Sebuah mobil sedan mewah, berkecepatan sedang, melaju meninggalkan kawasan perumahan elit ibukota. Dua orang di dalamnya, seorang pria dan wanita saling berdiam diri tanpa ada percakapan di antara mereka. Hal itu berlangsung sejak keduanya pulang dari sebuah rumah mewah yang dihuni oleh keluarga kaya nan terpandang.
Arsa dan istrinya —Lara— baru saja pulang dari kediaman Kramasentana, orang tua dari Lara. Mengabari jika adik lelakinya —Sandi— baru saja pulang dari Amerika, setelah menyelesaikan pendidikan kuliahnya di sana.
"Terima kasih, Mas. Kamu masih mau menyempatkan datang ke rumah orang tuaku dan menemui Sandi." Lara memecah keheningan di antara mereka.
"Kamu ini bicara apa? Orang tuamu itu mertuaku, mertuaku, ya, orang tuaku juga. Dan juga Sandi, dia masih adik iparku." Tanpa menatap wanita di sampingnya, Arsa tetap fokus menyetir dengan sesekali menggoyangkan benda bulat di depannya, ke kanan atau kadang ke kiri.
"Kamu tidak perlu sejauh itu untuk tetap berpura-pura baik kepadaku." Lara menatap wajah tampan Arsa dari samping. Suaminya itu, mau dilihat dari sudut mana pun tetap tampan. Namun, itu semua hanya sekedar perasaan kagum semata. Sedangkan rasa cinta dan sayang di antara keduanya, perlahan telah lenyap seiring keputusasaan mereka yang mendamba memiliki seorang anak tetapi tak kunjung diberi.
"Mengapa aku harus berpura-pura jika hanya untuk bersikap baik?" ucap pria itu datar dan tanpa ekspresi.
"Ya, aku tahu. Kamu memang selalu bersikap baik pada siapa pun dan kapan pun." Memuji pria yang masih berstatus suaminya itu.
"Bagaimana pekerjaanmu? Sepertinya kamu semakin sibuk?" tanya Arsa kini mengalihkan pembicaraan Lara.
"Aku sengaja melakukannya, lumayan, sedikit mengurangi rasa kegamangan dalam diriku, Mas." Ada nada pilu dari setiap kata yang Lara ucapkan.
"Tetap jaga kesehatan. Jangan terlalu menikmati hobi dan kegiatanmu tapi lupa akan kondisi tubuhmu yang mudah lelah."
"Ya, aku tahu. Terima kasih untuk perhatiannya. Aku akan selalu mengingat nasehatmu."
"Itu bukan nasehat, Lara!"
"Ya, ya, apa pun itu, Mas. Aku akan mengingatnya." Pria itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara.
Sejenak suasana itu kembali hening. Baik Arsa maupun Lara saling berdiam diri, seolah larut dalam pikiran masing-masing.
"Kamu mau aku antar ke mana? langsung apartemenmu atau ke tempat lain?" tanya Arsa sambil menatap wajah istrinya.
"Langsung apartemen saja. Aku mau langsung istirahat." Arsa mengangguk, tanda mengerti.
Sudah sekitar enam bulan terakhir, Lara tinggal sendirian di apartemen miliknya, dengan seijin Arsa —sang suami. Pergi dari kediaman suaminya yang pernah Lara tempati selama tujuh tahun lamanya. Rumah berisi kenangan mereka berdua yang membuat hari-hari keduanya berwarna. Kehidupan rumah tanga yang diawali dari perjodohan dua keluarga, yang berjalan cukup mulus, tetapi berakhir dengan rasa sepi dan gamang yang terjadi di antara mereka di rumah mewah itu.
Semua berawal ketika dua keluarga yang sama-sama menanyakan perihal cucu alias generasi penerus bagi dua keluarga, yaitu Abimanyu dan Kramasentana. Arsa dan Lara, mereka adalah sama-sama anak sulung, sehingga bukan hal yang aneh jika keluarga mereka terus menanyakan masalah anak yang tak kunjung hadir. Namun hingga sepuluh tahun lamanya mereka mengarungi biduk rumah tangga, penghibur dan penghangat keluarga itu, masih juga belum muncul dari dalam rahim Lara.
Lara yang mengalami depresi. Arsa yang juga terbawa frustasi, membuat perasaan cinta dan sayang mereka menguap begitu saja.
"Bagaimana, apa kamu sudah mendapatkan wanita atau calon istri untuk kamu nikahi?" tanya Lara ketika keduanya sudah berada di pelataran parkir apartemen.
"Sudahlah, Lara. Kita sudah sepakat untuk tidak membahasnya bukan?"
"Ya, aku tahu. Hanya saja, janganlah kita terlalu berlarut-larut mengulur waktu. Kita sudah berpisah sudah hampir enam bulan." Lara berusaha membuat Arsa menerima kenyataan mengenai kehidupan rumah tangga mereka yang sudah tidak sehat.
"Seandainya pun aku harus menikah lagi, aku tidak mau ada perceraian di antara kita, Lara!"
"Ya ampun, Mas. Sudah berapa kali aku bilang, enggak akan ada wanita baik-baik yang mau dan suka rela menjadi madu."
"Jika pun ada wanita yang hanya mau uangku saja tetapi mau menyewakan rahimnya untuk kita, aku akan memilihnya."
"Kamu jangan gila, Mas. Sampai kapan pun aku tidak akan setuju!" tolak Lara menatap tajam sang suami.
"Ya sudah, kalo begitu, biarkanlah kita seperti ini. Aku akan tetap mengikuti apa pun kemauanmu. Jika kamu masih ingin tinggal sendiri, aku akan tetap mengijinkan."
"Susah bicara denganmu, Mas. Setiap kita membahas masalah ini, ujung-ujungnya hanya bertengkar dan bertengkar."
"Aku tidak pernah mengajakmu bertengkar," elak Arsa.
"Mas, aku sangat yakin, di antara kita sudah tidak ada lagi perasaan sayang di hati masing-masing."
"Kamu benar, Lara. Tapi tetap saja, aku masih tidak mau ada kata perceraian di antara kita berdua."
Lara menghembuskan nafas dengan sangat berat. Wanita itu tidak tahu lagi harus memberi pengertian bagaimana pada pria di sampingnya itu.
"Ya sudahlah, aku mau turun. Lain kita bicarakan lagi maslah ini. Dan aku harap pikiranmu sudah berubah. Terima kasih untuk hari ini, Mas!"
"Ya. Kamu istirahatlah. Aku juga akan langsung pulang."
"Kamu hati-hati yah bawa mobilnya?"
"Ya."
Sebelum membuka pintu mobil, Lara —seperti biasa— sebelum berpisah mencium telapak tangan Arsa, sebagai sikapnya yang masih menghormati pria itu sebagai suaminya.
Lara menatap mobil sedan berwarna hitam itu, hingga tidak lagi terlihat setelah menghilang di belokan parkiran.
"Apa yang harusnya aku lakukan? Apakah aku harus turun tangan, menjodohkanmu dengan teman baikku —Sabrina— yang aku perhatikan sejak lama, jika ia adalah satu-satunya wanita yang tepat untuk kamu jadikan istri. Meski pun aku tidak tahu, apakah kalian setuju atau tidak!" Lara berbicara sendiri dalam keheningan area parkir yang bersuhu hangat itu.
***
Kembali ke dalam kamar di sebuah rumah mewah —yang saat ini semakin terasa sepi— Arsa merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran sangat besar jika hanya ia tiduri sendiri. Menatap plafon atap rumah dengan mengandalkan lampu tidur di atas nakas, yang memang sengaja ia nyalakan. Remang. Sepi.
Bayangan tentang pernikahan yang ia idamkan menjadi sebuah pernikahan indah, terpaksa harus pahit ia rasakan.
Pertengkaran-pertengkaran kecil yang semakin sering terjadi kala dirinya dan Lara —sang istri— merasa frustrasi, terus 'diteror' oleh dua keluarga besar mereka mengenai masalah anak.
"Mungkin ada baiknya kita berpisah, Mas?" Solusi itu yang istrinya berikan ketika mereka sedang melakukan perjalanan honeymoon mereka yang kesekian kali di sebuah pulau, sekitar satu tahun yang lalu.
"Berkali-kali aku katakan padamu, Lara, aku tidak ingin ada perceraian di antara kita." Mengusap punggung istrinya yang telanjang, Arsa menatap manik mata wanita yang berada di pelukannya. Mengecup kening itu lembut.
Mereka baru saja selesai menikmati suasana panas di atas ranjang dengan berkali-kali sang pria menumpahkan benih ke dalam rahim sang istri —masih berharap jika hal itu akan berhasil.
"Apakah kamu masih mencintaiku, Mas?" tanya Lara menatap wajah tampan sang suami.
"Sampai detik ini aku masih mencintai kamu dan aku berharap selalu seperti itu." Berkata dengan kesungguhan hati.
Namun, harapan itu tak kunjung hadir. Hingga pada akhirnya, enam bulan setelah honeymoon terakhir yang mereka berdua lakukan, Lara meminta ijin untuk pergi dari rumah. Meminta waktu untuk menata hati kembali.
Arsa mengijinkan, meski tanpa batas waktu yang ia berikan, dengan catatan jangan sampai dua keluarga besar mereka tahu mengenai pisah ranjang yang keduanya lakukan.
Memori pahit yang selalu hadir jika Arsa sudah berada di dalam rumah, membuat pikiran dan matanya lelah. Lambat laun, ia terlelap dengan dengkuran halus mengiringinya.
***