Kenzi berdiri di sudut butik, melihat Shakira yang sibuk mematut-matut diri di depan cermin dengan gaun termahal yang dipilihnya. Kenzi bergumam dalam hati.
“Apa aku batalkan saja ya pernikahanku ini? Aku merasa Shakira banyak mau sekali. Dia terus menguras tabunganku. Ini bukan seperti yang aku bayangkan…”
Tanpa Kenzi sadari, Shakira mendekati dari belakang. “Kak Ken, kamu bilang apa?”
Kenzi terkejut dan berusaha cepat-cepat mengendalikan diri, “Oh, nggak apa-apa, Shakira. Aku cuma mikir tentang persiapan lainnya.”
Shakira tersenyum manis, memeluk Kenzi dari samping, “Kak Ken, tenang saja. Aku akan memastikan semuanya sempurna untuk kita. Aku yakin kamu akan bangga pada pernikahan kita nanti.”
Kenzi tersenyum kaku, mencoba menyembunyikan kegelisahannya, “Iya, aku tahu. Kamu memang selalu punya selera yang bagus.”
Shakira menggoda, dengan wajah ceria, “Jangan cemberut begitu, Kak Ken. Semua ini demi kebahagiaan kita.”
Kenzi mengangguk pelan, berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk terus maju dengan keputusan yang telah diambil, meski dalam hatinya masih ada keraguan yang besar.
Setelah membayar gaun yang dipilih Shakira, Kenzi dan Shakira keluar dari butik. Mereka masuk ke dalam mobil Kenzi dan melaju meninggalkan butik.
Shakira mulai bersuara, “Kak Ken, nanti malam kita makan malam yuk. Ada tempat baru yang bagus banget, aku pengen ajak kamu ke sana.”
Kenzi Menghela nafas pelan, tetap fokus menyetir, “Maaf, sayang, tapi nanti malam aku ada acara makan malam yang diadakan kantor. Aku gak bisa makan malam denganmu.”
Shakira merajuk, dengan wajah cemberut, “Tapi aku pengen banget makan malam bareng Kak Ken. Kenapa gak bisa sih? Aku ikut aja deh ke acara kantormu.”
Kenzi menggelengkan kepala, berusaha memberi penjelasan dengan sabar, “sayang, acara ini khusus untuk karyawan. Lagipula, ini rapat penting, bukan sekadar makan malam. Aku gak bisa bawa tamu.”
Shakira menyilangkan tangan, masih merajuk, “Hmph, tapi aku kan calon istrimu, Kak Ken. Masa aku gak bisa ikut sih?”
Kenzi menyentuh tangan Shakira dengan lembut, mencoba menenangkannya, “Aku tahu, sayang. Tapi tolong pahami, ini acara resmi dan penting. Kita bisa makan malam bareng di lain waktu, oke?”
Shakira menatap Kenzi dengan mata penuh harapan, “Janji ya, Kak Ken. Kita makan malam bareng besok?”
Kenzi tersenyum kecil, mengangguk, “Janji. Besok kita makan malam bareng. Sekarang, coba tenang ya.”
Shakira akhirnya mengangguk, meski masih sedikit cemberut, ia menerima penjelasan Kenzi dan memutuskan untuk tidak memaksa lagi. Kenzi terus melajukan mobilnya, merasa lega karena situasi mereda, meski dalam hatinya masih ada keraguan tentang hubungan mereka.
Namun kelegaan Kenzi tak berlangsung lama, Shakira Menanyakan Lokasi Makan Malam Kenzi. Shakira masih penasaran tentang acara makan malam Kenzi. Mereka masih dalam perjalanan, dan Shakira kembali bertanya.
“Kak Ken, makan malam kantor itu di mana sih? Restorannya di mana?”
Kenzi tanpa ragu, menatap jalan di depan dengan tenang, “Di restoran Le Grandeur, di pusat kota.”
Shakira mendengar nama restoran tersebut, Shakira tersenyum kecil, tampak berpikir sejenak, “Oh, di situ ya. Restoran itu memang bagus.”
Kenzi mengangguk, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang dan santai, “Iya, memang tempatnya bagus dan pas untuk acara formal seperti ini.”
Shakira diam sejenak, lalu tersenyum cerah, “Oke deh, Kak Ken. Besok jangan lupa ya, kita makan malam bareng.
Kenzi tersenyum kecil, mengangguk lagi, “Pasti, sayang. Besok kita makan malam bareng.”
Shakira terlihat puas dengan jawaban Kenzi, dan mereka melanjutkan perjalanan dengan suasana yang lebih tenang. Kenzi merasa lega karena situasi sudah kembali terkendali, meskipun masih ada rasa khawatir di dalam hatinya.
Sementara di tempat lain, di puncak. Nana keluar dari mobil Davin, melihat hamparan kebun teh yang luas di hadapannya. Udara sejuk menyentuh wajahnya, namun hatinya merasa gelisah. Davin ikut keluar dari mobil dan mendekati Nana.
Davin pun bertanya, “Mbak ke sini untuk ke kebun teh ini?”
Tanpa melihat ke arah Davin, Nana menjawab dengan suaranya terdengar pelan dan sedikit kecewa, “Bukan. Aku kemari untuk mendatangi panti asuhan. Tapi tidak ada di sini. Apa alamat yang diberikan ibu salah?”
Davin mendekati Nana, menawarkan bantuan dengan nada lembut, “Bagaimana kalau kita tanya warga sekitar?”
Nana menatap Davin sejenak, lalu mengangguk, “Baiklah. Sepertinya memang seharusnya begitu.”
Davin mengajak Nana berjalan, dan keduanya menuju sebuah warung kecil yang tak jauh dari sana. Nana langsung menanyakan panti asuhan yang seharusnya ada di alamat itu. Pemilik warung, seorang pria paruh baya, menjawab dengan ramah.
“Panti asuhan itu sudah pindah karena tanahnya adalah tanah sengketa,” jawabnya.
Nana bertanya dengan nada cemas dan penasaran, “Pindah kemana, Pak?”
Pemilik Warung pun menjawab, “Saya tidak tahu, Nak. Sudah lama mereka pindah. Sepertinya sudah sepuluh tahun yang lalu.”
Nana dan Davin mengucapkan terima kasih, lalu pergi dari warung itu. Nana berjalan dengan perasaan lesu, kakinya terasa berat. Ia sangat berharap bisa tahu tentang jati dirinya, namun harus pulang dengan tangan kosong.
Davin menyadari kekecewaan Nana, mencoba menghibur, “Jangan putus asa, Mbak Nana. Mungkin kita bisa cari informasi lebih lanjut di tempat lain.”
Nana menunduk, menghela napas panjang, lalu menatap Davin dengan mata berkaca-kaca, “Terima kasih, Davin. Aku hanya... sangat berharap bisa menemukan sesuatu hari ini.”
Davin tersenyum lembut, berusaha memberikan semangat, “Kita pasti akan menemukannya. Jangan khawatir, kita akan terus mencari sampai ketemu.”
Nana merasa sedikit terhibur dengan kata-kata Davin. Keduanya kembali menuju mobil, dengan Nana yang masih berusaha memproses kekecewaannya.
Nana dan Davin masih berdiri dekat mobil.
Tiba-tiba Nana berkata, “Aku akan pulang sendiri ke kota.”
Davin langsung berseru, “tidak! Aku akan mengantarmu.”
Nana menolak dengan nada tegas, “Maaf, aku tak mau merepotkanmu. Kita baru dua kali bertemu dan aku sudah sangat-sangat merepotkanmu.”
Davin menjawab dengan tenangnya, “Tidak apa-apa, Mbak.”
Di saat bersamaan, sebuah mobil menepi. Nana memperhatikan mobil itu sementara Davin terlihat tidak kaget dengan mendekatnya mobil itu. Tak lama kemudian seorang lelaki muda dan perempuan muda keluar dari mobil itu.
Lelaki Muda itu berseru, “Davin! Kamu di sini ternyata! Ayo buruan ke villa, yang lain sudah menunggu!”
Davin menjawab dengan santainya, “Aku nggak jadi kesana deh. Aku ada urusan.”
Lelaki Muda melihat ke arah Nana dan bertanya, “itu Pacar lu? Ajak aja!”
Davin pun langsung menjawab, “Belum. Kami belum pacaran.” mendengar ucapan Davin Nana langsung angkat suara dengan nada tegas, “Bukan belum tapi bukan.”
Lelaki Muda itu pun mengangguk lalu berkata pada Davin, “Kamu harus tetap datang, Vin. Ga ada lu ga akan rame. Kan yang bayar vilanya lu. Jangan merusak acara dong. Ah lu ini!”
Davin menghela napas dan berkata pada temannya, “Aku mau bicara dulu dengannya.” sambil melirik Nana
Lelaki Muda itu pun mengangguk.
Davin mengajak Nana menjauh dari temannya dan perempuan yang sejak tadi hanya diam saja.
Davin berkata, “Mbak, bisa ga ikut aku dulu. Hanya sebentar. Aku ada acara. Ini acara reuni dengan teman SMA ku. Sudah jauh-jauh hari sebenarnya merencanakan ini.”
Nana pun menjawab, “Aku pulang sendiri saja. Di sini aku lihat ada bis lewat.”
Davin memohon, “Hanya sebentar setelah itu aku langsung kembali ke kota untuk mengantar Mbak.”
Nana merasa kesal pada Davin, ia pun berkata dalam hati, “Kamu sangat pemaksa sekali. Tapi kalau aku terus berdebat denganmu takut jadi perhatian temanmu.”
Nana akhirnya setuju, merasa tidak ada pilihan lain.
Nana menjawab, “Baiklah.”
Mereka pun masuk kembali ke mobil dan menuju villa tempat teman-teman Davin sudah menunggu. Sepanjang perjalanan, Nana berusaha tenang meski hatinya masih merasa kesal dan cemas. Davin fokus menyetir, sesekali melirik Nana dengan perasaan bersalah.
Davin berkata, “Maaf, Mbak Nana. Aku janji akan mengantarmu pulang setelah ini.”
Nana hanya mengangguk pelan, berharap waktu di villa tidak akan lama dan ia bisa segera kembali ke kota.
Saat di dalam mobil Davin menawarkan sesuatu yang membuat Nana terkejut.