Farah duduk di kursi meja makan, di depannya duduk Tante Rami dan Om Maven. Tubuh Farah gelisah, kaki lelaki yang ada di depannya mengusap paha Farah yang memakai rok.
Farah merapatkan kakinya dan menatap pada Maven sekilas. Lelaki itu menyeringai ketika bertemu pandang dengan Farah. Sangat menyenangkan sekali, melihat Farah yang tampak gelisah di depannya. Karena Maven yang memainkan kakinya di paha Farah.
Maven menarik paha Farah agar terbuka. Dengan terpaksa, Farah membuka pahanya. Karena dia sadar kalau dia tidak bisa melawan Om Maven, uang yang diberikan oleh lelaki itu pada Farah yang begitu besar sekali.
“Ashhhhh…” Farah kelepasan mendesah, merasakan jempol kaki Om Maven yang bermain di bagian intim Farah.
“Farah, kamu kenapa? Kepedesan? Maaf, ya. Tante memang menyuruh Mbak untuk masak makanannya agak pedes.” Rami berucap dengan senyuman manis sekaligus nada suaranya terdengar sangat lembut sekali.
Farah menggeleng. “Nggak papa Tante. Lagian Farah juga suka pedes, ini dari tadi Farah belum minum. Farah cuman butuh minum aja.” Tangan Farah mengambil gelas yang berisi air putih dan langsung meneguknya hingga habis.
Pelipis Farah mulai berkeringat, karena jari kaki Om Maven yang bergerak dan perlahan memutar sekaligus menyentuh k******s Farah. Tubuh Farah semakin gelisah. Keringat sudah mengucur di keningnya, berulang kali Farah mengusap keringat dan menggigit bibirnya agar tidak kelepasan mendesah lagi.
“Farah, kamu sakit?”
“Ahhhh…, Hem— i-iya Tante. Aku lagi nggak enak badan. Pusing banget.” Farah memegang kepalanya, dan mengutuk dirinya sendiri, yang telah berkhianat pada tantenya sendiri. Yang begitu menyayangi Farah dari Farah kecil sampai sekarang.
Bahkan tante Rami begitu mudah menawarkan Farah untuk tinggal bersamanya, saat Ibu di kampung menelepon dan mengatakan kalau Farah akan berkuliah di Jakarta. Tante Rami, langsung menyuruh Farah untuk tinggal di rumahnya. Jangan ngekost. Soalnya bahaya untuk gadis seperti Farah.
Kini Farah harus menjadi simpanan suami tant Rami sendiri. Hanya karena uang, dan hutang-hutang yang harus dibayar olehnya.
“Kamu istirahat aja Farah. Besok nggak usah kerja dulu. Pulang kuliah, langsung pulang ke rumah dan istirahat. Kasihan tubuh kamu ini, pasti sangat capek loh. Pulang kuliah bukannya istirahat, tapi malah kerja.”
Farah menggeleng, dan meneteskan air matanya setetes, mendengar kebaikan tante Rami yang begitu baik sekali padanya. Masih saja tante Rami perhatian pada Farah. Kalau saja tante Rami tahu, apa yang dilakukan oleh Farah sekarang. Pasti wanita itu akan marah dan mengusir Farah dari rumah.
“Nggak usah Tante. Kemarin Farah juga libur kerja, masa mau libur lagi. Nggak enak sama karyawan lain, mereka pasti ngerasa kalau Farah dibedakan dari mereka.”
“Ya memang! Kamu itu keponakan Tante. Masa mau disamakan sama mereka. Udah! Kamu nggak usah mikirin mereka Farah, kamu itu hanya perlu untuk memikirkan diri kamu sendiri. Tante nggak mau kamu sakit, dan didengar sama Ibu kamu nanti di kampung. Lalu dia khawatir sama kamu, emangnya kamu nggak kasihan kalau dia khawatir?” Tanya Rami.
Farah mengangguk kaku, dia kasihan sama Ibu di kampung. Tapi Farah, tidak bisa membayangkan, kalau Ibu di kampung nanti, tahu dengan kelakuan Farah, yang seperti jalang dan menjadi pemuas hasrat dan suami tantenya sendiri.
“Kasihan Tante.”
“Ya kalau kasihan, kamu sekarang masuk kamar dan istirahat. Tante nggak pernah maksa kamu untuk kerja loh Farah, sesanggup kamu aja. Kalau kamu lelah, kamu bisa istirahat dulu.” Kata Rami.
Mata Farah melirik pada Om Maven, lelaki itu masih mengusap bagian intim Farah.
Rami menoleh pada suaminya. Lalu memukul lengan suaminya.
“Kamu jangan pasang wajah datar dan menakutkan kayak gitu sama keponakan aku loh. Farah itu polos dan begitu baik, kamu malah natap Farah kayak orang nggak suka.” Tegur Rami dengan omelannya.
Maven tersenyum pada istrinya. “Aku nggak natap Farah kayak gitu. Aku memang berekspresi datar bukan? Farah, kamu bisa ke kamar dan turuti semua yang dikatakan oleh istri saya yang cantik ini.” Maven mencolek dagu Rami.
Rami tersipu malu mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya barusan. “Farah, kamu maklumi saja tingkah Om kamu ini, kadang dia itu nggak bisa ditebak.”
Farah hanya mengangguk. Memang benar Om Maven tidak bisa ditebak. Farah mengira kalau Maven selama ini adalah lelaki yang sangat baik, dan sopan tidak pernah macam-macam. Namun ternyata salah. Maven bahkan menawarkan hal yang sangat membuat Farah jatuh sejatuhnya.
Harga diri Farah sudah tidak berharga semenjak Maven menawarkan bantuan pada Farah, dengan persyaratan yang begitu membuang harga diri Farah.
Farah perlahan berdiri dari tempat duduknya, lalu dia merapikan roknya.
“Tante, Om, Farah ke kamar dulu ya. Farah mau istirahat, soalnya kepala Farah bener-bener pusing sekarang.” Farah memegang kepalanya, dan Farah tidak berbohong, kalau kepalanya terasa sangat pusing sekali, karena semenjak Farah menerima tawaran dari Maven. Semenjak itu Farah merasakan yang namanya pusing.
Rami mengangguk. “Iya, kamu istirahat saja sana. Kamu itu lelah, jangan sampai sakit Farah. Tante nggak mau lihat kamu sakit, bukannya Tante nggak mau rawat kamu, tapi kamu itu keponakan kesayangan Tante. Kalau kamu sakit, Tante sedih dan khawatir.”
Keponakan kesayangan?
Farah tercenung mendengar hal itu. Setelahnya melirik pada Maven yang hanya diam saja, dan tidak ada wajah bersalah dari lelaki berusia tiga puluh dua tahun tersebut. Malahan Maven begitu santai sekali, memakan dessert yang di atas meja dan tanpa mempedulikan sedikitpun perkataan dari Rami.
“Iya Tante. Farah ini mau minum obat dan vitamin juga. Farah juga nggak mau buat Tante khawatir dan repot.”
“Hush! Kamu itu nggak ada ngerepotin Tante sama sekali Farah. Malahan Tante seneng banget kamu ada di sini, dan dalam pengawasan Tante. Jangan ngomong kayak gitu lagi, Tante nggak mau dengar apa yang kamu bilang itu lagi.” Tegur Rami.
Farah mendengar ucapan dari Tante Rami mengangguk, dan menatap kembali pada Rami dan sekali-kali melirik pada Maven yang masih tenang.
Farah menghela nafas, lalu dia berjalan meninggalkan ruang makan.
Maven melirik pada punggung kecil Farah yang sudah menjauh. Lelaki itu menjilat bibirnya, dan sudah tidak sabar untuk bermain dengan Farah. Hanya jempol kakinya saja tadi menyentuh bagian intim Farah. Sudah membuat Maven menjadi ingin untuk memasuki Farah.
“Rami, aku menginginkanmu.” Kata Maven membelai paha terbuka Rami.
Rami tertawa kecil, langsung duduk di pangkuan suaminya. “Aku juga menginginkan dirimu Maven. Milikmu yang besar ini harus masuk ke dalam lubangku.” Ucap Rami meremas milik Maven, membuat Maven memejamkan matanya dan segera menyatukan bibirnya dengan bibir Rami.