POV ADRIAN
"Kamu ngapain disini, Mas?"
"Lirna! Jadi kamu tidak pergi?" tanyaku sambil bangun dari duduk. Segera kuusap air mata yang jatuh membasahi pipi.
"Kamu ngapain lagi ke sini, Mas?" tanya Lirna.
"Aku hanya mencari, Rara. Kenapa dia tidak masuk ke kantor? Padahal aku ingin memberikan hadiah untuknya."
"Sudah lah! Kamu jangan ganggu kehidupan kami lagi. Fokuslah pada keluargamu! Bukankah keluarga kalian juga sudah bahagia? Lalu untuk apa mengusik aku dan anakku?" tanya Lirna.
"Pertama aku ingin mengatakan kepadamu, Dila itu bukan anak haram! Anak yang kau maksud anak haram itu sudah tidak ada Lirna! Anak itu keguguran. Dan usia Dila juga lebih muda dari Rara! Sejatinya Dila adalah adik Rara! Jadi tolong cabut perkataanmu, yang mengatakan kalau Dila anak haram!"
"Untuk apa kamu datang kesini kalau hanya ingin mengatakan itu? Aku tidak peduli mau Dila anak haram ataupun anak kandung kalian! Aku tidak peduli dan juga bukan urusanku lagi."
"Jaga ucapanmu, Lirna! Aku hanya ingin memberitahumu! Dila sama sekali tidak terlibat dengan masa lalu kita!"
"Kalau begitu, kamu fokuslah dengan keluargamu, jangan usik kami lagi. Biarkan kami menjadi masa lalumu! Anggap saja aku dan Rara tidak pernah hadir di dunia ini. Sudah selesai!" ucap Lirna lagi.
"Sekarang kamu pergi, Mas! Keberadaanmu di sini, hanya mengotori teras rumahku!" lanjutnya.
"Jangan seperti itu, Lirna. Pikirkan nasib Rara. Aku sudah meminta maaf padamu, lantas kenapa kamu tidak mau memaafkanku?"
"Maaf itu mudah, aku sudah memaafkanmu. Tapi bukan berarti kamu bebas untuk ke sini sesuka hatimu. Sekarang kamu pergi, Mas!" usirnya.
"Oke! Oke, tapi aku ingin menitipkan ini untuk, Rara." Kuberikan ponsel yang telah aku beli untuknya.
"Tidak perlu, Mas. Aku bisa membelikan ponsel untuk Rara. Bahkan yang lebih bagus dari yang kau belikan!. Kami sama sekali tidak perlu apapun pemberian dari kamu! Jangan pernah berikan apapun pada anakku!"
"Sekalipun dia memberikan itu padaku, aku tidak akan pernah mau mengambil pemberiannya, Ma. Aku kecewa telah memiliki seorang Ayah seperti dirinya!" sambar Rara yang tiba-tiba muncul sambil menunjuk ke-arahku. Sebegitu bencinya kah mereka padaku?
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Rara?" Apa dia sudah mengetahui kebenarannya?
"Memang apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!"
"Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?"
"Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!"
"Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara.
"Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, saya tidak tahu mengapa saya bisa menjadi mengecewakan seperti ini ketika dewasa dan mengetahui anda adalah Ayah saya, yang saya tahu, ini adalah bentuk kekecewaan saya di masa dewasa ini terhadapmu!" lanjut Rara. Ya Allah, menetes dan menjerit rasanya hati ini.
Dengan langkah gontai, aku pun bergegas meninggalkan rumahnya.
"Rara!" panggilku. Jika memang ini pertemuan terakhir untuk kita, dan kamu benar-benar tidak ingin menemuiku, maka aku sebagai Ayahmu, meridhoi siapapun yang akan menjadi wali nikahmu kelak, supaya kamu tidak perlu mencari keberadaan Ayahmu ini!" teriaku sebelum akhirnya benar-benar masuk ke mobil dan memacunya.
⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐
POV LIRNA
Aku memeluk Rara setelah Mas Adrian pergi. Di pelukanku itu, Rara menumpahkan tangisnya. Aku tahu, pasti dia ikut merasakan sakit saat mengetahui kebenaran tentang Ayahnya. Apalagi kini putriku juga telah dewasa.
"Maafkan, Mama. Tapi jika membenci Ayah membuatmu tersiksa, maka jangan lakukan itu, Sayang. Jangan ikuti jejak Mama yang merasa kecewa pada Ayahmu. Kini kamu sudah dewasa, kamu bisa berpikir menggunakan hati. Sekalipun kamu menginginkan bersama Ayahmu, Mama tidak masalah, Sayang. Asal kamu bahagia," ucapku seraya mengajak Rara masuk dan duduk santai di kursi panjang yang terbuat dari bambu.
Rara mengusap air matanya setelah sedikit tenang. Ia menatap tajam mataku, penuh kesedihan tapi juga ada kemarahan. Apa dia marah denganku?
"Mama," lirihnya. "Aku membayangkan jika berada diposisimu, Mama pasti sangat terluka, melihat pengkhianatan Papa di depan mata," ucapnya. Aku sungguh menyesal semalam telah menceritakan kebenarannya. Kalau saja aku tahu akan sangat menyakitinya, aku tidak akan melakukan itu.
"Ayah merupakan sosok pria yang kuat. Ayah adalah kepala keluarga yang punya tanggung jawab penuh pada istri dan anak-anaknya. Dia dianggap sebagai tulang punggung, pencari nafkah utama dalam keluarga. Pria yang rela berkorban dan berjuang keras demi bisa membuat orang yang disayanginya tersenyum. Akan tetapi realita tidak selamanya seperti itu. Ayahku tidak seperti itu, Ma." Rara terdiam sejenak. Pandangan matanya lurus ke depan, tapi aku tahu pikirannya sangat kosong. Ah, melihatnya seperti ini sungguh membuat hatiku terasa teriris.
"Demi nafsu dan egonya, ia tega berselingkuh dengan wanita lain." lanjutnya. "Melukai hati wanita yang telah menemaninya. Seolah ia lupa akan perjuangan dan rasa bahagia di awal-awal membina biduk rumah tangga. Ma, lupakan Papa! Dia tidak pantas untukmu, Mama berhak bahagia. Aku ingin, Mama dapat pengganti, Papa," ucapnya. Apa mungkin selama ini aku memang sibuk menutup diri dan larut dalam memori pengkhianatan suami dan seorang perempuan yang kuanggap adik?
"Tapi dia Ayahmu, Sayang. Kamu tetap harus berbakti padanya. Kamu terpisah dengan Ayahmu, karena Mama yang merahasiakan kehamilan Mama."
"Seorang Ayah yang tidak pernah menafkai, wajibkah anak tetap berbakti?" tanya Rara. Aku hanya terdiam karena tidak memiliki jawaban. Yang kutahu, seorang anak harus tetap berbakti pada orang tuanya, seburuk apapun kelakuannya.
"Untuk apa kita memikirkan Papa yang sudah sangat bahagia dengan keluarganya? Kalau Papa tidak bertemu kita, apa dia masih mengingat kita? Tidak Ma. Bahkan saat acara tadi malam, ketika aku belum mengetahui kalau Pak Adrian adalah Ayahku, keluarga mereka terlihat sangat hangat. Mereka terlihat bahagia. Pak Adrian juga terlihat sangat menyayangi istri dan anaknya. Papa tidak pernah mengingat, Mama!" tegas Rara.
"Sudah, Ma. Tidak usah sedih. Buat apa bersedih untuk orang yang bahagia dengan keluarganya. Pak Adrian juga sudah menyerahkan diri tidak mau menjadi wali nikahku. Aku kira, dengan aku bicara seperti itu, dia akan berusaha menjadi Ayah yang baik dengan menunjukkan penyesalannya, Ma. Ternyata tidak." Aku masih terdiam karena bingung mau menjawab apa. Putriku sangat pandai berbicara.
"Asalamualaikum!" ucap suara dari luar.
"Ada tamu, Ra," ucapku.
"Cie, Mama berubah Jadi seneng!" goda Rara. Iya, suara tamu yang mengucap salam memang membuatku merasa senang. Bismillah ….