6. Masa Lalu = Masa..la(h) Lu?

1182 Kata
Part ini berupa satu part flashback ya. * Bukan saya yang punya masalah, tapi kamu! -Erlan, si bos tampan tanpa masalah- * “Bapak tuh ada masalah apa sih sama saya?” tantang Renatta pada lelaki di depannya yang berdiri dengan p****t bersandar di meja kerja mewah dan tangan bersidekap. Sebisa mungkin Renatta berusaha tidak melakukan k*******n fisik pada si bos. “Justru saya yang harus bertanya ke kamu hal itu, Renatta, kamu tuh ada masalah apa sama saya sampai menolak revisi kerjaan kamu hah?” Erlan, si bos super tampan, balik menjawab pertanyaan anak buahnya yang paling sering membuat emosinya naik. “Masalahnya ini sudah lewat jam tujuh sementara jam kerja resmi berakhir di jam lima sore WIB yang sudah dua jam lalu! Lihat jam dinding bapak kalau jam tangan dirasa kekecilan!” teriak Renatta, sudah mulai hilang sopan santunnya. Erlan maju dua langkah demi bisa mendekati Renatta, salah satu staf cantik bertubuh atletis tapi keras kepala luar biasa, “dengar Nona Renatta, di kantor ini, saya yang atasan dan kamu yang staf. Jika saya merasa kerjaan kamu belum beres dan butuh revisi, segera lakukan. Mengerti?!” desis Erlan, tidak mau dibantah. “Bapak punya hati nurani gak sih? Jadi bos kok heartless gitu!” “Heh, kalau saya gak punya hati nurani, kamu gak akan saya terima kerja di sini mengingat apa yang telah kamu lakukan ke saya!” kali ini Erlan menjawab gusar. “Ini kan gak urgent pak, bisa direvisi besok. Saya akan kerjakan revisian sekarang jika memang top urgent, diperlukan saat ini juga!” hentakkan kaki Renatta membuat Erlan menyeringai seram. “Yang tahu itu urgent atau tidak, bukan kamu, tapi saya, paham?! Ini semakin lama kamu berargumentasi di ruangan saya, akan semakin lama juga kamu selesaikan revisian itu. Kamu mau betah tarik urat dengan saya sampai kapan, Renatta?” sindiran nyinyir si bos membuat Renatta mau tidak mau angkat kaki dari ruangan laknat itu untuk kembali ke kubikelnya. Tapi Renatta nekat, dia ingin sekali mengancam si bos yang menurutnya sudah bertindak sewenang-wenang. Renatta keluar ruangan si bos tapi tidak sampai lima menit kemudian, sudah kembali ke ruangan Erlan dengan membawa secarik kertas yang sudah dia siapkan dari bulan lalu. Dengan emosi dia letakkan kertas itu di meja Erlan. “Apa ini?” tanya si bos tak acuh. “Bapak baca saja biar paham itu apa.” Jawab Renatta ketus. “Kamu mau resign? Yakin? Unfortunately, aku tolak.” Mata lelaki super duper tampan itu memicing melihat selembar kertas yang dia tahu berisi pengunduran diri stafnya yang cantik tapi jutek luar biasa. Layaknya pebasket, dia lempar ke tong sampah dan sukses! “Bapak kan belum baca surat itu, kenapa langsung dibuang sih?” dengan geram Renatta melihat ke Erlan dan tong sampah, bergantian, tapi dia sungguh ingin menerkam si bos dan menghabisinya. “Dengar Nona Renatta,” Erlan berdiri, melangkah mendekati Renatta, kemudian bersidekap dengan angkuh dan bertutur sinis, “kamu staf dan aku bos di sini. Semua harus mendapatkan persetujuan bos bukan? Lagipula perlu diingat, kita punya perjanjian yang lebih besar dari ini semua!” Erlan menyeringai seram. “Aaarggh dasar bos gak punya hati nurani! Aku akan lapor ke HRD!” ancam Renatta, tidak mau mengalah. “Ha ha ha,” suara tawa yang terdengar melecehkan, bukan tawa bahagia, “silakan saja kalau berani, tapi setelah itu semesta akan tahu bahwa aku dan kamu sudah…” Erlan menjeda. “Iya iya! Tapi awas aja kalau Bapak semakin tidak manusiawi. Aku akan bilang ke…” ancam Renatta, tapi kalimatnya terputus karena si bos mendekati telinganya dan berbisik. Hembusan nafas Erlan membuatnya bergidik kegelian. “Bilang saja kalau berani, sekalian bilang bahwa kita sudah pernah tidur bersama! Satu ranjang!” seringai seram membuat Renatta ingin sekali melempar sepatu ke kening si bos. Renatta keluar ruangan si bos dan membanting pintu dengan sangat emosi. “Arrgghh!!! Grmbll@#$%!! Dasar bos s****n!” Renatta membanting lembaran kertas ke atas mejanya dengan kesal. Beberapa rekan kerjanya, sesama b***k korporat yang masih betah di kantor, yang masih ada di kubikel dekat kubikel Renatta, reflek mengalihkan perhatian pada gadis yang nampak emosi itu. “Kenapa Natta? Disuruh revisi lagi ya?” Calya yang kubikelnya bersebelahan, menatap teman b***k korporatnya itu dengan prihatin. “Huwaaa!! Ini udah revisi keempat kali. Mana udah jam segini pulak. Hiks hiks… Cal…. Gue gak boleh pulang sama si bos syialan itu kalau revisian yang ini belum selesai.” Renatta berkeluh kesah, meluapkan kekesalannya. Keduanya melirik jam di dinding yang sepertinya mengejek para manusia di ruangan itu. Kedua jarumnya sudah menunjukkan lewat jam tujuh malam, di saat manusia normal sudah bersantai di rumah bersama keluarga, masih ada manusia lain yang tetap menghamba pada rupiah demi bisa mendapatkan gaji bulanan. “Coba lapor aja ke Mbak Dina deh, kali-kali bisa bantu luluhin hati si bos.” Calya mengelus pundak Renatta dengan lembut. Padahal biasanya gadis di sebelahnya ini kuat menghadapi kelakuan aneh si bos, tapi sekarang menjadi lembek, mungkin karena sudah mencapai tahap sabar paling maksimal. “Mbak Dina kan deket sama si bos, gak mungkin gue lapor juga ke dia. Huwaa…. Gimana nih Calya, gue lapor papa aja kali ya?” Renatta letakkan wajah ke meja beralaskan lengannya. “Yaelah… lapor papa dan elu bakalan berakhir di pelaminan bersama lelaki yang gak elu suka. Gak inget apa, kenapa elu bisa jadi cecunguk di sini?” Calya mengingatkan Renatta, “sabar aja napa sih Natta, si bos mah disholawatin aja tiap kali ketemu biar hatinya luluh.” Calya menepuk pundak Renatta, berikan semangat. “Udah! Ampe tambah dower bibir gue sholawatin si bos mulu. Gak cuma sholawat, ayat kursi sama tiga kul gue bacain sekalian. Apa perlu dia gue bawa ke ustad aja ya buat diruqyah?” Sungut Renatta, menyandarkan punggung lelahnya ke sandaran kursi. “Lah dikira syaiton apa tuh bos? Jangan-jangan si bos masih dendam kesumat ama kejadian waktu itu ya Nat? Elu sih bikin masalah gak nanggung-nanggung, pakai matahin tulang lengan si bos.” Calya mengingat masa lalu. “Issh… masa lalu itu! Lagian dia yang salah, kalau gue kan reflek karena punya basic bela diri.” Renatta meringis, mengingat beberapa bulan sebelum dia bergabung ke konsultan ini. “Tapi beneran waktu itu elu udah minta maaf ke Pak Erlan, Nat? Atau belum? Seingat gue, elu malah nambah masalah kan?” tanya Calya lagi. Kening Renatta berkerut, coba mengingat apakah dia sudah meminta maaf atas kesalahan yang pernah dia lakukan pada si bos tampan. Tapi entahlah, dia tidak bisa mengingat permintaan maafnya, yang dia ingat dia malah menambah runyam masalah. “Euum… aku lupa persisnya, tapi sepertinya belum deh.” Renatta meringis. “Naah tuh kan, pantesan si bos dendam gak selesai-selesai ke elu.” “Tapi itu kan udah lama banget Cal, apakah aku masih perlu meminta maaf ke si bos yang gak punya hati nurani itu?” tanya Renatta putus asa “Natta, kalau elu gak mau tambah diperbudak dengan revisian yang gak jelas, sebaiknya kamu minta maaf. Kalau Pak Erlan gak terima permintaan maafmu, kamu bongkar saja siapa kamu sebenarnya biar dia langsung takluk dan kicep.” Calya berikan saran sambil tersenyum lebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN