Chapter 10 : Hanya Romeo

2378 Kata
"Ih.... Kak Luisa! Bukan kayak gitu! Harusnya bumbunya dulu yang ditumis. Bukan sayurnya!" seru Della saat Luisa memasukkan seluruh sayuran yang baru dia cuci ke dalam wajan. Della langsung mengambil alih spatula di tangan Luisa. Dia mematikan kompor dan memindahkan sayuran dari wajan. Luisa hanya memanyunkan bibirnya saat Della terus mengomel. Gadis itu terdiam di samping Della yang kini mulai menumis bumbu yang tadi dia racik. "Kalo bumbunya udah mulai mateng, udah wangi kayak gini, terus ditambahin air dikit. Baru nanti sayurnya dimasukin!" ujar Della. Luisa hanya berdehem menjawab ucapan Della. Sudah sejak setengah jam yang Lalu, Luisa berkutat di dapur. Dia memang meminta Della mengajarinya memasak. Gadis itu berniat untuk membuatkan Al makan siang. Dan mengantarnya ke Klinik. Karena hari ini adalah hari sabtu. Dan gadis itu sedang libur kerja. Semalam tekadnya sudah bulat. Di sudah semakin yakin untuk memilih Al. Dia yakin pria itu bisa menjadi pendamping terbaik untuknya. Al adalah calon paling sempurna yang bisa dia bawa pulang ke Surabaya. Luisa berjanji akan memamerkan Al pada semua orang yang selama ini meremehkannya. Dan juga keluarga Ello. Dia akan menunjukkan pada semua orang, jika dia bisa mendapatkan pria yang seribu kali lebih baik dari Ello. Jadi dia harus mendapatkan hati Al. Membuat pria itu jatuh cinta padanya. Bagaimanapun caranya. Dia harus mendapatkan Al. Harus! "Kakak! Niat masak nggak sih! Diajarin masak malah ngelamun!" hardik Della pada Luisa yang diam melamun. Luisa berdecak. Menatap adik sepupunya itu dengan kesal, "Iya. Kakak denger kok dari tadi kamu ngoceh!" balasnya. Della menghela nafas panjang, "Bukan ngoceh, Kak. Della kan ngajarin masak. Masak itu nggak asal! Main cemplung-cemplungin gitu aja! Masak juga ada tekniknya kali!" cibirnya pada Luisa. "Serah, deh!" jawab Luisa singkat. Dia tak mau berdebat lagi dengan Della. Dia sudah lelah. Karena sejak pagi dia sudah ribut dengan Della di dapur. Della menghela nafas panjang. Mengajari Luisa memasak itu seperti pergi ke bulan dengan naik becak. Mustahil untuk dilakukan. Karena Della tau betul kakak sepupunya itu seperti apa. Luisa seorang pemalas. Kerjaannya kalau di rumah ya tidurtiduran. Bodo amat dengan urusan rumah. Yang penting buat Luisa, perutnya kenyang tanpa harus repot. Pokoknya jam berangkat kerja dia berangkat. Tidak mau tau bagaimana keadaan rumah. Mau rumah kotor atau berantakan, dia tidak peduli. "Kak Luisa tumben banget sih, mau belajar masak?" tanya Della. Tangannya sibuk mengaduk tumis brokoli dan wortel di wajan. Luisa mendengus. "Kamu itu! Kakak ngga mau masak, ngomel! Kakak belajar masak, malah heran. Terus maunya apa?" Della menyendok sedikit kuah masakannya. Lalu menaruhnya di telapak tangan. Mencicipi rasa tumis masakannya. Gadis itu mengangguk senang. "Ya bukannya gitu, Kak. Kan tumben aja gitu. Apalagi Kak Luisa pengen masak tumis brokoli. Bukannya Kak Luisa benci banget sama brokoli?" ujar Della. Gadis itu mematikan kompor gas setelah sayurnya matang. Kemudian memindahkan sayur ke dalam wadah rantang yang disiapkan oleh Luisa. "Kak, tumisnya kok ditaruh rantang? Bukannya taruh di mangkuk? Emang ngga mau dimakan sekarang?" tanya Della setelah rantang itu berpindah ke tangan Luisa. Luisa menoleh lalu tersenyum tipis. "Emang nggak mau dimakan. Soalnya ini tumis mau dikasih ke orang," jawabnya santai. Della mengerutkan dahinya. Mengikuti Luisa ke arah meja makan. Disana sudah ada nasi putih dan lauk lainnya yang juga sudah tertata rapi di dalam rantang. "Loh... kok...!" Luisa tersenyum begitu manis pada Della. Mengemasi makanan yang tadi dia siapkan, "Ini buat Al," ujarnya yang membuat Della membelalak. "Makasih Adikku sayang. Udah bantuin Kakak masak. Kakak pergi dulu ya! Dadah...!" ucap Luisa kemudian berlalu keluar dari ruang makan dengan membawa rantang berisi makanan. Della menatap kepergian Luisa dengan mulut menganga. Bodohnya dia. Kenapa tadi dia tidak melihat Luisa yang sudah berdandan rapi? Memakai dress satin berwarna ungu muda bermotif bunga-bunga kecil dengan sabuk pita putih. Dan juga flatshoesnya creamnya. Della menepuk dahinya pelan. Kenapa dia selalu mudah dibodohi oleh Luisa. Sial, batinnya. Ternyata dia dimanfaatkan oleh kakaknya itu. Sambil cemberut, Della berlalu kembali ke dapur. Membereskan sisa-sisa memasaknya. Sesekali terdengar gerutuan keluar dari bibirnya. Della mendengus kesal. Harusnya tadi dia taruh garam sekilo di tumis brokolinya. Biar yang makan langsung terkena kanker tenggorokan. Tapi, bukannya itu buat Al? Nanti bisa kena Al dong, batin Della. Gadis itu menggeleng beberapa kali. Biarlah dia dimanfaatkan. Dia ikhlas. Yang penting Mas Alinya selamat, batinnya. *** Luisa masuk ke dalam Klinik tempat Al bekerja dengan senyum mengembang. Menyapa si sopir ambulans yang dulu pernah mau mengantarnya ke RSU saat dia terkilir. "Pagi, Pak!" sapanya. Sopir itu langsung tersenyum melihat kedatangan Luisa, "Loh... Mbak Luisa? Mau ketemu Dokter Romeo ya, Mbak?" tanyanya. Luisa mengangguk, "Dokter Romeo ada kan, Pak?" "Ada kayaknya, Mbak. Tapi nggak tau lagi. Coba Mbak tanya si Rahma, resepsionis yang ada di dalam!" Luisa memutar pandangannya. Melihat pada seorang wanita muda seumuran dengannya yang sedang berada di meja resepsionis. " Ya udah, Pak. Makasih ya," ujarnya pada pria berperut buncit itu. Pria itu mengangguk. "Sama-sama, Mbak." Luisa pun masuk ke dalam Klinik. Menghampiri meja resepsionis disana. "Permisi, Mbak. Dokter Romeonya ada?" Wanita itu tersenyum melihat Luisa. "Loh... si Mbak. Ada kok, Mbak. Tapi kayaknya bentar lagi mau istirahat tuh. Coba Mbak ke ruangannya aja!" ucapnya. Luisa mengangguk pelan. Berterimakasih pada si resepsionis. Kemudian dia pun berjalan menelusuri lorong rumah sakit. Menuju ke ruangan Al. Diketuknya pintu ruangan Al. Tak lama pintu itu terbuka. Seorang suster paruh baya keluar dari sana. Luisa tersenyum kepada suster itu. "Eh... Mbak Luisa ya? Mau ketemu Dokter Romeo?" Luisa mengangguk. "Iya, Suster. Dokter Romeo ada, kan?" "Ada kok di dalem. Lagi nungguin Dokter Salsa katanya. Mau makan siang bareng," ujar Suster Mia. Luisa terdiam. Mendengar nama Salsa, mendadak dia menjadi sebal. Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Tersenyum masam saat Suster Mia berjalan melewatinya. Keluar dari ruangan Al. Perlahan, dia mendorong pintu ruangan Al. Dan masuk ke dalam. Luisa menyunggingkan senyumnya saat melihat Al sedang berkutat dengan laptopnya. Dalam hatinya dia memuji pria itu. Al terlihat begitu tampan dengan seragam dokternya itu. Mengerjakan entah apa di laptopnya. Wajah tampan itu terlihat begitu serius, tegang. Matanya menatap lurus pada layar laptop. Sesekali pria itu menaikkan kacamatanya. Luisa mengembangkan senyum tipisnya. Menurut Luisa, pria itu sempurna. Benar-benar sempurna. Dia memang pantas menjadi sosok pria dan menantu idaman. Gadis itu yakin dia pasti bisa membuat pria itu jatuh cinta padanya. Harus, batin Luisa. Jika dia ingin tidak dipandang remeh lagi oleh orang-orang, dia harus mendapatkan Al. Luisa berdeham. Membuat Al menoleh padanya. Pria itu menaikkan alisnya bingung melihat kedatangan Luisa. Namun dia tetap tersenyum menyambutnya. "Aku ganggu, ya?" ucap Luisa. Al menggeleng pelan. "Enggak, kok. Masuk aja!" Luisa pun menurut. Berjalan menuju sofa di ruangan Al. Dan meletakkan rantang yang tadi dia bawa dari rumah di atas meja. "Kamu masih sibuk, ya? Bukannya ini udah jam makan siang?" "Iya. Ini udah mau selesai, kok. Oh iya, kamu ada perlu apa kesini? Nggak kerja?" Al melepas kacamatanya. Meletakkannya ke atas meja. Luisa tersenyum. "Hari ini kan sabtu, jadi aku libur kerja. Oh iya, aku bawain kamu makan siang." Gadis itu membuka rantang berisi makanan yang dia bawa. Menjajarkan setiap rantang di atas meja. Hingga meja itu penuh dengan makanan. "Kamu makan, ya. Jangan kerja terus!" ujar Luisa. Al tersenyum senang. Menatap Luisa penuh kekaguman. "Kamu nggak perlu repot-repot masak gini, Sa. Kan lebih baik kamu istirahat kalau libur kerja." "Aku nggak repot, kok. Cuma masak gini aja." Al mengerutkan dahinya melihat tumis brokoli yang ada di rantang. "Kamu masak tumis brokoli?" ujarnya. Luisa menggigit bibirnya. Menatap Al takut-takut. "Kamu nggak suka, ya?" tanyanya lirih. Al tertawa kecil. "Aku suka kok. Suka banget, malah. Kamu tau darimana aku suka brokoli?" Mata Luisa berbinar mendengar perkataan Al. Gadis itu tersenyum senang. "Oh ya? Syukur deh kalo kamu suka. Padahal aku kan asal nebak aja. Biasanya dokter kan suka sayuran." Terdengar suara pintu ruangan Al terbuka. Seorang gadis berjas dokter masuk ke dalam ruangan itu. Gadis itu tersenyum menyapa Al. "Loh... Al. Kamu kok belum siap-siap, sih?" ujarnya. Gadis itu mengernyit tak suka saat melihat Luisa ada disana. Duduk di sofa samping Al. Al tersenyum pada Salsa. "Hei, Sal. Masuk sini!" Luisa menatap Al bingung. Siap-siap? Memangnya mereka mau kemana, batinnya. "Makan siangnya jadi kan, Al?" ucap Salsa pada Al. Al terlihat bingung. Pria itu menoleh pada Luisa. Merasa tidak enak pada gadis itu. "Em... kita makan siang di sini aja ya? Ini tadi Luisa bawain makan siang. Kita makan siang bareng aja ya?" Salsa langsung merengut. "Kamu gimana sih, Al. Bukannya tadi kita udah janjian mau makan siang di luar!" ketusnya. Gadis itu menatap Luisa sinis. Al tersenyum tipis pada Luisa. Dia tidak sampai hati menolak makanan yang dibawa gadis itu. Namun disisi lain dia juga merasa bersalah pada Salsa. Dia sudah berjanji untuk makan siang bersamanya. "Kita makan bareng di sini aja ya. Ini ada tumis brokoli. Ada ayam goreng. Masih anget, Sal. Kita makan bareng yuk!" ujar Al berusaha mencairkan suasana. Salsa mendengus. Membuang muka ke samping. Enggan bertatapan dengan Al dan Luisa. Al yang merasa tidak enak pun menghampiri Salsa. Mengajak gadis itu untuk ikut makan bersama dia dan juga Luisa. Salsa menolak. Gadis itu menepis tangan Al yang menyentuh bahunya. Kemudian dengan wajah kesalnya, Salsa buru-buru keluar dari ruangan Al. Membanting pintu itu dengan keras. Membuat Al dan Luisa sama-sama kaget. Luisa mengerucutkan bibirnya. Menghela nafas berat. Gadis itu bersandar di sandaran sofa. Dia bukan tidak tau Salsa menyukai Al. Sudah terlihat dari matanya dan juga caranya memandang Al. Dia sangat menyukai Al. Hanya saja mungkin Al tidak mengetahuinya. Atau mungkin Al tau. Entahlah, Luisa tidak bisa membaca ekspresi wajah pria itu. Al menghela nafas panjang. Pria itu kembali menghampiri Luisa. Dan duduk di sampingnya. "Maaf ya, Sa. Salsa mungkin lagi kesel. Makanya dia marahmarah gitu. Padahal biasanya dia nggak pernah marah. Biar kesel sekalipun." Luisa tersenyum tipis. Dia bukan marah, Al. Tapi cemburu, batinnya berkata. Gadis itu menggeleng pelan. "Gapapa kok, Al. Harusnya aku yang minta maaf. Kamu jadi batal makan siang bareng temen kamu." "Gapapa. Aku malah berterimakasih banget sama kamu. Kamu harus repot-repot masak buat aku," balas Al. Pria itu menyendok tumis brokoli tersebut. Mencicipinya sedikit. Dia mengangguk pelan. Tersenyum pada Luisa. "Enak. Kamu pinter masak juga ya?" Luisa tersenyum tipis. Menggigit bibirnya malu. Gadis itu meringis pada Al. Merasa bersalah juga pada pria itu. Padahal kan itu masakan Della. Tapi diakui masakannya. Mereka pun makan bersama di ruangannya. Al makan dengan lahap. Sampai berkali-kali nambah. Tumis brokoli itu ludes di piring Al. "Alhamdulillah..." gumam Al pelan. Disingkirkannya piring bekasnya. Luisa buru-buru mengambilnya. Menumpuk piring bekas Al dengan piringnya. "Makasih ya. Enak banget masakan kamu. Jago masak ternyata kamu ini. Padahal tangan kamu cantik banget. Kayak nggak pernah pegang pisau. Aku kira kamu ngga bisa masak," ujar Al terkikik. Luisa menahan senyumnya. Seandainya saja Al tau itu masakan Della, batinnya. Luisa menutup rantangnya. Dan mengemas kembali rantang dan juga membersihkan meja. "Kamu mau kerja lagi ya?" tanya Luisa pada Al. Pria itu mengangguk. "Iya nih. Sejam lagi aku ada janji sama pasien. Cuma satu orang, sih. Setelah itu paling ngerjain laporan yang tadi belum selesai." "Ya udah, deh. Aku pulang ya. Kapan-kapan aku bawain lagi makan siang buat kamu." Al mengangguk. "Sering-sering aja bawain aku makan siang. Biar aku nggak keluar uang buat beli makan," ujarnya terkikik. Luisa pun ikut terkikik. Gadis itu menenteng rantangnya. "Ya udah. Aku pulang dulu ya," pamitnya. "Aku antar!" ucap Al. Pria itu langsung berdiri. Mengambil kunci mobilnya yang dia letakkan di atas meja. "Loh... bukannya kamu harus kerja lagi? Jam makan siang udah abis kan?" tanya Luisa bingung. "Gapapa, kok. Lagi nggak ada pasien. Janji sama pasien masih satu jam lagi. Yuk aku anter!" ajak Al. Luisa tersenyum senang. Gadis itu mengikuti Al keluar ruangan dengan hati yang senang. Rejeki anak sholehah nih, batin Luisa girang. Bisa makan bareng Al. Dianter pulang lagi. Rejeki nomplok. *** Al memarkirkan mobilnya di halaman Klinik. Dia baru saja kembali dari mengantar Luisa pulang. Saat masuk ke dalam ruangannya, pria itu terkejut bukan main saat mendapati ibunya tengah duduk di sofa. Menunggunya dengan wajah masam. "Mama..." Wanita itu mendengus. "Dari mana kamu?" tanyanya sinis. Al berjalan menuju mejanya. Meletakkan kunci mobilnya di atas meja. Dan melepas jas dokternya. "Mama udah lama?" Wanita itu tersenyum masam. "Cukup lama buat nunggu kamu nganter gadis itu pulang," sindirnya. "Siapa dia?" Al menghela nafas lelah. Tidak lagi menghiraukan mamanya, pria itu beranjak duduk di kursinya. Kemudian menyalakan laptopnya. Mama Al merengut karena tidak digubris oleh putranya itu. Matanya menatap ke sekeliling. Menjelajah ruangan Al. "Jadi kamu menolak meneruskan bisnis Papa. Dan malah milih kerja di tempat kayak gini? Berapa sih gaji kamu? Emang cukup buat makan? Buat biaya hidup kamu?" ledeknya. Al diam. Tidak menyahuti ucapan mamanya. Pria itu fokus mengerjakan sesuatu di laptopnya. "Hasilnya berapa sih klinik kecil kayak gini. Paling juga nggak lebih banyak dari uang belanja Mama satu minggu," lanjut Mama Al. "Kalau Mama dateng kesini cuma buat ngeledek Al, mending Mama pulang. Atau nggak, Mama jalan-jalan ke Mall. Ngabisin duit belanja Mama. Al harus lanjut kerja. Nggak enak kalo ada pasien dan Mama ada disini!" ujar Al pada ibunya. Wanita itu melotot. Menatap Al kesal. "Kamu ngusir Mama?" hardiknya. Al menghela nafas panjang. Beranjak dari kursinya. Mendekati sang Mama yang sedang duduk di sofa. "Al nggak ngusir, Ma. Al memang harus kerja lagi. Jadi saran Al, mending Mama pulang," ujarnya pelan. Mama Al mendengus. Beliau buru-buru bangkit dari duduknya, menjauhi Al dan menuju pintu. "Terserah! Kamu sekarang udah berubah! Kamu udah jadi anak pembangkang! Kamu udah bukan anak kesayangan Mama yang dulu!" serunya marah. Al menggeleng pelan. "Al sayang sama Mama. Tapi ini adalah pilihan Al. Al udah besar, Ma. Al berhak menentukan pilihan Al sendiri. Al nyaman sama pekerjaan ini. Ini adalah cita-cita Al." "Ya udah. Sekarang kamu memang udah nggak peduli lagi sama Mama! Kamu bukan anak Mama lagi!" sentak Mama Al. Wanita itu pun berlalu keluar dari ruangannya. Membanting pintu dengan kencang. Membuat Al mendesah lelah. Pria itu memijit pelipisnya pelan. Entah sampai kapan dia harus mengalami ini. Dibenci oleh orang tuanya sendiri karena menolak menjalankan bisnis papanya. Dan malah memilih mendirikan Klinik Ibu dan Anak bersama sahabatnya, Salsa. Menanggung resiko dikucilkan dan dibuang oleh ayahnya. Tidak ada seorangpun yang mengetahui jika Al adalah putra seorang pengusaha sukses yang sering muncul di televisi dan majalah. Mereka lebih mengenal Al hanya sebagai Dokter Romeo yang baik dan rendah hati. Dan suka membantu pasien yang kesulitan untuk berobat. Dokter muda yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN