Luisa berjinjit. Berniat ingin melihat wajah sang bos baru. Gadis itu terdiam saat melihat wajah sang bos. Bersamaan dengan itu, si bos baru juga melihat ke arahnya.
Oh My God, batin Luisa saat melihat pria itu tersenyum padanya. Kenapa dia, batinnya bertanya-tanya.
Gadis itu ternganga melihat wajah bosnya. Astaga, sial sekali nasibnya. Kenapa harus pria itu yang menjadi bos barunya? Kenapa bukan orang lain saja sih, pikirnya.
Bukan karena apa-apa sih, bosnya itu tampan. Bahkan sangat tampan. Badannya tinggi besar. Tapi Luisa tidak suka pada pria itu. Pria itu sudah mengetahui aibnya.
Aib yang diakibatkan oleh keteledorannya beberapa waktu lalu. Sungguh Luisa sangat malu mengingatnya. Jika saja waktu bisa diputar, pasti Luisa memilih untuk tidak pernah pergi ke acara amal itu. Dan bertemu dengan pria itu.
Pria itu tersenyum menghampiri Luisa. Melambaikan tangannya ke arah gadis yang sedang menatapnya itu. "Hai! Kita ketemu lagi ya!" sapanya pada Luisa.
Sementara gadis itu tersenyum canggung. "I-iya," balasnya terbata.
Riska menyenggol lengannya. "Lo kenal sama Pak Raka Milan?" tanya Riska berbisik.
Luisa menoleh pada gadis itu sambil meringis. Mengangguk pelan.
Riska membulatkan matanya. "OMG! Lo kok nggak bilang gue sih!" bisiknya lagi.
"Dia cowok yang di acara amal waktu itu," lirih Luisa.
Riska menatap syok pada Raka. Bibirnya menganga tak percaya.
"W-what?! Gila! Beruntung banget lo bisa kenalan sama dia malem itu!" ujarnya pelan di telinga Luisa.
Luisa menggigit bibirnya saat Raka tersenyum melihatnya dan Riska saling berbisik. "Tapi gue malu, Ris. Dia tau pas gue jatoh di pesta waktu itu."
"Iya juga sih!"
Raka menatap geli pada dua gadis itu. Meskipun mereka saling berbisik, namun Raka masih bisa mendengarnya.
"Udah selesai?" tanyanya memutus aksi bisik-bisik dua gadis itu.
Luisa dan Riska tersenyum lebar menanggapinya. "Udah, Pak!" jawab mereka bersamaan.
Raka tertawa kecil. Menatap dua gadis itu bergantian. "Ya udah kalian buruan kembali ke ruangan kalian masing-masing!" perintahnya.
"Kenapa Pak?" tanya Riska bodoh.
Raka mengerutkan keningnya. "Kenapa? Kenapa apanya?"
"Kenapa Bapak suruh kita balik ke ruangan masing-masing?"
Raka terkekeh. Membuat gadis itu kebingungan. "Karena temen-temen kalian udah pada balik ke ruangan mereka masing-masing!" jawabnya santai.
Luisa dan Riska sontak menoleh ke sekelilingnya. Dan benar saja, semua teman-temannya sudah tidak ada disana. Rupanya mereka tidak sadar tinggal berdua di aula. Bertiga dengan Raka. Mungkin karena terlalu asyik berbisik-bisik.
Luisa meringis menahan malu. Sedang Riska tertunduk dengan muka merahnya. "M-maaf, Pak. Kami permisi dulu!" pamit Riska sopan.
Kemudian gadis itu pun langsung menarik tangan Luisa untuk segera pergi dari Aula kantor tanpa menunggu jawaban dari Raka terlebih dahulu.
Raka tersenyum geli melihat dua gadis itu. Dalam hatinya dia merasa senang karena bisa bertemu kembali dengan gadis cantik yang menarik perhatiannya di acara amal beberapa waktu lalu.
***
Al menurunkan kacamatanya. Lalu memijit hidungnya perlahan. Demi meredakan rasa pusing yang menyerangnya sejak sepuluh menit lalu. Dan membuatnya memutuskan berhenti menatap laptop. Setelah menyelesaikan pekerjaannya.
Diliriknya jam di atas meja kerjanya sudah menunjukkan pukul lima sore. Sudah cukup untuk hari ini. Tidak ada jadwal jaga di Klinik untuk beberapa hari. Dan dia cukup lega.
Bisa pulang lebih awal. Dan beristirahat di rumah. Suara ketukan pintu menghentikan aktifitasnya berkemas-kemas. Seorang gadis mungil muncul dari balik pintu.
"Sore Dokter Romeo! Udah mau pulang ya?" ujar Salsa dengan senyuman manisnya.
Al membalasnya dengan senyuman tipis. Tangannya bergerak melanjutkan kegiatannya tadi. "Iya dong. Kan aku nggak ada jadwal jaga buat empat hari ke depan."
Salsa mencembikkan bibirnya. Menatap Al sedikit kesal. "Terus kamu mau ninggalin aku sendirian gitu?"
Al mengerutkan keningnya. Alisnya terangkat. Menatap Salsa bingung. "Ya memang harus gitu kan? Yang giliran jaga kan kamu!" balasnya.
Salsa memajukan bibirnya. Gadis itu menunduk menatap lantai. Tangannya memilin ujung jas dokternya. Persis seperti anak kecil yang sedang ngambek minta mainan.
"Tapi kan, Al... "
"Apalagi?"
Salsa membuang nafas dengan kasar. Bibirnya yang tadi manyun semakin manyun. "Takut sendirian," rengeknya.
Al terkekeh. Mendekati gadis yang sedang merajuk itu. Menepuk kepalanya pelan. "Biasanya juga sendirian! Jangan lebay, deh."
Salsa berdecak. "Al mah....! Temenin kek!" rajuknya.
Al mendesah panjang. "Kan ada Suster Mia sama Suster Andita.
Ada Rahma juga, Kok. udah banyak kan temennya?"
"Ya tapi kalo sama kamu kan beda!"
"Beda apanya?"
"Ya beda pokoknya!"
"Sama aja!" balas Al.
Salsa cemberut, menatap Al kesal. "Kan mereka cewek. Nggak ada yang bisa ngelindungin aku kalo nanti seumpama ada penjahat masuk kesini," ujar Salsa beralasan.
Al mengetok kepalanya pelan. Menatapnya marah. "Jangan mikir yang enggak-enggak!" omelnya.
Pria itu menepuk-nepuk kepala Salsa. "Hilangin pikiran-pikiran buruk kayak gitu. Jangan bayangin yang buruk-buruk! Cukup berpikir positif aja! Lagian kan cuma empat hari kedepan kamu giliran jaga! Manja banget sih!" ujar Al.
Dicubitnya hidung Salsa sampai membuat gadis itu megap-megap kehabisan nafas. Al tertawa saat Salsa yang sudah berhasil melepaskan tangan Al dari hidungnya melotot marah.
"Aku pulang duluan ya?" pamitnya pada Salsa.
Gadis itu memasang muka sebalnya karena Al tak juga membatalkan niatnya untuk pulang cepat. "Kamu mau kemana sih sebenernya? Sampe tega banget nggak mau nemenin aku!" ucapnya marah.
"Nggak kemana-mana. Cuma mau pulang. Tidur yang nyenyak. Terus mimpi indah," balas Al sembari mengedip.
Salsa bersindekap d**a. Gadis itu melengos saat Al memasang senyum manisnya. "Nggak janjian sama cewek yang kemarin itu kan?" ketusnya.
Al pura-pura syok. Pria itu menarik dagu Salsa agar menghadap padanya. "Kok tau sih? Kamu punya bakat jadi dukun ya?" godanya.
Salsa memukuli d**a Al. Menyingkirkan tangan pria itu dari wajahnya. "Ngeselin ih!" seru Salsa marah. Gadis itu beranjak keluar dari ruangan Al dengan muka kesalnya.
Al geleng-geleng melihat tingkah Salsa. Gadis itu masih saja tidak bisa bersikap dewasa. Sepertinya sifat manjanya tidak bisa hilang meski sudah bukan gadis belia lagi.
Salsa berhenti sejenak sebelum menutup pintu. Menoleh pada Al dengan wajah juteknya. "Jangan jalan sama dia lagi! Awas kalo sampe aku tau!" ancamnya sebelum sepenuhnya keluar ruangan dan menutup pintu dengan kencang.
Al mendesah pelan. Membiarkan Salsa menghilang dari hadapannya dengan hati dongkol. Dia pun segera menyusul keluar. Ingin segera pulang dan beristirahat.
***
"Hai!"
Luisa terlonjak kaget saat seorang pria tiba-tiba berdiri si sampingnya. Gadis itu mengelus dadanya perlahan diikuti kekehan pria yang tadi menyapanya.
"Pak Raka," ucapnya.
Raka tersenyum. Menatap Luisa dari atas ke bawah. "Nggak nyangka ya kita bisa ketemu lagi. Ternyata kamu kerja disini toh. Kok nggak bilang waktu itu kalo kamu kerja disini?"
Luisa tersenyum tipis. "Emang kenapa kalo saya bilang kerja disini?"
"Kan kita bisa ketemu lebih cepet," jawab Raka.
Luisa tersenyum tipis menanggapi ucapan Raka.
"Kamu nunggu jemputan?" tanya Raka pada Luisa.
Luisa menggeleng. "Nunggu hujannya berhenti. Saya tadi lupa nggak bawa payung. Kan nggak mungkin kalo nunggu angkot di depan sambil hujan-hujanan," balasnya.
Raka manggut-manggut mendengar jawaban Luisa. "Mau saya antar? Sekalian saya pulang. Rumah kamu dimana?"
Luisa menggeleng cepat. "Nggak usah, Pak. Saya nunggu angkot aja!"
"Ini udah hampir magrib, loh. Jalanan udah macet banget. Apa nggak kemaleman kamu nyampe rumah?" ujar Raka.
Luisa terdiam. Kalau kemalaman sih, pasti. Kan ini sudah jam enam. Sudah satu jam dia diam disana menunggu hujan reda. Belum lagi nanti kalau macet.
"Kayaknya hujannya juga lama. Liat aja mendungnya. Gelap banget!"
Luisa mendongak menatap langit. Benar juga, sepertinya hujan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Jadi kemungkinan dia akan semakin lama disana.
"Udah nggak usah banyak mikir! Ikut saya aja! Saya anter kamu pulang!"
Luisa menghela nafas pasrah. Kalau dia tidak ikut, nanti tiba di rumah akan semakin malam. Kalau ikut, dia agak ragu. Duh, kenapa jadi seperti ini sih, batinnya.
Harusnya dia senang Raka mau mengantarnya pulang. Kan dengan begitu dia jadi semakin dekat dengannya. Jadi ada harapan dia bisa menggaet CEO muda itu. Dan mimpinya untuk memiliki jodoh kaya pun terwujud.
Tapi, kenapa sekarang dia malah jadi ragu? Selain gadis itu masih malu dengan insiden jatuhnya dia di pesta waktu itu, dia juga merasa ada yang janggal. Entah kenapa dia sudah tidak tertarik lagi pada sosok itu.
Karena di dalam bayangannya hanya ada satu sosok yang terus saja memenuhi pikirannya. Ternyata si dokter tampan itu sudah membangun dinding harapan Luisa dengan setinggi-tingginya. Hingga gadis itu tidak mampu berharap akan orang lain.
Hanya Romeo seorang yang dia inginkan. Ya, Romeo Al. Pria tampan dengan seluruh kelembutan dan kebaikannya. "Luisa?"
Luisa tersentak dari lamunannya. "I-iya Pak?" jawabnya terbata.
Raka tersenyum tipis. "Ayo saya antar!" ajaknya. Dan Luisa pun langsung mengangguk pelan. Mengikuti pria itu menuju tempat parkir khusus direktur.
***
Luisa mengangguk sembari melempar senyum tipisnya saat Raka berpamitan pulang. Gadis itu menatap terus mobil sport yang dikendarai Raka hingga hilang dari pandangan.
Suara pintu terbuka. Della muncul dengan muka masam. Menatap Luisa tajam. Luisa yang ditatap seperti itu pun kebingungan. Tidak tau apa salahnya sampai sepupunya mendelik seperti itu.
"Apa?" ujar Luisa pada Della yang masih melototinya.
"Darimana aja! Jam segini baru pulang?" tanya Della ketus.
Luisa mendengus. Menyingkirkan tubuh ramping Della dari pintu. Kemudian segera masuk ke dalam. Menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu.
"Kak Luisa! Kalo ditanya jangan diem aja kek!" seru Della.
Luisa berdecak. "Apaan sih, Dell. Kan tadi Kakak udah WA. Kakak makan malem sama temen," ujarnya pelan seraya memejamkan matanya.
"Temen siapa sih? Sampe dibela-belain pulang jam segini!"
Luisa melengos. Beranjak dari sofa menuju ke kamarnya. Tubuhnya lelah dan dia malas meladeni kekepoan sepupunya itu.
"Kak! Jawab dulu!" Della meraih tangan Luisa.
Luisa berdecak kesal. Menepis tangan Della dengan kasar. "Apaan sih, Dell! Bukan urusan kamu! Kakak mau pergi sama siapa kek. Pulang jam berapa bukan masalah kamu juga kan?" bentaknya.
"Tapi Kak Luisa udah buat Mas Al nunggu lama. Kasian dia nunggu berjam-jam biar bisa ketemu Kak Luisa. Tapi Kak Luisa malah nggak peduli!" seru Della marah. Gadis itu berkacak pinggang di depan Luisa.
Luisa diam mematung. Matanya membulat. Dia tidak salah dengar kan? Apa Della barusan menyebut Nama Al?
Luisa menoleh pada Della yang berwajah kesal. Melotot pada Luisa seolah ingin memakannya hidup-hidup. "Tadi kamu bilang apa? Al kesini?"
Della mendengus. Melengos tak mau menatap Luisa. Luisa memegangi bahu della. Membuat gadis itu berhadapan dengannya.
"Kamu bilang Al kesini?" ucap Luisa kencang.
Della hanya berdehem menjawab ucapan Luisa. Membuat kakaknya itu menutup mulutnya syok. Astaga! Al kesini dan dia tidak tau, pikirnya.
Luisa menggeram marah. Ini semua karena Raka memaksanya untuk mampir ke sebuah restoran dan mentraktirnya makan tadi. Padahal kan Luisa ingin pulang saja.
Lihat kan, akibatnya dia gagal bertemu Al. Luisa menepuk dahinya kencang. Gadis itu merasa geram dengan dirinya sendiri. Kenapa tadi tidak langsung pulang saja, batinnya. Dan malah mengikuti ajakan Raka untuk makan malam.
"Kamu kenapa nggak hubungin Kakak sih, Del? Seenggaknya bilang kek kalo ada Al!" serunya marah pada Della.
Della melotot menatap Luisa. Kenapa sekarang jadi dia yang disalahkan, pikirnya. "Suruh siapa tadi matiin hape pas Della telfon!" balasnya geram.
"Ya Kakak pikir kamu cuma iseng doang! Kan biasanya gitu. Kamu sibuk ngerecokin urusan Kakak! Makanya Kakak langsung matiin hp pas kamu telfon," balas Luisa frustrasi.
"Ya berarti bukan salah Della, dong! Kan Della udah coba hubungin. Kalo Kakak matiin ya itu salah Kakak sendiri!"
Luisa mendesah lelah. Gadis itu beranjak untuk duduk di kasurnya. Berkali-kali mengusap wajahnya frustasi. Dia ingin sekali marah. Tapi harus marah pada siapa?
Gagal bertemu Al kan karena salahnya sendiri. Della juga tidak bisa disalahkan karena sudah mencoba menghubunginya.
Suara dering ponsel Della terdengar nyaring. Karena dua manusia itu sama-sama terdiam. Sama-sama dongkol. Della merogoh sakunya. Mencari-cari ponselnya. Kemudian menjawab panggilan masuk di ponselnya.
"Hallo Assalamualaikum," suara Della yang tadi sengak saat berbicara dengan Luisa, mendadak berubah manis saat menerima telepon dari entah siapa.
"..."
"Iya, Mas. Udah kok."
"..."
"Iya. Mas nggak usah khawatir. Dia udah ada di rumah."
"..."
"Oke. Nanti Della sampein deh. Mas istirahat aja. Udah malem."
Luisa mengerutkan dahinya saat melihat wajah Della yang tersipu-sipu saat berbicara di telepon.
"Iya, Mas. Waalaikumsalam. Selamat malam juga, Mas Al. Dah..." ujar Della mengakhiri percakapannya dengan si penelepon.
Luisa mendelik menatap Della. Buru-buru gadis itu mendekati Della yang senyam-senyum mendekap ponselnya di d**a.
"Itu siapa yang telfon?" tanyanya.
"Mas Al," jawab Della singkat. Gadis itu masih senyum-senyum sendiri.
"Al? Al yang tadi kesini bukan?"
Della mengangguk. "Iya. Gebetannya Kak Luisa yang ganteng itu. Mamas Dokter Al," balas Della dengan semburat kemerahan di pipinya.
Luisa mendelik. Dia segera mencengkeram bahu Della kencang. "Kenapa kamu nggak ngasih telfonnya ke Kakak!" bentaknya.
Della menatap sebal pada kakak sepupunya itu. "Lah, emang kenapa aku harus ngasih telfonnya ke Kakak? Kan Mas Al nelfon aku, bukan Kakak!" ketusnya.
Luisa menggeram marah. "Tapi kan Kakak mau ngomong, Della!"
"Ya mana Della tau kalo Kakak mau ngomong sama Mas Al. Lagian ya, ini udah malem. Mas Al juga udah mau tidur!" ujar gadis itu bersungut-sungut.
"Terus kenapa kamu bisa punya nomer Al? Al kenapa bisa tau nomer kamu!"
Della berdecak. "Kan Della udah bilang. Tadi Mas Al kesini. Niatnya mau ketemu Kak Luisa. Tapi karena Kak Luisa belum pulang, Della temenin ngobrol. Ya terus kita tukeran nomer telfon deh!" jelasnya panjang lebar.
Luisa menganga tak percaya. Dia harus kena sial dulu berkali-kali untuk bisa mendapat nomer telepon Al. Dan Della dengan mudah mendapatkannya. Semudah mengedipkan mata.
Luisa merosot ke lantai. Gadis itu merengek-rengek seperti anak kecil yang ditinggal ibunya pergi. Memukuli kasur dengan kedua tangannya yang mengepal.
Marah, kesal, kecewa jadi satu. Harusnya dia bisa bertemu dengan Al hari ini. Tapi rupanya takdir tidak mengijinkannya. Luisa melampiaskan kemarahannya pada kasur empuk tak berdosa itu.
Sementara Della langsung berlalu keluar dari kamar Luisa. Tidak memperdulikan Kakak sepupunya yang meraung-raung sendirian.
"Dasar Adik durhaka!"