangguk mengerti. "Saya termasuk cukup paham dengan jalur lintas kapal negara kepulauan, Indonesia adalah negara kepulauan, apalagi saya telah enam tahun ditugaskan di kapal perang, selalu berpatroli untuk mengawasi perairan teritorial. Jika kamu butuh sesuatu, katakan saja padaku, tidak perlu sungkan," ujar Askan. Mendaline mengangguk. "Baik, seperti apa katamu." Askan mengangguk pelan. "Ah … akhirnya kami memiliki satu kenalan lagi, beruntungnya kamu adalah seorang perwira yang berpengalaman, Pak," ujar Grace. Askan berkata, "Setelah lulus angkatan laut, saya melanjutkan studi sarjana mengambil hukum laut internasional. Tidak boleh sombong bahwa penelitian skripsi saya adalah salah satu penulisan terbaik di angkatan laut." Askan agak menyombongkan dirinya. Grace mengangguk penuh kagum. "Pak, aku hanya ikut-ikutan melanjutkan studi setelah sarjana karena menemani sahabatku ini yang kebetulan meraih beasiswanya," ujar Grace sambil menunjuk Mendaline dengan lima jari. Askan mengangguk mengerti. "Jadi beasiswa?" Mendaline mengangguk. "Kebetulan mendapat rekomendasi dari tiga profesor besar di fakultas saya. Saya merasa sia-sia jika tidak mengambil beasiswa itu," jawab Mendaline. Askan manggut-manggut mengerti, dia melirik ke arah Grace. "Dan kamu hanya ikut-ikutan saja?" Grace tersenyum kecil. "Saya menjadi pelindungnya, Pak." "Ah begitu rupanya," sahut Askan manggut-manggut mengerti. "Mendaline, Grace, saya akan melanjutkan latihan dengan mengawasi uji coba granat laut, jika kalian tertarik untuk melihat, silakan," ujar Askan ingin menyudahi pertemuan. Grace orang pertama yang mengangguk. "Aku ingin! Mendaline, ayo ikut!" Mendaline hanya mengangguk. * Booooom! Luapan air laut seperti meledak membentuk jamur air di tengah laut biru. Mendaline dan Grace meminta izin pada perwira angkatan laut Inggris untuk mengabadikan beberapa gambar sebagai dokumentasi penelitian mereka. Bintang melirik ke arah Askan. "Itukah yang kau bilang tidak akan bertemu lagi di mana depan?" sindir Bintang. Askan tersenyum masam. "Mana kutahu kalau ini sangat kebetulan," balas Askan. "Ck, dua hari kemudian dari luar gedung departemen angkatan laut Inggris malah bertemu di sini, kalian sepertinya memang benar-benar jodoh," bisik Bintang. Askan terkekeh. "Hari itu aku hanya sembarangan bicara, tapi rupanya benar-benar bertemu di sini," ujar Askan. "Dan nanti benar-benar jodoh," sambung Bintang. Askan tersenyum miring. Dia melirik ke arah Mendaline yang sibuk mengambil gambar. Namun, keningnya berkerut saat memandangi wajah Mendaline. "Ada apa? wajahmu keriput begitu?" tanya Bintang. "Sudah lebih dari tiga hari setelah tragedi kapal pesiar Cora, tapi kenapa bekas tamparan di wajahnya masih saja biru seperti tamparan baru?" tanya Askan penasaran. Bintang ikut melirik ke arah Mendaline. "Bukankah waktu kita bertemunya di rumah sakit waktu itu, dia mengatakan bahwa dia butuh rujukan dokter saraf karena kulit wajahnya rusak? kurasa mungkin karena itu hingga membuat wajahnya membiru hingga sekarang," jawab Bintang. Askan hanya mengangguk pelan. Tak lama kemudian setelah latihan gabungan tiga jam, dua belah pihak yang berada dalam satu kapal yang sama itu beristirahat. Askan menghampiri Mendaline dan Grace yang sedang makan siang. Askan meletakan sebuah obat salep di dekat piring makan Mendaline. Mendaline melirik ke arah Askan. "Ketika aku sering luka dan memar karena latihan sparing, aku sering mengolesi ini di tempat memar. Sangar mujarab," ujar Askan. Askan mempraktekan adegan mengoles di pipinya sambil berkata, "Jangan lupa oleskan." "Setelah aku oleskan, akan aku kembalikan obatnya. Terima kasih," ujar Mendaline. Askan menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, itu untukmu. Punyaku ada lagi." Mendaline hanya mengangguk. Bintang dan teman berkata sipit Askan yang bernama Candra menghampiri Askan. "Rupanya sudah nggak mau bergaul dengan kita lagi," sindir Bintang dengan bahasa Indonesia. Candra terkekeh, dia menatap Mendaline lalu mengulurkan tangannya. "Candra." Mendaline menerima jabatan tangan itu dan membalas, "Mendaline." "Aku dengar dari dua temanku, kau adalah orang Indonesia?" tanya Candra. Mendaline mengangguk. "Ya, benar. Tapi sudah lima belas tahun tinggal di Inggris," jawab Mendaline. "Sudah menetap di sini?" tanya Candra. Mendaline mengangguk. "Ya, semenjak Ibuku menikah dengan orang sini," jawab Mendaline. "Ah jadi begitu. Salam kenal, Mendaline," ujar Candra. Mendaline mengangguk. "Salam kenal," balasnya. "Tidak keberatan kami bergabung makan siang di sini?" tanya Bintang. Askan memutar bola matanya. "Untuk apa bertanya kalau kamu sudah meletakan piring dan gelas mu di sini?" sindir Askan. Grace terkekeh. "Silakan, Pak. Dengan senang hati." * Malam tiba. Angin malam di tengah lautan terasa sangat dingin hingga menusuk ke dalam tulang. Mendaline yang sedang menatap gelapnya malam dari balik jendela kapal ke arah luar, dia menggigil kedinginan. Mendaline memeluk badannya agar mengurangi rasa dingin akibat diterpa angin laut di malam hari. Rambutnya yang terurai itu seperti melambai ketika diterpa angin. Tiba-tiba tubuh Mendaline merasakan hangat dibalut jaket. "Masuklah, di sini dingin, nanti masuk angin," ujar Askan setelah membungkus badan Mendaline dengan jaket miliknya. Mendaline melirik jaket yang dikenakan olehnya. "Jaket ini lagi." *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN