POV Adrian
"Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo.
"sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando.
"Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku.
"Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa.
"Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan."
"Iya, hati-hati di jalan!"
Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang.
"Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku.
"Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku.
"Siap, Pak!" balas Yanto.
Baru saja aku menekan bel, Tania sudah langsung membukanya.
"Papa dari mana aja sih?" sungutnya.
"Kan kamu tahu aku nganterin Lirna dan Rara pulang!" jawabku sedikit kesal.
"Hah!" Aku mendengus. Bukannya menyambut suami baru pulang malah marah-marah!" Aku pun langsung duduk karena merasa lelah.
"Bukan begitu, Pa! Masa iya nganterin orang sampai larut begini, ini kan hampir pagi! Papa sadar nggak sih udah bikin Mama cemas?" bentaknya.
"Papa ini bukan anak kecil, Mah! Jadi tidak perlu dikhawatirkan."
"Bukan masalah anak kecil atau apa! Mama tuh hanya takut Papa kenapa-napa."
"Apa jangan-jangan Lirna menggoda, Papa Iya?" tuduhnya.
"Awas ya kalau kamu sampai macam-macam, Pa!" Aku malas menanggapi Tania. Tuduhannya itu terlalu berlebihan.
"Kenapa sih kita harus ketemu sama, Mbak Lirna lagi?" kesalnya. "Pasti dia bakal gangguin rumah tangga kita, secara semenjak ditinggal sama dia itu kan kita semakin sukses!"
"Pa, pokoknya, Mama nggak mau kalau sampai Papa kembali lagi sama, Mbak Lirna!" cerocosnya.
"Mama itu ngomong apa sih?! jangan bikin Papa kesal deh, Ma! Lagi pula kalau pun Papa ingin kembali dengan Lirna, belum tentu Lirna mau kembali dengan, Papa."
" Jadi Papa masih mengharapkan Lirna untuk kembali sama, Papa? Apa karena anak perempuan yang bernama, Rara itu? jawab Pa !" Tania menggoyangkan bahuku.
"Kamu bisa tenang tidak, Ma?!" bentaku.
"Bagaimana aku bisa tenang kalau sikap Papa seperti ini!"
"Bagaimana apanya? Papa masih sama saja! Lagi pula kalaupun aku lama di tempat Lirna kenapa? Bukankah ada anak aku di sana?" Aku balik bertanya. Tania hanya diam saja.
"Anak, Pa? Anak, Papa yang disana? Siapa?" Tiba-tiba Dila datang dengan sebuah pertanyaan. Aku dan Tania saling berpandangan, harus jawab apa aku sekarang?
"Oh, tidak apa-apa. Itu anak Pak Yanto, Sayang. Ada disana, maksud Papa seperti itu," ucap Tania.
" Oh begitu. Mama sama Papa ngapain sih ribut-ribut udah malam? Malu kalau kedengeran tetangga," ucap Tania.
" Enggak sayang, Papa dan Maama enggak berantem kok cuma ngomongnya aja sedikit kencang," kilahku.
" Ya sudah kalau begitu! Aku masuk dulu ke kamar aku masih ngantuk nih," ucap Tania seraya bergegas. Aku pun langsung masuk ke kamar disusul oleh Tania.
"Papa tunggu!" Aku hanya mengabaikan, rasanya tubuhku terlalu lelah dan aku juga sedang tidak ingin berdebat.
Sampai di dalam kamar aku langsung membaringkan tubuh di ranjang. Tania menutup pintu lalu menguncinya, kemudian mematikan lampu. Setelah itu Tania pun segera berbaring di sampingku.
Mataku terus terjaga, meski Tania sudah terlelap. suasana kamar yang gelap membuatku terus mengingat masa lalu. Siapa lagi yang kupikirkan kalau bukan Lirna dan Rara, hanya mereka yang mampu memenuhi benakku kini.
Lirna, kenapa dia masih sendiri? Apa karena dia belum bisa melupakanku? Sebesar itukah cintanya untukku? Kalau seperti itu kenapa dia memilih untuk berpisah dariku? Entahlah, tapi kali ini aku mulai mengantuk.
⭐⭐⭐⭐
Pagi ini aku berencana berangkat ke kantor lebih siang. Aku ingin membelikan Rara ponsel baru, bukankah ponselnya kemarin tercebur di kolam renang, pasti dia sangat menginginkan ponsel untuk saat ini. Sebagai ayah yang baik aku pun berinisiatif untuk membelikannya. Semoga saja dia senang dengan hadiah dariku nanti. Sebenarnya, aku tidak perlu datang ke kantor. Sudah ada Dila untuk memimpinnya. Dila tidak diragukan lagi keahliannya, karena sambil kuliah pun dia selalu kuajarkan untuk mengurus perusahaan. Aku tinggal mendampingi dan menjelaskannya.
Untuk Rara, agar naik jabatan bisa saja ku sandingkan dengan Dila, kelihatannya Rara dan Dila juga sangat akrab. Tidak masalah jika perusahaan ini kuserahkan pada Dila, dan Rara sebagai sekretarisnya. Pasti Rara akan bahagia karena naik jabatan. Mungkin juga ini bisa menjadi hadiah terindah.
"Pa, hari ini Papa ke kantor?" tanya Dila. Aku mengangguk.
"Memang kalau Papa tidak ke kantor kamu sudah bisa mengurus semuanya?" Aku balik bertanya.
"Aku bisa segalanya, bukankah di Jakarta juga aku bisa diandalkan oleh, Papa," jawab Dila penuh keyakinan.
" Iya dong, Papa itu tidak perlu meng-khawatirkan, anak Mama. Anak mama itu kan pandai," samber Tania.
"Iya dong, anak kesayangan, Papa," balas Dila.
"Dil!" panggilku.
" Iya, Pa," jawab Dila.
" Kenapa kamu tidak menjadikan, Rara sebagai sekretaris kamu saja?" Tania membulatkan matanya, aku tahu dia tidak akan setuju. Justru yang ada di otaknya mungkin aku harus memecat Rara.
"Wah … ide bagus tuh, Pa. Kelihatannya Rara juga sangat cekatan, sangat cocok kalau jadi sekretaris Dila. Pasti Rara akan mengurus semuanya! Rara pasti seneng naik jabatan," jawab Dila. Aku mengangguk dan tersenyum.
'Seharusnya kamu juga punya hak untuk memimpin perusahaan, Ra. Kamu juga anak Papa.'
" Pa, kalau begitu, Dila berangkat duluan ya," pamitnya. Dia pun kemudian mencium punggung tanganku dan Tania.
"Daaaa … Mama. Da …, Papa. Aku duluan. Sampai ketemu di kantor!" ucapnya seraya berlalu.
"Hati-hati, Sayang!" teriak Tania.
"Oke bos!" balas Dila.
Seperginya Dila wajah Tania langsung berubah garang. "Papa kamu apa-apaan sih! Kok malah nyuruh si Rara itu jadi sekretaris Dila! Nanti kalau dia iri sama Dila gimana? Kalau Rara itu jahatin Dila gimana?" cercanya.
"Jaga ucapan kamu, Tania!" bentakku "Lirna perempuan baik! Tidak mungkin dia menghasilkan anak rendahan! Tidak mungkin, Rara seperti itu!"
"Iya kan Rara itu, anak Papa. Anak dari perempuan kampung itu! Otomatis dia merasa iri dong kalau dibedakan!"
" Memang, Rara tahu kalau dia itu anak aku?" Aku balik bertanya pada Tania.
"Memang nggak ngomong kalau Rara itu anak, Papa?" Aku hanya menggeleng.
"Bagus dong, Pa. Sudah Papa nggak usah kasih tahu kebenarannya sama dia. Jadi dia itu nggak perlu ngerecokin kehidupan kita."
"Biar dia itu mengikuti jejak Mamanya saja, tidak mengganggu rumah tangga orang, tapi nggak tau juga sih. Itu kan dulu. Bisa saja sekarang dia berubah karena melihat Papa sudah sukses. Jadi merasa menyesal, lalu berusaha buat dapetin, Papa deh." Aku hanya menggelengkan kepala.
"Jauh sekali pemikiran kamu, Ma. Lirna tidak seperti itu, dia bukan perempuan yang gila harta seperti kamu!"
"Kok seperti aku sih, Pa. Aku kan hanya menikmati keuangan, Papa. Percuma punya suami kaya kalau nggak dinikmati hasilnya."
"Sudah kalau gitu, Mama masuk duluan ke kamar! Bete sama, Papa!" sungutnya.
⭐⭐⭐
Setelah membelikan ponsel untuk Rara, aku segera pergi ke kantor. Rasanya tidak sabar menemuinya.
Sampai di kantor aku langsung gegas ke ruangan Dila dan mencari keberadaan Rara. Dila pasti tahu karena Rara pasti sudah diangkat sebagai sekretarisnya.
"Dil." Aku langsung masuk ke ruangan Dila tanpa mengetuk pintu.
"Iya, Pa," jawab Dila.
"Rara mana?"
"Tidak masuk, Pa. Tapi tidak memberi kabar. Padahal teman-temannya bilang, Rara itu termasuk karyawan yang rajin, Pa," jawab Tania. Aku segera bergegas dan pergi ke ruangan Nando.
"Nando," panggilku saat tiba di ruangannya.
"Iya, Pak."
"Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi.
"Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi.
Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya.
Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku.
"Kamu ngapain disini?" Aku menoleh pada sumber suara itu.