Saat Rafi hendak berlari agar bisa mendekati sosok itu, tiba-tiba terdengar suara Renatta memanggilnya, “Kak Rafi, ngapain mengejar tuh cewek? Kenal?”
“Natta.., kok kamu bisa sampai di sini?” tanya Rafi, sedikit linglung antara keinginan hendak mengejar sosok gadis tadi ataukah bersama Renatta yang mendadak ada di belakangnya. Dia abaikan pertanyaan Renatta.
“Tadi aku panggil Kak Raf, tapi malah lari ke sini. Aku pusing nih Kak, mau pulang aja, tolong antar aku pulang ya.”
“Euum, iya, wajahmu pucat. Yuk, aku antar pulang. Nanti aku bilang ke Sagara dan Danen.” Rafi menuntun Renatta ke lobi. Mereka menunggu mobil diantar oleh jasa parkir vallet.
“Yuk, Natta.” Rafi menutup pintu mobil jeep mewah setelah Renatta duduk manis. Dia memutari belakang mobil, tapi Rafi berteriak tertahan saat kunci mobil di tangannya direbut seseorang.
“Gue yang antar Renatta ya Raf, please…?!” seorang lelaki dengan wajah menghiba memohon Rafi agar mau memberi ijin untuknya.
Rafi menghela nafas, menoleh ke Renatta yang sudah menyandarkan kepala, kemudian ke arah lelaki di depannya yang berwajah memelas tapi juga menyebalkannya.
Ini namanya simalakama! Tapi yaah, Sagara dan Danen mungkin bisa mengerti.
“Elu harus jaga kepercayaan gue ya Lan, antar Renatta ke rumahnya. Kalau ada apa-apa pada Renatta, dipastikan elu gak akan lihat matahari esok hari. Sagara, Danendra ama gue bakalan dengan senang hati mencincang tubuh elu!” ancam Rafi, tanpa belas kasih.
Lelaki itu, Erlan, berikan senyum terbaik, “beres! Makasih Raf, elu emang sepupu terbaik gue. Titip bilang ke mereka ya.”
Erlan melangkah satu langkah tapi kemudian berbalik, “ini tiket parkir gue, tolong kasih ke Fenty atau elu anterin dia pulang ya.” Tiket itu kemudian pindah tangan.
Heh, mana mau gue anterin tuh nenek lampir, wajah cantik tapi hati setan.
Rafi bergidik, menggeleng dan mendumel dalam hatinya, mengingat tingkah laku Fenty. Entah apakah ini keputusan yang benar dengan membiarkan Erlan mengantar Renatta pulang. Tapi Rafi yakin, Renatta bisa menjaga dirinya. Yang dia takutkan justru Erlan akan pulang dengan kondisi tubuh yang tidak utuh.
Mobil melaju pelan, mata Renatta yang tadi terpejam, menjadi terbuka saat menghidu parfum yang refleks membuatnya menoleh ke arah kanan. Sekejap matanya membola tapi rasa pusing luar biasa menderanya, hingga dia hanya mampu hembuskan nafas, pasrah saja saat tahu lelaki yang mengendarai mobil jeep mewah itu adalah Erlan, bukan Rafi. Pantas saja tadi dia mendengar samar dua suara lelaki bercakap sesaat di sisi mobil.
“Kita beli makan dulu ya Renatta, wajahmu pucat banget, kamu juga belum makan berat di pesta tadi.” Erlan bersuara, membuka percakapan. Dia senang karena Renatta tidak protes kenapa jadi dia yang mengantarnya pulang. Sesekali Erlan menoleh ke arah kiri, berikan senyum lembut pada Renatta.
“Bubur ayam saja. Aku gak mau makan terlalu berat.” Jawab Renatta sambil meringis. Perutnya terasa melilit. Semakin melilit saat tahu Erlan masih saja memperhatikan dirinya. Hatinya tercubit, terasa sakit, perhatian Erlan tidak membuatnya membaik, malah semakin membuatnya merasa sakit.
“Renatta, kenapa? Kita ke rumah sakit saja ya?” Erlan jadi panik, dia segera tepikan mobil agar bisa fokus pada Renatta. Erlan membuka sabuk pengamanan dan mencondongkan tubuhnya ke arah Renatta.
Tangannya reflek menyentuh kening Renatta. Gadis itu tampak sedikit terkejut, tapi tidak berusaha menghindar.
“Hangat.” Tutur Erlan, matanya lembut menatap Renatta. Seperti ingin menyampaikan dia peduli pada gadis itu.
“Gak perlu ke rumah sakit, sepertinya aku cuma masuk angin.” Jawab Renatta sekenanya.
“Kamu masih suka telat makan ya? Tidurlah saja dulu, nanti kalau sudah sampai tukang bubur ayam aku bangunin ya.” Erlan kembali melajukan mobil dengan perlahan.
Renatta pejamkan mata, berusaha nikmati kesunyian dan suasana monokrom yang tercipta antara dia dan Erlan. Hal yang tidak mungkin terjadi beberapa bulan lalu karena selalu ada warna-warni ceria pada mereka. Sebelum akhirnya ada badai bernama Fenty datang menerjang dan memporak-porandakan hubungan mereka.
Jangan pedulikan aku seperti ini Erlan, kamu hanya membuatku semakin membencimu. Percuma saja kamu berikan semua perhatian sementara bukan aku yang kamu pilih, tapi perempuan lain.
Sunyi dan hening membuat Renatta memejamkan mata, suasana nyaman membuatnya mengantuk, hingga dia rasakan sentuhan dan suara lembut memanggil namanya.
“Renatta, bangun. Ini bubur ayam dan teh manis hangat, makanlah dulu.”
Renatta kerjapkan mata beberapa kali, ternyata dia sempat terlelap.
“Terima kasih.” Tutur Renatta, berusaha menelan bubur ayam yang nampak menggoda.
Kembali sunyi dan monokrom menyergap mereka. Tidak ada diksi terucap, hanya denting sendok beradu mangkuk bergambar ayam jago. Sesungguhnya, baik Renatta maupun Erlan merasa asing pada suasana senyap seperti ini.
“Kok gak dihabisin?” tanya Erlan melihat Renatta hentikan suapan padahal buburnya masih ada setengah mangkuk.
Renata meneguk teh manis hangat, menggeleng dan menjawab, “udah kenyang, perutku begah.”
“Mau aku suapin?” sekali lagi suara itu selembut dawai yang melenakan.
Renatta melirik ke arah kanan, tidak bersuara sebagai jawaban, tapi dia menggeleng.
“Aku habisin aja ya, sayang kalau dibuang.” Tanpa menunggu jawaban, Erlan segera mengambil mangkuk bubur dari tangan Renatta, menghabiskan sisa bubur dengan lahap, bahkan dengan sendok yang dipakai Renatta.
Renatta pejamkan mata, hembuskan nafas perlahan, teringat masa lalu saat kehangatan setia ikuti mereka. Erlan selalu habiskan makanannya saat mereka hanya berdua, jika bersisa tentu saja, tanpa malu ataupun merasa risih memakai alat makan bekasnya.
Saat mereka habiskan malam dengan memasak bersama di unit Erlan atau saat dia yang ketakutan karena petir yang menyambar dan dia akan membawa selimut ke unit Erlan, kemudian mereka akan menghabiskan mie instan, atau saat lainnya.
“Done,” Erlan menyeka sudut bibirnya dengan tisu, “mau makan apalagi?” tawarnya, dengan harapan Renatta masih ingin memakan sesuatu untuk mengisi perut.
“Aku mau pulang saja.” Jawaban Renatta membuat Erlan terdiam. Padahal dia masih ingin bersama gadis itu lebih lama lagi. Sebut saja dia egois, bodoh dan segala sematan negatif lainnya, dia tidak peduli, yang dia inginkan bisa nikmati waktu bersama Renatta.
Beberapa detik kembali sepi menyergap, hanya terdengar suara pengamen jalanan yang menyanyikan lagu It’s Not You karya Alan Walker. Mendengar lagu ini, netra keduanya bertemu, ada senyum perih yang sama tercetak di bibir keduanya, yang mungkin lebih berarti dari ribuan diksi yang tak dapat diungkapkan. Lirik lagu itu sudah mampu menggambarkan apa yang mereka rasakan.
“Renatta,” suara selembut dawai menyadarkan Renatta, “euum… aku punya permintaan. Aku tahu kamu pasti akan sangat marah, tapi…” Erlan ragu hendak melanjutkan kalimatnya.
“Tapi apa?” kening Renatta berkerut karena Erlan yang tak jua selesaikan. Dia majukan tubuhnya untuk mencari posisi yang nyaman.
“Euum.. maukah kamu habiskan malam ini berdua saja denganku?” Erlan ucapkan itu dengan satu hembusan nafas. Dia sudah pasrah jika tiba-tiba Renatta lakukan gerakan memiting lehernya di mobil jeep ini.
Bola mata Renatta sempat membeliak mendengar permintaan itu, namun, dua detik kemudian sebuah senyum manis tercetak di bibirnya.