13. Butuh Bukti Kejantanan Gue?

946 Kata
His name is also effort (Namanya juga usaha) * “Renatta, ke ruangan saya! Sekarang!” teriak Erlan pagi-pagi, dia memunculkan kepala tepat di depan pintu ruangannya, ya hanya kepala tanpa tubuh. “Astagfirullah, kenapa gak via interphone sih pak? Gak usah pakai jejeritan gitu! Tadi sarapan ayam geprek level sepuluh ya? Kepedesannya baru sekarang?” balas Renatta, tidak mau mengalah. Andai saja Erlan tahu siapa dia sebenarnya di perusahaan itu, pasti sikap Erlan akan berubah seratus delapan puluh derajat. “Anggap saya tidak dengar itu ya, Renatta! Buruan ke sini!” tepat saat kepala Erlan menghilang ke belakang pintu, Renattta peragakan gerakan memilin, seperti ingin memilin Erlan dengan dua tangannya, hidup-hidup tentu saja. “Hiiih…! Kalau elu bukan bos aja, udah gue puntir tuh leher!” hentak kaki Renatta membuat Calya dan Dito tersenyum simpul. “Malah pada ketawa! Bukannya bantuin kek!” hardik Renatta semakin kesal melihat kedua temannya yang diam saja. “Yaelah Nat… nasib jadi cunguk kantor ya gini. Terima aja deh, buru tuh ke ruangan bos sebelum tambah meledak emosinya.” Dito mendorong kursi Renatta untuk segera ke ruangan bos sebelum terdengar jeritan lagi. “Nama gue bukan donat, Dit! Bantuin gue dong gaes, please..” pinta Renatta sebelum benar-benar beranjak dari kursi. “Elu butuh bantuan apa sih Natta?” Calya berusaha menengahi. “Jagain lilin ntar malam,” seringai muncul di bibir Renatta, tapi kening Calya maupun Dito malah berkerut mendengar ini. “Buat apa? Elu mau ngepet? Beneran? Hare gene masih percaya gituan Nat?!” gelengan kepala Dito membuat Renatta jadi bingung. “Kalau mau nyantet bukannya pakai lilin ya?” tanyanya polos. “Hahaha… elu Natta, masih aja percaya gituan! Kan udah dibilang, tuh bos disholawatin aja, biar adem.” Gelak tawa Calya membuat beberapa staf lain melihat ke arah mereka. “Yaah, namanya kan juga usaha. Udah empet banget gue ama dia. Tambah semangat resign nih gue. Apa daya, gue ada perjanjian.” Keluh Renatta, membuat kedua temannya geleng-geleng kepala. “Renatta…! Kok belum ke sini?! Apa butuh dijemput?” sekali lagi terdengar teriakan Erlan, sayangnya kali ini Rafi tepat lewat di depan ruangannya, menjadikan dia malah diomeli sang sepupu. “Erlan! Gak usah jejeritan! Renatta kan gak budek.” Tegur Rafi. “Serah gue!” “Yang sabar ya Natta, dia mah gitu kalau jelang akhir bulan.” Rafi berusaha menentramkan Renatta yang berjalan mendekat. “Lagi pe-em-es ya Kak Raf? Ngalahin yang cewek beneran dah.” Cengiran khas Renatta yang kemudian dibalas dengan delikan mata Erlan. “Kejar target kan dia.” Balas Rafi dengan senyum kecil. “Biar kalian bisa dapat bonus gede tahu gak! Buruan Renatta, sini masuk." “Huuft, gue kudu masuk kandang buaya!” desis Renatta, kesal tapi tidak berdaya. “Kamu tahu gak Natta?” tanya Rafi yang ikut menerobos masuk ke ruangan Erlan, membuat si pemilik ruangan jadi tambah kesal. “Kalau si pemilik ruangan ini adalah buaya?” tanya Renatta polos dengan senyum terkembang. “Heh, itu bibir kalau bicara ya, tolong dikondisikan!” bentak Erlan, tidak terima. “Justru harusnya elu seneng kalau dibilang buaya sama cewek loh Lan, kenapa coba?” Rafi menengahi. “Kenapa tuh Kak Raf?” “Sesungguhnya, buaya itu termasuk salah satu hewan yang setia. Sebagian besar dari mereka akan memilih kawin pada pasangan yang sama saat musim kawin mereka tiba, meskipun tuh buaya bisa saja mendapatkan pasangan yang baru loh. Bahkan kadang akan kawin satu kali sebagai bentuk kesetiaannya.” Rafi menjelaskan dengan tenang, duduk santai di sofa melihat ke arah Erlan dan Renatta bergantian. “Aah iya, aku ingat hal itu. Tapi kenapa dong lelaki yang suka gonta-ganti pasangan terus disebutnya lelaki buaya darat?” tanya Renatta heran. “Karena mereka gak belajar biologi dengan benar.” Jawab Erlan, asal tentu saja. “Atau karena mereka gak nonton tayangan National Geographic.” Timpal Renatta. “Ini kenapa sih kita jadi membahas buaya? Raf, lagian elu ikutan masuk ke sini ngapain? Gue ada perlu ama Renatta, bukan ama elu. Beberapa bulan ke depan kita akan kedatangan partner dari Asia Pasifik kan?” Erlan mengusir Rafi secara halus. "Partner Asia Pasifik?" bisik Renatta, cenderung pada diri sendiri, tapi kemudian sebuah senyum samar terbit di bibirnya. “Iya, iya, gue bakalan menyingkir. Tapi beneran deh melihat kalian berdua yang sering gak akur begini, membuatku terbayangkan kisah suami istri yang benci tapi rindu. Barangkali aja kalian berjodoh kan? Hati-hati, batas antara benci dan cinta itu setipis rambut dibelah tujuh. Gue doain ya.” Ucap Rafi panjang lebar dan respon kedua orang itu sudah bisa dia duga. Tentu saja menolak! “Elu kalau berdoa yang bener dong Raf! Mana mau gue ama cewek sebar-bar dia gini? Lagian itu kan jembatan Sidrata Muntaha.” jawab Erlan spontan. Renatta melirik tajam ke arah Erlan, semakin ingin memitingnya hidup-hidup. “Enggak ah Kak Raf, gak mau gue ama lelaki lemah gini.” Balas Renatta kalem, disambut tawa membahana Rafi. “Le.. lelaki lemah? Elu nuduh gue lemah, Renatta? Nanti malam kita buktikan kalau gue bukan lelaki lemah!” mendadak jiwa lelaki Erlan berkobar. “Heh Lan, elu mau ngapain?” Rafi jadi khawatir jika Erlan akan nekat dan punya ide aneh untuk m*****i Renatta. “Membuktikan kalau gue pejantan tangguh biar dia tidak seenak udel sendiri ngatain gue lelaki lemah.” Seringai Erlan terbit. “Gimana cara membuktikannya huh?” cibir Renatta, cari mati pada bos sendiri. “Kolam renang griya tawang jam delapan malam! Kita akan lihat bahwa gue, sebagai lelaki, bisa menguasai elu!” seringai Erlan semakin seram, mendekati Renatta yang berdiri tepat di depan mejanya. Semakin dekat, bahkan sekarang Renatta bisa rasakan hembusan nafas aroma mint Erlan, hingga dia menutup mata dan tampak pasrah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN