Bab 4. Gelisah atau Galau

1111 Kata
"Ta, ayo!" seru Sabrina dari ruang tamu —rumah kontrakan yang ia sewa bersama Nita, sahabatnya. "Iya, iya. Ini aku udah siap!" Nita keluar dari dalam kamar, yang ia tempati berdua dengan Sabrina. "Jadi kan mampir toko buku dulu?" tanya Nita, dengan tangan yang masih merapikan kemeja tangan panjangnya yang digulung. "Ya, jadilah! Kita kan udah janji sama adik-adik panti." Sabrina berkata sembari menguncir kuda rambutnya yang panjang. Hari minggu itu, mereka berencana untuk mengunjungi panti. Kegiatan bulanan yang pasti dua gadis itu lakukan setelah mendapat gaji —hasil dari bekerja selama satu bulan. "Udah pesen taksi online?" tanya Nita lagi. "Udah. Kita tunggu depan pagar aja yuk!" ajak Sabrina. "Yuk!" Keduanya berjalan menuju teras. Sabrina mengunci rumah kontrakan yang berada di lantai satu itu. Kontrakan yang mereka berdua tempati, adalah kontrakan petakan yang berjumlah delapan pintu. Empat pintu di lantai bawah dan empat pintu ada di lantai atas. Ketika baru saja sampai di depan pagar rumah, sebuah mobil sedan berwarna putih, berhenti tepat di depan mereka. Nita melirik ke arah Sabrina dengan mulut yang mengeluarkan suara bisikan, "Mbak Lara?" Sahabatnya itu mengangguk tanpa suara. Seorang wanita keluar dari dalam mobil. Lara, berjalan menghampiri keduanya dengan pakaian yang terlihat santai dengan kaca mata hitam yang menggantung di atas hidungnya yang sedikit mancung. "Hai!" sapa Lara pada kedua gadis di depannya —Sabrina dan Nita. "Hai, Mbak!" Kompak keduanya menjawab.  "Kalian mau ke mana udah siap gini?" bertanya dengan pandangan heran. Terlihat setelah ia melepas kacamata hitamnya dan menaruh di tengah kancing baju. "Kita mau ke panti, Mbak Lara." Sabrina tersenyum memandang seniornya itu. "Oh, kunjungan bulanan. Aku boleh ikut kalian? Ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu, Sab!" ucapnya dengan tatapan memohon. Sabrina memandang Nita yang ternyata melakukan hal yang sama. Seolah meminta ijin, Nita kemudian mengangguk kepada sahabatnya itu. "Boleh kok, Mbak. Tapi kami udah pesen taksi online. Bentar lagi juga datang," ucap Sabrina sembari melihat ke layar ponselnya yang berwarna terang. "Dibatalin aja. Kalian bareng sama aku." "Kasian, Mbak, kalo dibatalin." Nampak senyum malu hadir di bibir Sabrina. "Oh, aku mengerti. Biar nanti aku yang bayar taksinya," cetus Lara. "E-eh, Mbak, bukan gitu maksudnya." Sabrina merasa tak enak hati. "Udah, santai aja." Tak lama, benar saja sebuah mobil minibus berwarna abu-abu, datang, dan berhenti di belakang mobil Lara. Sabrina menghampiri, diikuti oleh Lara di belakangnya. "Siang, Pak?" sapa Sabrina. "Selamat siang. Mbak Sabrina yah?" sahut supir taksi. "Iya, Pak." "Alhamdulillah. Mari, Mbak, silakan masuk!" ucap si supir menyilakan. "Pak, maaf. Begini ... saya mau batalin pesanannya." "Oh gitu, Mbak." Si supir nampak lemas. "Eh, tapi tenang aja, Pak. Ini saya bayar untuk penggantian ongkos taksinya." Lara memberikan dua lembar uang berwarna merah kepada si bapak. "Terima kasih, Mbak. Tapi jumlahnya enggak sampai segini kok di aplikasinya!" "Enggak apa-apa. Sisanya buat Bapak aja," sahut Lara tersenyum. "Kalau gitu terima kasih banyak, Mbak!" Wajah pria paruh baya itu berubah senang. "Sama-sama, Pak!" Mobil taksi online itu melaju meninggalkan kawasan kontrakan Sabrina. Kembali menyusuri jalan mencari penumpang lain. "Perkara selesai. Jalan sekarang?" tanya Lara pada Sabrina dan Nita. "Iya, Mbak. Tapi maaf, bisakah kita mampir ke toko buku dulu sebentar?" "Ya, tentu saja. Kenapa enggak? Ayo naik!" *** Di sebuah ruangan keluarga —rumah kediaman Arsa Abimayu. Pria itu tengah bermain-main dengan tiga orang anak dari sahabatnya Nabila dan Heru. Dua orang yang berstatus suami istri itu, adalah teman Arsa semasa kuliah. Mereka memang tengah berkunjung ke rumah Arsa, setelah hampir enam bulan lamanya tidak bertemu karena Heru yang mendapat tugas dinas di luar kota. "Perut kamu udah besar lagi aja, Nab?" tanya Arsa yang melihat perut Nabila sedikit membuncit. "Ya, udah jalan lima bulan," jawab wanita bernama Nabila. "Aktif banget kalian?" sindir Arsa pada kedua sahabatnya itu sambil tersenyum. Sebuah senyum yang Heru tahu berisi kesedihan di dalamnya. "Enggak aktif, kok, Sa. Biasa aja. Kita sih berhubungan sesuai kebutuhan aja. Cuma emang kita belum memutuskan untuk Nabila KB." "Kenapa?" tanya Arsa kembali. "Kita memang pingin punya anak banyak," jawab Heru tertawa. "Kamu juga, Nab, setuju sama omongannya si Heru?" "Ya, aku juga setuju. Soalnya kita berdua suka anak-anak." Wanita itu nampak berseri. Aura wanita yang sedang hamil, mulai terlihat di wajahnya yang ayu. "Kalian sangat beruntung," lirih Arsa bicara. Heru menatap sang istri. Ada perasaan tidak enak dari wajah keduanya. Mereka tahu perjalanan hidup Arsa, dari ketiganya sama-sama kuliah dulu, masa bekerja hingga mereka hidup berumah tangga, mereka mengerti bagaimana suasana hati sang sahabat kini. "Lara belum mau balik?" tanya Nabila melepas sang putri yang ingin turun dari pangkuan dan memilih bermain dengan kedua kakaknya di lantai. Arsa menggeleng, "dia belum mau pulang. Karena aku memang tidak membujuknya. Aku mau ia sendiri yang kembali pulang, bukan karena aku yang meminta." "Apa yang membuatnya masih ingin sendiri?" tanya Heru. "Entahlah!" sahut Arsa dengan kedua bahunya yang ia angkat. "Ia malah memaksa aku untuk segera mencari istri pengganti." "Apakah kalian masih saling mencintai?" tanya Nabila yang mendapat tatapan dari sang suami. Keduanya memang tahu perihal permintaan Lara yang menyuruh Arsa menceraikannya dan mencari istri baru. Meski sudah lama tidak bertemu, tapi mereka aktif saling memberi kabar satu sama lain. "Kamu sudah tahu jawabannya, Nab!" sahut Arsa menatap kosong sahabatnya itu. "Aku hanya ingin memastikan lagi saja. Lagipula kalau sudah tidak ada lagi perasaan cinta dan sayang di antara kalian, kenapa masih harus dipaksakan hubungan yang sudah tidak sehat ini, Sa?" "Aku masih tetap dengan pendirianku, Nab. Aku enggak mau ada kata perceraian." "Arsa, kebanyakan pasangan yang memutuskan untuk mempertahankan rumah tangga mereka, biasanya karena ada anak yang membuat perceraian itu enggak terjadi. Mereka enggak mau anak-anak jadi korban." "Nabila benar, Sa. Dalam kasus kamu, tidak ada anak yang akan menjadi korban." Heru menimpali. "Apakah kalian mendukung agar perceraian antara aku dan Lara terjadi?" "Sejujurnya, enggak. Kami terlalu menyayangi hubungan kalian yang sudah lama itu. Tapi kalau kondisinya sudah begini, apalagi yang ingin kamu pertahankan? Aku justru kasian melihat kalian seperti ini." Heru berkata dengan wajah seriusnya. "Benar kata Lara, sulit mencari wanita baik-baik untuk kamu jadikan madu di dalam pernikahan kalian. Selain itu, apa kamu tidak kasian pada Lara nantinya, sebagai istri pertama yang tidak memiliki anak, akan tersingkirkan dengan perhatian kamu yang pasti lebih memilih madu dan juga anakmu kelak." "Aku tidak akan seperti itu, Her!" elak Arsa. "Sekarang kamu bisa berkata demikian, Sa. Nanti, kita mana tahu?" "Lagian juga, aku kan cuma mau menyewa rahimnya saja." Arsa masih keukeuh dengan pendiriannya. "Arsa, Arsa. Tadi kan aku udah bilang, enggak mudah mencari wanita baik-baik untuk kamu jadikan istri, kemudian kamu tinggalin setelah ia melahirkan seorang anak." "Aku udah dapat perempuan itu?" seru Arsa. "Siapa? Sabrina, sekertaris kamu itu?" Arsa mengangguk. "Apa dia mau?" celetuk Nabila. Arsa menggeleng. Kembali tubuhnya lemas. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN