Difitnah

1191 Kata
Bagian 3 Aku tidak ingin orang lain mengganggu ketentraman rumah tanggaku. Akan kujaga dan lindungi keluargaku dari orang yang ingin mengganggu kedamaian keluargaku. Rupanya Sinta orangnya tidak tahu malu. Sudah jelas-jelas kuperlihatkan bahwa aku tidak menyukainya. Tapi dia masih bersikap biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ia masih sering main ke rumahku dengan membawa anaknya dan mengotori rumah yang baru saja selesai kubersihkan. "Sinta, anaknya diliatin dong, jangan dibolehin bawa pasir ke dalam rumah. Aku baru selesai nyapu loh!" "Biarkan saja Mbak, namanya juga anak kecil. Dibilangin juga gak bakalan ngerti!" ucapnya, tatapannya fokus pada layar ponsel yang ada di genggamannya. Siapa yang gak kesal dibuat begitu. Aku masih bersabar, kubersihkan lagi lantai rumah yang penuh dengan pasir tersebut. Lagi-lagi, anaknya masuk ke kamar anakku dan membongkar baju di dalam lemari. Baju-baju tersebut kususun rapi di dalam lemari. Tapi malah diberantakin sama anaknya Sinta. "Sinta, anaknya di liatin dong, jangan main HP terus. Anakmu masuk ke dalam kamar tuh bongkarin baju-baju di dalam lemari. "Hehehe, iya Mbak Desi, maaf!" Sinta pun segera beranjak dari tempat duduknya. Ku susul Sinta ke kamar untuk memastikan bahwa dia merapikan kembali baju-baju yang sudah dibongkar anaknya. "Mbak Desi, minta pampersnya satu ya, si adek ngompol" ucap Sinta. Astaghfirullah! Ternyata Sinta tidak memakaikan diapers pada anaknya. "Aku gak nyetok Pampers ukuran anakmu. Adanya cuma ukuran L untuk anak satu tahun. Gak bakalan muat buat anakmu! Anakmu kan sudah dua tahun." "Ya sudah, gak jadi deh mbak kalau gak muat!" "Kamu bersihin dong ompolnya, lantai ini baru selesai ku pel loh, Sin, jadi tolong kamu bersihin tuh ompol anakmu!" "Gak bisa Mbak, kasur nya udah nyerap! Aku gak bisa nyuci kasur seberat ini!" ucap Sinta gengsi. Ya allah, anaknya Sinta ternyata lompat-lompat dan ngompol di atas kasur. Padahal seprei nya baru saja ku ganti. Betapa jengkel hatiku melihat kelakuan Sinta yang sepertinya membiarkan anak-anaknya melakukan apa yang mereka mau. "Makanya, jangan dibiarin dong anaknya masuk kamar sembarangan. Kan jadi berantakan semua, kasur juga di ompolin!" ucapku kesal. Sinta kemudian mengajak anak-anaknya keluar kamar, dan apa yang terjadi? Anak-anak nya berlari ke dapur dan membuka kulkas. Mengambil minuman segar serta mengacak-acak isi kulkas. "Noval, Yudi, berhenti! Jangan berantakin lagi rumah Tante." Aku berteriak untuk menghentikan kedua bocah nakal itu. Mereka berlari, dan sekarang malah pindah ke meja makan. Mereka mengambil ayam goreng yang kutaruh di atas meja, yang ku tutup dengan tudung saji dan sengaja ku sediakan untuk menu makan siang kami. "Noval, Yudi, cukup! Habis sudah kesabaran Tante, sekarang kalian pulanglah!" Aku membentak mereka. Mereka menangis sambil melempar sisa ayam goreng tadi tepat mengenai wajahku. Kurang ajar sekali anak-anak ini. Tidak diajarin sopan santun sama orang tuanya, apa? Sinta malah tertawa melihat tingkah laku anaknya yang kurang ajar itu. "Sinta, mendingan kamu bawa anak-anakmu pulang. Kamu lihat, mereka sudah mengacak-acak kulkas dan juga lauk untuk kami makan siang. Sekarang kalian pulanglah!" Kali ini kuberanikan diri mengusir mereka dari rumahku. "Namanya juga anak-anak! Mbak juga salah. Harusnya lauknya di simpan di tempat lain. Di tempat yang tidak bisa dijangkau anak-anak gitu," ucapnya seenaknya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. "Ini kan rumahku! Jadi terserah aku mau naruh dimana. Harusnya kamu jaga anak-anakmu, jangan bertingkah seperti itu di rumah orang lain!" Akhirnya kesabaranku benar-benar habis. "Pergi sana, tunggu apalagi," bentakku, terserah bagaimana tanggapannya, aku tidak peduli. Sinta dan anak-anaknya akhirnya meninggalkan rumahku. Benar-benar tak tau diri ya, dia yang tidak bisa mebjaga anak-anaknya, eh, malah menyalahkanku. Jika saja mereka tidak datang kesini, pasti rumahku tidak akan berantakan. Aku terpaksa harus memasak lagi, gara-gara anak-anak si Sinta sudah menghabiskan lauk kami untuk makan siang. Sebentar lagi anakku nindy akan pulang dari sekolah, pasti dia lapar. Aku harus buru-buru menyiapkan makanan sebelum anakku sampai di rumah. *** Tok tok tok! "Mbak Desi ... Mbak ... tolong buka pintunya dong! Mbak!" Sengaja tidak kubuka pintunya karena aku sudah tahu siapa yang mengetuk pintu tersebut. "Mbak ... Mbak Desi, tolongin Sinta Mbak!" Aku mendengar suara Sinta yang sedang menangis sambil mengetuk pintu, ia terus saja memanggil-manggil namaku. Sebenarnya aku tidak ingin lagi berurusan dengan Sinta, tetapi kasihan juga mendengar Sinta menangis. Siapa tahu dia memang sedang membutuhkan bantuan. "Ya, ada apa lagi, Sin?" Aku pun membukakan pintu lalu menanyakan apa kepentingannya. "Mbak Desi, tolongin Sinta ya! Ibunya Sinta lagi sakit di kampung. Sinta ingin menjenguk Ibu, tapi Sinta sama sekali tidak pegang duit!" Sinta memohon padaku. Mendengar kata-kata sakit, hatiku iba. Aku tidak bisa membayangkan jika aku yang berada di posisinya. Ingin menjenguk Ibu tapi terkendala biaya. Aku memang masih benci padanya, tapi naluri kemanusiaanku merasa iba. "Baiklah, aku akan meminjamkanmu duit. Tapi ingat ya, harus diganti." "Iya, Mbak, janji," ucapnya sambil mengelap air mata dengan punggung tangannya. Aku pun meminjamkan uang sebesar lima ratus ribu kepada Sinta. Uang itu adalah uang simpanan yang kusisihkan dari uang belanja. "Makasih banyak ya, Mbak! Sinta pamit ya Mbak!" Wajahnya terlihat berseri setelah menerima uang itu. "Ya, kamu hati-hati di jalan ya, semoga ibumu lekas sembuh." Aamiin, sekali lagi makasih ya, Mbak!" *** Hari ini Mas Bayu pulang lebih awal. Sebelum pulang, tadi Mas Bayu sudah menelepon dan menyuruhku untuk bersiap-siap karena kami akan jalan-jalan dan makan di luar. Kusambut kedatangan suamiku sambil mencium punggung tangannya dan mengambil tasnya. "Istrinya Mas cantik sekali, Mas jadi makin sayang sama kamu," goda Mas Bayu. Mas Bayu tersenyum memandangku, sampai aku tersipu malu. "Ih, Mas bisa aja, kita 'kan mau keluar, jadi aku harus tampil cantik biar gak malu-maluin, Mas." "Kalau ibunya sudah cantik begini, berarti anak-anak juga sudah siap dong, ya?" "Sudah Mas, tinggal berangkat saja." "Oh, baiklah. Mas mandi dulu ya, sebentar!" "Iya, Mas, handuk sudah kusiapkan di dalam kamar mandi dan baju Mas juga sudah kusiapkan!" ucapku penuh semangat. Jujur, aku merasa jenuh dengan rutinitas sehari-hari yang ku jalani. Ditambah lagi menghadapi tetangga sebelah yang tingkahnya aduhai. Untungnya Mas Bayu selalu mengerti aku, dan sekarang Mas Bayu ingin mengajak kami jalan-jalan. Setelah Mas Bayu selesai berpakaian, kami pun keluar rumah. Mas Bayu dan Nindy menungguku di atas motor, sedangkan aku mengunci pintu terlebih dahulu. Namun, tiba-tiba saja Mas Bima, suaminya sinta datang menghampiriku dan langsung marah-marah. "Mau pergi kemana kalian?" tanya Mas Bima. Apa urusannya dengannya? Ia tidak berhak tahu kami mau pergi kemana. Memangnya ia siapa? "Terserah kami dong, Mas, kami mau pergi kemana. Itukan bukan urusannya situ!" jawabku ketus. "Jelas dong itu menjadi urusanku! Kamu enak-enakan mau pergi keluar, sementara anak-anakku kamu tinggalkan. Tidak kamu urus," bentaknya dengan suara yang lantang. "Loh, Mas, anak-anak kalian kan bukan urusanku. Aku hanya punya dua anak. Lagian 'kan ada emaknya. Apa urusannya denganku!" Aku semakin kesal saja melihatnya. "Ini ada apa sih Mas Bima? Kenapa anda selalu saja memarahi istri saya? Kami mau keluar, jadi tolong jangan halangi kami," ucap suamiku kepada Mas Bayu. "Kalian mau kemana pun, itu urusan kalian. Tapi saya tidak terima dengan kelakuan Desi, istrimu ini!" Mas Bima membentak suamiku. Keningku mengernyit mendengar ucapannya. Tidak terima? Apa maksudnya? "Ada apa lagi sih, Mas? Kenapa anda selalu saja menyalah-nyalahkan istri saya?" Suamiku tidak mau kalah. "Istrimu ini tega-teganya menelantarkan anak-anak saya. Dari siang sampai sekarang belum dikasih makan sama istrimu ini!" Hampir saja kuludahi mulutnya si Bima itu, untung aku masih bisa mengendalikan emosi. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN