7. Keluhan Indira

1380 Kata
Selepas kepergian Pewita. Indira merasa sedikit lega. Dirinya tanpa sadar menghembuskan napasnya hingga menimbulkan gerakan bahu turun. Hal tersebut tentu saja tidak lepas dari pandangan Regar yang diam-diam menahan tawanya. Paula tiba-tiba berteriak, "Ngapain Kak Rara masih di sini!? Mau godain Daddy lagi ya!?" Gadis kecil itu langsung menghambur ke pelukan sang ayah yang tentu saja masih duduk di atas kursi roda. Sedangkan Indira terperanjat di posisinya berdiri. Ia sungguh tak menyangka jika yang berteriak barusan adalah Paula. Dari mana gadis sekecil dan sepolos Paula mengenal kata itu? Sungguh aneh. "Paula, tidak boleh berkata seperti itu? Siapa yang mengajari hm?" tegur Regar dengan tatapan dinginnya yang seketika langsung mengendurkan pelukan Paula padanya. Tidak ingin terjadi pertikaian kecil diantara keluarga kecil Regar. Dan Indira pun tak ingin tersangkut di dalamnya. Akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan pulang. Paula sendiri tak mempedulikannya. Entahlah.. kenapa lagi sikap si kecil itu? Mengapa moodnya sering berubah? Wajarlah. Masih masa kanak-kanak. Tingkat kelabilannya masih cukup baik. Dari angka satu sampai sepuluh, gadis kecil itu masih menempati angka satu. Hari minggu tak disia-siakan Indira untuk kembali memeluk para fansnya di dunia maya. Siang ini ia cukup antusias membuat sebuah tutorial make up untuk diunggah di akun Youtube-nya yang sudah jarang ia jamah sejak insiden Regar. Selepas itu ia hendak berniat untuk menyapa para followersnya melalui live video. Akan tetapi ia urung melakukannya, karena ponsel yang ada di tripod itu berbunyi nyaring. Menampilkan sebaris nama dan sederet angka. "Halo Ra?" "Iya Kenan. Ada apa?" Indira menahan emosinya yang tiba-tiba hampir meledak. Di telfon oleh putra gubernur seharusnya dapat menciptakan kebanggaan tersendiri dalam dirinya. Namun tidak dengan realita yang sesungguhnya. Nyatanya biasa saja. Sudah biasa... "Emang nelfon harus ada alasannya ya?" "Kalau nggak ada yang penting aku matiin. Sibuk!" Terdengar kekehan di seberang sana. Bukan kekehan karena kebahagiaan atau pun ada hal yang lucu. Melainkan kekehan mengejek. Indira hapal betul iru. "Nggak usah ngejek!" "Sibuk apa lo? Masak? Bersih-bersih rumah? Nggak mungkin.." "...sampai gajah ngelahirin anak tanpa belalai juga lo nggak mungkin jadi orang sibuk. Haha," lanjut Kenan dengan diakhiri tawanya yang meledak-ledak. Indira semakin malas saja dibuatnya. Ia pun tanpa aba-aba memutuskan panggilan sepihak. Sisi wanita dalam dirinya merasa diinjak oleh orang-orang. Ternyata selama ini cara orang memandangnya sama. Rata-rata mereka mengklaim bahwa Indira merupakan seorang wanita yang tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Ia tahunya hanya bermain sosial media dan bermake up-make up ria. Ia jelas tak terima. Indira berjanji pada dirinya sendiri bahwasannya kelak ia akan menepis semua perkataan orang padanya. Ia harus buktikan bahwa ia mampu! Karena ia sudah sangat tidak bersemangat untuk menyapa para fansnya melalui live video, Indira pun memutuskan untuk membereskan semua peralatannya membuat video tadi. Mulai dari melipat tripod hingga menata kembali make up - make upnya. Sesaat kemudian setelah ia lelah dan berbaring di kasur. Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi nyaring. Ia kesal! Kenan lagi - kenan lagi! "Halo!? Ada apa sih Kenan? Aku tuh sibuk!!" "Kenan? Sejak kapan nama saya berganti nama tidak berkelas itu?" Kedua bola mata Indira membulat. Ia mendudukkan dirinya dengan gerakan kilat. Lalu memicingkan matanya ketika melihat nama Mas Regar di layar ponselnya. Astaga! Cobaan apalagi ini!? "Y-ya Mas? Ada apa?" "Kamu hendak keluyuran nggak jelas sama anak gubernur itu? Jujur sama saya." Nada dingin Regar benar-benar membuat Indira tak berkutik. Ia menelan ludahnya susah payah. "Ee-ee nggak kok. Saya nggak kemana-mana!" "Ya sudah. Ke rumah saya. Paula minta diajarin PR-nya. Besok Senin harus sudah dikumpulkan." Indira mengulum senyumnya. Kemudian ia berkata, "Baiklah.." "Kamu terpaksa? Jika tidak ingin ya katakan tidak ingin. Jangan berkata baiklah tetapi hatimu tak-" "Saya ikhlas Mas. Saya berangkat sekarang." Klik. Indira mematikan panggilan suara itu. Entah mengapa hari ini orang-orang sangat menyebalkan. Indira langsung berganti pakaian dan berangkat ke rumah Regar. Sesampainya di rumah mewah itu. Mata Indira menyipit. Ia menerka-nerka. Mobil siapa yang sudah terparkir di depan rumah ini. Seingatnya, mobil Regar bukan yang ini. Apakah mobil lelaki itu baru? Cih, orang kaya selalu seperti itu. Bosan dengan mobil yang ini, sorenya beli baru. "Hai? R-rara?" "Saya panggil kamu Rara aja ya? Anak saya juga panggil kamu seperti itu 'kan?" Mencoba untuk tidak terkejut ketika pintu terbuka dan menampilkan pemandangan dimana Paula tengah belajar bersama mamanya. Indira mengulum senyuk tipisnya, "Iya Mbak. Panggil Rara nggak apa-apa." "Oke. Ada apa ke sini? Mau cari Daddynya Paula ya?" Pertanyaan Pewita membuat Indira mengerutkan dahinya. Sedangkan Paula sendiri yang mendengarnya langsung memberikan tatapan tidak sukanya pada Indira. Semakin buruk saja pandangan Paula pada Indira. Entahlah.. Indira merasa Pewita sengaja membuat Paula membenci dirinya. Astaghfirullah.. Indira segera mengenyahkan pikiran buruknya tentang wanita pandai, berkarier dan pastinya berattitude ini. Tidak mungkin Pewita melakukan hal rendahan seperti apa yang dipikirkan otaknya itu. "Nggak kok Mbak. Saya ke sini karena Mas Regar yang nyuruh. Beliau bilang, Paula minta diajarin mengerjakan PR," jelas Indira yang lantas mendekat pada Paula yang tengah duduk di lantai itu. "Hai Paula.." sapa Indira. "...." Gadis kecil itu cuek bebek. Seakan tidak peduli dengan kehadiran Indira. Indira hanya menghela napasnya. Pewita hanya diam saja dan tak mencoba untuk menegur putrinya. Setidaknya sebagai mama ia haruslah mengajarkan kebaikan. Toh demi putrinya juga.. "Sudah datang?" Suara itu berasal dari belakang ketiganya. Di sana Regar tengah berjalan mendekat dengan menggunakan tongkat. Iya, lelaki itu telah memutuskan untuk memaksakan kakinya agar tidak terlalu manja dan terus duduk di kursi roda. Mau bagaimana pun juga ia haruslah bisa berjalan kembali. Ia pun juga ingin segera kembali ke kantornya dan langsung mengurusi perusahaan yang selama beberapa hari ini di ambil alih oleh asisten kepercayaannya. Indira tersenyum, "Iya Mas." "Kamu sejak kapan di sini?" tanya Regar pada Pewita. Indira cukup lega ketika Pewita datang tanpa undangan. Ternyata wanita itu kemari karena keinginannya sendiri. Syukurlah.. "Sejak tadi. Si mbak nelfon, katanya Paula minta diajarin PR-nya sama saya. Jadi ya..saya ke sini. Lagian juga hari ini Minggu. Saya tidak bekerja." Regar hanya ber-oh ria. Ia menatap Indira dengan tatapan tak enak hati. Pasalnya tadi ia sendiri yang meminta Indira agar kemari karena Paula. Akan tetapi putrinya sendiri justru meminta si mbak untuk menelponkan mamanya. "Indira, kamu ikut saya." "Y-ya?" Indira sedikit terkejut. Namun ia tetap mengikuti Regar. Berjalan di belakang lelaki itu membuat Indira semakin dirundung rasa bersalahnya. Ia tak menyangka, akibat insiden itu. Orang lainlah yang menjadi korbannya. Karena merasa iba melihat Regar yang sepertinya memaksakan diri dan menahan sakitnya. Indira lantas mendekat dan meraih lengan Regar. "Saya bantu." "Tidak usah. Saya bisa kok." "Definisi bisa itu yang seperti menahan kesakitan ya Mas? Apa dengan memaksakan diri seperti ini, Mas kira akan sembuh? Saya justru khawatir kaki Mas akan semakin parah.." Tak berkutik karena Indira mengapit lengannya. Regar pun hanya menurut dan mengajak Indira ke belakang rumah. Di sana ada sebuah kolam ikan yang memang ia rawat. Mendudukkan dirinya di salah satu kursi kayu di sana, Regar pun menatap Indira yang masih berdiri dan mematung melihat pemandangan kolam ikan yang airnya cukup jernih itu. "Duduk." Hingga ucapan Regar membuyarkan ketakjubannya. Indira pun duduk di samping Regar. "Kenapa?" tanya Regar ketika Indira menundukkan kepalanya dan memilin ujung bajunya. Bukannya tak tahu dengan perasaan Indira, Regar hanya ingin wanita itu mengeluarkan keluhannya sendiri. "Mas? Mas percaya 'kan sama saya?" "Lima puluh persen." "Kok lima puluh persen saja!? Yang lima puluhnya?" Regar mengulum senyumnya, "nanti kalau sudah SAH menjadi istri saya." "Cih.." "Kenapa? Tidak mau?" "Saya nolak pun nggak akan bisa Mas. Toh dengan persetujuan saya atau pun tidak, kita tetap akan dinikahkan," kata Indira dengan tatapan lurus ke depan. Regar sendiri sedari tadi selalu mengamati Indira dari samping. Calon istrinya itu jika sedang kesal sangat cantik. "Sudah pintar rupanya. Makanya, kamu jangan keseringan jalan sama anak gubernur itu. Nggak baik. Kamu 'kan calon istri saya." "Hm." Hening. Namun Indira segera sadar. Ia hendak berkata sesuatu hal yang mengganggunya. "Mas, apa Mbak Pewita masih cinta sama Mas? Sepertinya beliau berusaha membuat Paula tidak suka terhadap saya.." "Saya tidak tahu. Akan tetapi, saya akui. Kehadiran kamu berhasil menumbuhkan kepedulian di diri mantan istri saya. Kemarin-kemarin, meskipun ia tidak sedang bekerja. Ia pasti akan menyiapkan seribu alasan untuk menolak datang kemarin. Bahkan hanya sekedar mengajak Paula bermain," ucap Regar panjang lebar. Indira sendiri merasakan betapa kecewanya Regar terhadap sikap Pewita yang seenaknya sendiri. "..dan saya ucapkan. Terima kasih untuk itu," lanjutnya. Indira sendiri justru tak mengerti untuk apa ucapan terima kasihnya. "Terima kasih karena kamu telah membuat Paula kembali merasakan kasih sayang ibu kandungnya." Senyum Indira merekah, "hm..sama-sama." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN