Bagian 2
Pagi ini aku sedang berada di dapur untuk menyiapkan sarapan. Tiba-tiba saja Sinta sudah nongol dari pintu dapur dan dia membawa rice cooker.
"Mbak Desi, listrik di rumah mati, pulsanya habis dan belum diisi. Numpang ya Mbak, mau masak nasi. Rice cookernya di colokin di sini dulu ya, Mas Bima mau sarapan Mbak, tolong ya!" pintanya dengan memohon.
Sebenarnya aku masih kesal sama Sinta, bahkan belum sempat menanyakan misteri telur yang hilang dari dalam kulkas dan misteri habisnya lauk saat kami hendak makan malam.
"Ya sudah, colokin aja disitu. Nanti kalau nasinya sudah matang, baru kamu ambil lagi kesini".
Sinta hanya mengangguk, lalu keluar dari pintu dapur setelah meninggalkan rice cookernya.
Kebiasaan, tiap hati selaku saja begitu.
Menu sarapan pagi yang kumasak hari ini adalah fried chicken request si Kakak dan juga sup ayam untuk suamiku dan si bungsu.
Makanan sudah terhidang di atas meja, saatnya memanggil suami dan anakku untuk sarapan. Mas Bayu lagi bersiap-siap untuk berangkat kerja. Nindy juga lagi bersiap untuk berangkat ke sekolah. Sedangkan Haikal si bungsu masih tidur.
Setelah selesai sarapan, suami dan anakku pun berangkat. Mumpung si bungsu masih tidur, jadi aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Diam-diam kukerjakan karena takut si bungsu bangun.
Sedang asyik-asyiknya mencuci piring, tiba-tiba Sinta nongol lagi dari pintu dapur. Pintu depan memang sengaja ku kunci, takut ada orang yang masuk diam-diam seperti kemarin.
"Mbak Desi, pintu depan kok' gak dibuka, sudah beberapa kali ku ketuk tapi tetap gak dibuka. Eh ternyata Mbaknya lagi di dapur rupanya," ucap Sinta.
"Ya, pintunya sengaja ku kunci karena aku lagi di dapur. Takut ada kucing garong masuk!"
jawabku cuek. Semoga saja ia peka.
"Sinta mau ngambil rice cooker ya, Mbak."
"Oh, silakan!" jawabku dengan nada ketus, biar dia tahu kalau aku tidak suka padanya.
"Wah, masakan Mbak Desi harum sekali. Dari baunya, kayaknya enak ni. Minta dikit ya Mbak, buat sarapannya mas Bima dan anak-anak".
Tanpa menunggu persetujuanku, Sinta langsung mengambil mangkuk dari rak piring stainless milikku itu.
Niat hati ingin melarang, tapi ujungnya kubiarkan saja. Lagian aku memasak lumayan banyak. Sinta tidak mungkin mengambil semuanya. Pasti ia hanya mengambilnya sedikit untuk sarapan kedua anaknya.
"Makasih ya Mbak, aku pamit dulu!" Sinta pun pergi dengan membawa rice cooker dan satu mangkok sup ayam dari rumahku.
Setelah Sinta pergi, kuperiksa panci tempat sup tadi. Astaga! Ternyata sup nya tinggal sedikit, hanya cukup untuk si bungsu yang belum sarapan.
Perasaan marah dan kesal bercampur menjadi satu. Aku diam tapi Sinta malah semakin menjadi. Masak nasi sudah di rumahku, lauknya pun dari rumahku. Memang gak ada otaknya jadi manusia.
Aku berusaha menetralkan emosiku. Berusaha untuk tetap tenang menghadapi semua ini. Lihat saja, nanti akan kubalas.
***
Mas Bayu sudah pulang dari kantor, giliranku untuk menjemput Nindy di TPA. Sebelum pergi, sengaja kuhidangkan lauk di atas meja. Telur dadar yang sudah dibumbui dengan garam yang sangat banyak. Pasti nanti Sinta akan mengambilnya saat aku keluar rumah.
Rasakan kamu Sinta, emang enak. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan expresi si Sinta saat makan telur dadar itu.
"Mas, itu ada telur dadar di atas meja makan, nanti kalau Sinta datang mengambilnya biarkan saja ya Mas. Aku sengaja masak agak banyak hari ini, biar bisa sedikit berbagi. Jangan dimakan ya Mas, aku sudah menyiapkannya di tempat lain untuk kita." Aku berpesan kepada suamiku dan segera pergi menjemput Nindy dan tak sabar ingin segera pulang.
***
Ternyata dugaanku benar, Sinta datang disaat aku keluar rumah. Aku sudah hapal betul kelakuannya. Diam-diam selalu mengambil apa saja dari rumahku saat aku pergi.
Sinta sudah mengambil telur tersebut. Telur dadar yang sudah ku bumbui dengan garam yang sangat banyak.
Sekali-kali harus di gituin, biar tahu rasa. Emang enak. Hatiku lebih lega sekarang, bisa ngerjain si Sinta, si tukang minta itu.
Beristirahat sejenak, menghilangkan kejenuhan. Seharian memikirkan cara agar bisa membalas si Sinta membuatku sedikit lelah. Semoga kali ini dia sadar dan tidak akan pernah menggangguku lagi. Misi sudah selesai, saatnya bersantai.
Duduk di ruang tengah, menemani Mas Bayu menonton TV sambil nyuapin si bungsu.
Tok tok tok!
Tiba-tiba terdengar bunyi pintu diketuk dengan sangat kencang, membuatku dan Mas Bayu terkejut.
"Desi … Desi …." Suara laki-laki memanggil namaku dari luar.
Mas Bayu segera membuka pintu dan melihat siapa yang memanggil-manggil namaku tersebut.
"Mana istrimu si Desi? Dia harus bertanggung jawab!" Suara itu mengagetkanku dan anakku, si bungsu menangis karena ketakutan mendengarnya. Ya, itu suara Mas Bima--suaminya Sinta.
Aku segera menggendong dan mene.nangkan anakku, supaya tidak menangis lagi.
"Ada apa, Mas Bima? Kenapa Mas mencari istri saya?" Mas Bayu balik bertanya, tapi sepertinya Mas Bima tidak menghiraukannya. Mas Bima terus saja berteriak memanggil namaku.
Karena ingin mengetahui apa yang sebenarnya yang terjadi, segera kuhampiri mereka.
"Oh … ini dia, yang ditunggu-tunggu sudah datang. Hei, kamu Desi! Apa maksudmu, hah? Ingin meracuni keluargaku?" Pertanyaan dari Mas Bima yang sama sekali tidak kumengerti arah dan tujuannya sungguh membuatku bingung.
"Ada apa sebenarnya ini, Mas? Apa maksudnya? Jangan sembarang menuduh saya seperti itu tanpa bukti Mas!" Jelas saja aku tidak terima dengan tuduhannya.
"Ngaku saja lah, gak usah berbelit-belit. Aku sudah tahu maksud dan tujuanmu," ucap mas Bima dengan suara lantang.
"Justru Mas yang berbelit-belit dari tadi. Coba sebutkan apa yang dilakukan istri saya terhadap keluarga Mas?" sahut Mas Bayu tak kalah lantang.
"Dasar istrimu si Desi ini kurang aj*r, beraninya ngasih makanan racun ke istriku. Hampir saja kami semua keracunan memakan telur dadar yang dikasih istrimu ini. Rasanya sangat asin, sampai anak-anakku muntah!"
Oh, jadi karena itu. Rasain, emdng enak!
"Loh, Mas, aku tidak pernah memberikan telur dadar buat Sinta. Justru Sinta yang tadi datang diam-diam mengambilnya ke rumahku saat aku sedang keluar. Bahkan telur dadar itu belum ku cicipi. Salah sendiri mengambilnya main ambil saja tanpa permisi, seperti maling saja" ucapku membela diri. Aku sengaja bicara seperti itu biar mereka sadar diri. Aku yakin Sinta pasti menguping pembicaraan kami, biar dia tahu kalau aku tidak suka padanya.
"Tuh kan, Mas dengar sendiri, istriku tidak melakukan apa yang mas tuduhkan!" Mas Bayu membelaku.
"Lain kali jika sedang memasak di cicipi dulu, biar orang lain gak kena imbasnya," ucap Mas Bima tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, kemudian pergi begitu saja.
Dia yang salah kok' malah aku yang disalahin. Aku dan Mas Bayu tidak mengerti dengan sikap tetangga kami yang satu ini. Istrinya si tukang minta, sementara suaminya, entahlah.
Mas Bayu masih bingung dengan kejadian barusan. Begitu juga denganku. Aku makin benci melihat keluarga si Sinta itu.
Awas saja kamu ya Sinta, mulai hari ini gak bakal dapat apa-apa lagi dariku.
***
Malam harinya Sinta datang ke rumahku dengan kedua anak nya.
"Mbak Desi, maafin Mas Bima ya, tadi Mas Bima hanya khilaf," ucap Sinta memohon.
Karena hatiku masih dongkol, tidak kuhiraukan permintaan maafnya. Kuabaikan dia dengan menyibukkan diri mengerjakan pekerjaan rumah.
Sinta masih tetap merayu untuk mendapatkan maaf dariku. Kembali ku sibukkan diriku dengan menyapu lantai yang sudah bersih, padahal baru saja selesai kubersihkan.
"Lantainya kan baru disapu Mbak, kok' disapu lagi?" tanya Sinta. Sepertinya dia tau kalau aku tidak suka dia berada di rumahku.
"Biakan saja, biar rumah ini bersih dari debu, pasir bahkan jamur parasit sekalian," jawabku ketus.
Sinta yang awalnya menyunggingkan senyum palsu, kini wajahnya berubah masam dan memandangku sinis.
Bersambung