11. Rafi yang Bukan Ahmad?

1644 Kata
Kalau gue punya mau, elu harus turuti itu! -Erlan to Renatta- “Astagfirullah Renatta! Hentikan! Sudah, sudah, jangan tendangi lagi Erlan, bisa-bisa semua tulang dia patah!” Rafi pasang badan, berada di tengah-tengah antara Renatta yang kalap dan Erlan yang sekali lagi tergeletak tak berdaya di depan pintu unit griya tawangnya. “Dia cari masalah sih! Udah tahu badan lemah gitu, malah sengaja bikin emosi dengan pandangan mesumnya.” Renatta membela diri. “Heh, siapa yang lemah? Kurang ajar, beraninya bilang gue lemah!” Erlan bersusah payah untuk bangun, tapi tidak mampu karena saat ini sekujur tubuhnya terasa lebih remuk dari lima menit lalu. “Raf, bantu gue bangun dong.” Erlan meringis kesakitan, memohon pada Rafi untuk membantunya. “Cih, bangun aja gak bisa, tapi gak mau dibilang lemah! Cemen!” hina Renatta. Sesungguhnya Erlan ingin sekali membalas tapi dia tidak mau membuang energi percuma. “Renatta! Sudah, jangan bicara lagi. Tolong kamu bawa tas-tas ini ke dalam, aku bantu Erlan.” Agar suasana tidak semakin memanas, Rafi berikan tas Erlan kepada Renatta, yang tentu saja ditolak mentah-mentah. “Kenapa harus aku yang bawa?” Renatta bergeming, melihat malas pada tas yang disodorkan Rafi. Sekarang ganti Rafi yang menghela nafas panjang dan keluarkannya penuh emosi, “hanya ada dua pilihan untukmu! Bantu bawain tas atau kamu yang memapah Erlan ke unitnya. Pilih mana?” “Diih… kok gitu? Iya, iya, aku bawa tas aja.” Mau tidak mau, Renatta mengikhlaskan dirinya membawa tas dan barang-barang milik Erlan. Saat masuk ke unit griya tawang Erlan, mata Renatta memindai sekeliling. Heeum, kalau di sini terasa sekali atmosfer laki. Warna dominan abu, beda dengan unitku yang dominan putih dan sedikit pink pupus. Rafi membawa Erlan ke sofa mahal yang tersedia di ruangan itu, tapi malah terdengar jerit tertahan, mendadak gengsi menyergap saat menyadari hadirnya Renatta, si cewek barbar. “Raf, yang lembut dong. Ini badanku sakit semua malah tambah dibanting. Awas aja ya kalau ada tulang yang patah lagi, gue akan kirim elu ke penjara!” teriak Erlan tapi malah keningnya ditoyor Rafi karena menjerit tepat di sebelah telinganya. “Ebuset Lan, jangan jejeritan di sebelah kuping gue! b***k ntar gue! Emang dikira enteng tuh badan?” Rafi terengah, duduk di sebelah Erlan dan menyeka keringat. Padahal hanya beberapa meter saja, tapi tenaganya seperti tersedot habis! “Lan..?” senyum usil nampak di bibir Renatta, “namanya Wulan ya? Sebuah nama yang cantik!” sekali lagi Renatta mengejek Erlan secara telak. “Elu…” Erlan hendak berusaha berdiri dari sofa, tapi tangan kirinya ditarik Rafi hingga dia kembali jatuh, duduk di tempat semula. “Gak usah macem-macem! Duduk yang bener! Gue masih ngos-ngosan ini!” teriak Rafi, galak. “Ini tasnya taruh di mana Kak Raf?” saat bertanya pada Rafi, suara Renatta terdengar ramah, cenderung manja malahan. Rafi membalasnya dengan sebuah senyuman, yang sekali lagi sebuah senyum misterius tapi tidak ada yang menyadarinya. “Ah ya, maaf sampai lupa. Tolong letakkan di kamar aja ya Natta.” Dijawab anggukan oleh Renatta dan segera melesat menuju salah satu pintu. “Raf, emangnya tuh cewek barbar tahu kamar gue yang mana? Gue tahu juga karena Pak Kamil kirim video room tour griya tawang ini.” Bisik Erlan, mencolek Rafi yang tampak santai. “Gue kira yang patah tuh cuma tulang elu doang, tapi ternyata otak lu juga patah ya? Jangan lupa, gadis itu juga ngekos di unit sebelah kan?” jawab Rafi santai. “Ngekos? Ya ampun kalau di sini dia ngekosnya di griya tawang, terus rumah dia kaya apa coba?” “Gak usah dipikirin deh, mending pikirin diri sendiri dulu. Mandi gih terus makan.” “Ambilin gue baju ganti dong, yang piyama biru, jangan lupa elu dah janji jadi asisten gue sampai gue sembuh.” Erlan tersenyum senang, kapanlagi coba dia bisa memanfaatkan kebaikan si sepupu? Dia tidak tahu saja sebenarnya dirinyalah yang dimanfaatkan oleh Rafi. “Aaah! Gue tahu!” tiba-tiba Rafi menjentikkan jari, untunglah bukan decimation ala Thanos. “Tahu apaan?” Erlan jadi tertarik. “Tenang aja, gue akan limpahkan tanggung jawab ini kepada orang yang tepat dan bisa standby deket ama elu hampir dua puluh empat jam sehari.” Tutur Rafi dengan senyum misterius. “Maksud lu apa sih Raf?” Erlan menatap sepupunya penuh curiga. “Sabar bro! Natta, tolong sekalian siapin piyama Erlan yaa, ada di lemari tuh, tolong ambil warna biru.” Teriak Rafi, tidak ada balasan dari Renatta tapi gadis itu kemudian keluar kamar Erlan dengan membawa satu set piyama warna biru tua. “Nih Kak Raf, piyamanya.” Diterima Rafi dengan senyum simpul. “Natta sini deh, duduk sini,” Rafi menepuk sofa di depannya agar Renatta duduk di situ, “ada hal yang harus kita bicarakan serius nih.” Renatta duduk dengan patuh, membuat Erlan heran, “elu kenapa nurut banget kalau sama Rafi yang bukan Ahmad ini sih?” Hanya dibalas dengan dengkusan dan lirikan tajam Renatta tanpa diksi terucap. “Seperti Natta lihat, Erlan begini karena dihajar habis-habisan sama kamu kan? Tadi juga malah sempet ditendang lagi, bukannya sembuh malah tambah sakit loh.” Rafi memberi kalimat pembuka. Baik Erlan dan Renatta mendengar dengan patuh. “Salah dia sih Kak Raf, ngeliat kakiku dengan m***m gitu.” Masih saja Renatta membela diri. “Jangan merasa diri seseksi itu untuk bisa dimesumin ya!” padahal Erlan tadi sempat bersorak dalam hati, dia kira bisa mendapatkan tetangga super seksi nan eksotis yang bisa diajak kencan. “Heei sudah, sudah, ini kapan gak berantemnya sih? Renatta, Erlan, dengar dulu deh. Ini benar-benar serius. Pertama, karena aku gak mungkin menemani Erlan sampai dia sembuh, kedua, karena Renatta tinggal di unit sebelah dan ada andil atas ketidakberdayaan Erlan, maka…” Rafi sengaja menahan kalimatnya, melihat respon kedua orang itu yang menahan nafas. “Maka apa Raf? Jangan bikin penasaran deh.” “Iya Kak Raf, maka apa? Kenapa perasaanku jadi gak enak nih?” timpal Renatta, mengamini Erlan. “Nah gini dong, akur! Aku suka melihat kalian berdua akur gini.” Jawab Rafi dengan cengiran khasnya. “Raf, buru deh!” “Maka… Natta harus ikut bertanggung jawab untuk ikut merawat Erlan setidaknya sampai tangan kanannya bisa kembali digunakan.” “Haa…?! Enggak mau!” Renatta dan Erlan kompak menjawab berbarengan. “Mau gak mau sih ini mah. Palingan hanya satu mingguan aja kok Natta. Toh kamu juga belum masuk kantor kan?” “Iya sih Kak Raf, tapi ya jangan pakai harus baby sit lelaki manja ini dong.” Keluh Renatta. “Gue gak manja!” Erlan protes, tidak terima dituduh manja. “Kalau gak manja, buktiin! Bisa gak ganti baju dan makan sendiri apa enggak?” “Sudah, sudah. Kalian ini seperti pasangan suami istri yang benci tapi butuh. Nah, gue tinggal ya. Kalau Erlan sudah selesai makan dan mandi, kamu boleh kembali ke unit griya tawangmu loh Nat!” entah sejak kapan Rafi sudah ada di depan pintu keluar apartemen, melambaikan tangan pada Renatta dan Erlan yang kompak bengong berdua. “Iiih kok Kak Raf gitu?” keluh Renatta tapi tidak beranjak dari duduknya. Bagaimanapun juga dia punya andil pada luka yang diderita Erlan. Beberapa hari ini jadwalnya masih kosong. Papanya bilang dia bisa masuk kantor hari Senin depan, masuk kantor tanpa tes! Bermodalkan surat sakti dan tanda tangan sang papa saja. Erlan menimbang dalam hati. Dia memang akan kesusahan jika semua dikerjakan sendiri, tapi dia juga risih ada perempuan di unit apartemennya, terutama setelah sekian lama tidak ada kaum hawa yang menjalin hubungan dengannya. “Kalau elu mau pulang, pulang saja. Gue bisa lakukan semua sendiri kok.” Kata Erlan sambil bersusah payah membuka kancing kemejanya dengan hanya tangan kiri saja. Tentu saja sangat susah. “Wah beneran nih? Asiiiik!” Renatta melompat kegirangan. Dia segera berdiri hendak keluar unit apartemen Erlan, tapi mendengar Erlan yang berkeluh kesah tidak berhasil membuka satu kancingpun, membuat sisi kemanusiaannya terusik. Renatta balik badan, menuju kembali ke arah Erlan. Tiba-tiba gadis itu daratkan p****t di sisi kiri Erlan, tanpa ba bi bu, menarik kerah kemeja Erlan agar menghadap ke arahnya! “Aaww! Hei bocah, elu mau cekik gue ya?” bentak Erlan. “Cih, bocah?! Mau ditolong gak?” Renatta kemudian membuka kancing kemeja Erlan satu per satu. Harum sabun dan shampo Renatta terhidu oleh Erlan, membuatnya melayang. Rupanya Renatta baru saja selesai mandi. “Nah, nih udah kebuka kemejanya. Gue bantu buka gesper tapi gue gak mau bukain celana kainnya.” Kata Renatta, tegas. “Tapi gimana gue bisa buka celana coba? Susah kalau hanya pakai satu tangan saja. Kenapa gak elu tolong bukain sekalian sih? Gue gak akan ngapa-ngapain, lagian gue pakai celana pendek dan k****t kok. Elu juga gak seseksi Beyonce untuk diraba-raba.” Entah darimana kalimat itu berasal tapi Erlan benar-benar menyuarakan isi kepalanya. “Kayanya, elu butuh kacamata yang dipakai di kening deh.” Sebuah pernyataan absurd Renatta. “Di kening? Kenapa memangnya?” “Jadi biar bisa memperbaiki kondisi otak elu yang minus! Ya sudah sini gue copotin sekalian celana kerjanya. Terus harus langsung mandi ya! Gue tunggu bentar sampai elu selesai mandi jadi bisa pakai piyama sebelum gue pulang.” “Beneran elu mau bantuin gue pakai piyama habis mandi? Itu gue dalam keadaan n***d loh.” Seringai muncul di bibir Erlan. Kali ini dia iseng saja. “Astaganaga, nih orang otak di mana sih? Dengkul? Tadi katanya gak bakalan ngapa-ngapain gue, yang gue gak seksilah, kenapa sekarang mendadak berubah gitu? Baru sadar kalau gue seksi ya?” Renatta malah menyambut dengan sarkasme. “You wish!” “Elu mau rasain systema tepat ke jantung?” ancam Renatta, dengan seringai menyeramkan membuat Erlan berpikir dua kali jika akan iseng pada gadis ini. Selama empat hari, Renatta merawat Erlan walau tentu tidak sepenuh hati. Apalagi mereka bagai Tom dan Jerry yang tidak pernah akur. Entah apa yang akan terjadi pada mereka kelak. Tidak ada yang tahu goresan takdir anak cucu Adam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN