Davin dan Nana masih terjebak macet di mobil. Hujan deras terus mengiringi perjalanan mereka. Davin mencoba mengalihkan perhatian Nana dengan pertanyaan lain.
Jadi, Mbak Nana, boleh tanya nggak? Kenapa sih kelihatannya sedih banget dari tadi?
Nana menoleh, akhirnya menatap Davin untuk pertama kalinya dengan sedikit penasaran.
“Urusan pribadi, Davin. Nggak perlu dibahas.”
Davin pun tersenyum tipis, “Oke, fair enough. Eh, ngomong-ngomong, gimana kalau kita mampir dulu ke restoran? Aku sebenarnya belum makan sama sekali dari rumah.”
Nana berpikir sejenak sebelum akhirnya setuju, “Ya sudah, mampir dulu aja.” Mereka melajukan mobil ke restoran terdekat. Setelah parkir, keduanya turun dari mobil.
Nana berdiri di luar mobil, memandang sekeliling, “Aku akan menunggu bus disini dan melanjutkan perjalanan. Terima kasih ya, Davin.”
Davin langsung merespons dengan cepat, “Eh, jangan! Aku nggak jadi makan deh. Mendingan kamu masuk lagi ke mobil, nanti aku antar sampai tujuan.”
Nana merasa kesal, “Katanya kamu belum makan, ya sudah makan dulu aja. Aku akan pergi.”
Davin bersikeras, “Nggak apa-apa, Mbak Nana. Aku benar-benar ingin mengantarmu sampai tujuan.” Sebenarnya ada rasa takut dalam diri Davin. Takut Nana bunuh diri seperti saat ia pertama kali bertemu dengannya.
Nana akhirnya menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain, “Oke, aku akan menunggu kamu makan dulu. Setelah itu kita lanjut.”
Davin tersenyum, merasa senang karena Nana akhirnya setuju. Mereka masuk ke dalam restoran.
Di Restoran, Davin dan Nana sudah duduk di sebuah meja di restoran. Seorang pelayan datang dan membawa buku menu. Pelayan itu memberikan buku menu pada Davin
Davin berkata kepada pelayan setelah membuka-buka buku menu, “Saya pesan nasi goreng spesial dan jus jeruk. Untuk Mbak Nana?”
Nana menggeleng pelan, “aku tidak mau pesan makanan. Aku minum teh tawar saja.”
Pelayan mencatat pesanan dan pergi. Davin menatap Nana dengan penuh perhatian, “Mbak Nana, yakin nggak mau pesan makanan atau camilan? Aku traktir kok.”
Nana tersenyum tipis, menggeleng lagi, “Nggak, terima kasih. Aku nggak lapar.”
Davin akhirnya mengangguk dan tidak memaksa, “Oke deh, kalau begitu. Tapi kalau nanti berubah pikiran, bilang aja ya.”
Nana hanya mengangguk pelan.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. Davin mulai menikmati nasi gorengnya dengan lahap, sementara Nana hanya menyesap teh tawarnya. Davin terus mencoba membuka obrolan untuk membuat suasana lebih nyaman.
“Jadi, mbak Nana, kamu sering ke puncak?” Tanya Davin.
Nana menggeleng pelan, “Nggak sering. Ini juga karena ada keperluan penting.”
Davin menjawab setelah menghabiskan makananya di dalam mulut, “Oh, begitu. Semoga urusannya lancar ya.”
Nana hanya mengangguk lagi. Davin bisa merasakan suasana hati Nana yang sedang tidak baik, tapi ia tidak ingin memaksakan diri untuk mencari tahu lebih banyak. Mereka melanjutkan makan dalam keheningan, hanya diiringi suara hujan yang terus turun di luar.
Setelah Davin selesai makan, mereka bersiap untuk kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
Saat akan masuk ke dalam mobil, Nana bertanya sesuatu pada Davin dan itu membuat Davin tersenyum.