Syabil tersentak mendengar kalimat terakhir yang diucapakan Inara. Tidak ada niatan sedikit pun di pikirannya untuk mempermainkan pernikahan ini walaupun terjadi dengan tiba-tiba.
“Cerai?” tanya Syabil ingin lebih memastikan permintaan Inara.
Inara mengangguk mantap. Ia dengan wajah tanpa beban, tersenyum lebar.
“Nggak harus sekarang. Dua tahun lagi pas aku wisuda, nggak pa-pa.”
Syabil membeliak. Ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis di hadapannya itu. “Aku nggak mau.”
“Hah?! Kamu jangan egois gitu, Bil.”
“Nggak salah aku yang egois, Na?”
Inara terdiam. Ia memang menyadari bahwa permintaan itu adalah bentuk keinginan pribadinya.
“Aku nggak bisa menjalani pernikahan tanpa cinta,” ungkap Inara lirih.
“Menikah itu berproses. Termasuk masalah cinta.”
Inara mendesah pelan. Laki-laki di hadapannya ternyata begitu sulit dipengaruhi. Tidak seperti bayangannya.
“Aku nggak sanggup pokoknya. Aku mau minta cerai. Titik!”
Syabil menghela napas dalam. Tugas pertama sebagai suami sudah di depan mata. Ia harus bisa mengimbangi sikap keras kepala Inara.
“Pernikahan kita memang terbilang tidak seperti biasanya yang terjadi. Tapi, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Jika ijab kabul sudah terjadi, itu artinya kamu jodohku.”
Mata Inara membesar, ia tercengang mendengar ucapan Syabil. Darah rasanya sudah naik ke ubun-ubunnya.
“Nggak bisa gitu! Pokoknya nanti aku mau cerai!”
“Aku nggak mau,” Jawab Syabil santai. Ia lalu merebahkan tubuhnya. Posisinya telentang dengan tangan bersedekap. Syabil mulai memejamkan matanya.
Cerai?
Syabil menghela napas panjang. Satu kata itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Sekali kalimat kabul terucap dari bibirnya, ia akan menjaganya hingga nyawa berpisah dari raga.
Inara masih melongo mendapati respon Syabil. Seraya memekik tertahan, ia lalu memukul bantal berkali-kali untuk melampiasakan amarahnya. Bantal guling ia taruh di tengah ranjang. Inara pun ikut merebahkan tubuhnya dengan posisi memunggungi suaminya. Gadis itu memeluk selimutnya erat. Walaupun emosi masih menguasainya, tetapi matanya sudah sangat berat untuk terbuka. Perlahan Inara mulai memejamkan matanya.
Syabil melirik ke samping kanan. Ia tersenyum melihat tarikan napas Inara yang mulai teratur pada punggung. Laki-laki yang sudah berstatus suami itu memiringkan tubuhnya. Lengkungan bibir ke atas masih menghiasi wajahnya. Ia terus menatap sosok yang tidur lengkap dengan kerudung.
Yaa Allah, jadikanlah keluarga hamba sakinah mawaddah wa rahmah. Aamiin.
***
Inara mengerjapkan mata. Terdengar suara azan dari masjid sebelah rumah. Ia menggeliat, berusaha mengusir kantuk yang masih menghinggapi matanya. Kenikmatan rumah dekat masjid, tidak perlu alarm untuk bisa salat Subuh tepat waktu.
Perlahan, Inara menyibak selimut yang menutupi tubuh.
“Tumben ini selimut akur, biasanya bangun tidur udah nggak karuan.”
Inara bergumam dan terheran sendiri. Sedetik kemudian, ia tersentak.
“Syabil!”
Tergesa, Inara memeriksa piama yang dipakainya begitu juga dengan kerudungnya. Kancing masih tertutup rapi, celana pun masih melekat di tubuhnya. Ia mengusap d**a, bersyukur apa yang dipikirkannya tidak terjadi.
“Kemana orang nyebelin itu? Eh, emang aku pikirin. Semoga dia nggak balik lagi,” gumam Inara sambil membuka pintu kamar, kemudian menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur.
Pintu kamar mandi masih tertutup. Bu Ahmad sedang menggunakannya. Inara pun menunggu sambil duduk di bangku plastik. Tidak lama kemudian sang ibu keluar.
“Handukmu mana, Na?” tanya Bu Ahmad heran.
Inara mengernyitkan kening.
“Di jemuran, Bu,” jawab Inara sambil masuk ke kamar mandi.
“Loh, mau mandi kok, nggak bawa handuk, piye toh, Nduk?”
“Siapa yang mau mandi? Cuma mau wudhu aja.”
Bu Ahmad mengetuk pintu kamar mandi yang sudah ditutup. Ia heran dengan sikap sang putri.
“Apalagi, Bu? Aku kebelet pipis, nih.”
“Kamu itu gimana sih, Ra? Kalau mau salat itu ya harus mandi wajib dulu. Nggak sah kalau cuma wudhu aja.”
Inara melongo mendengar penjelasan Bu Malik. Ia sudah tidak tahan untuk buang air kecil.
“Bu, Inara bisa ngompol, nih. Nanti aja habis wudhu ya, jelasin lagi,” pinta Inara sambil menutup pintu.
“Eh, Nduk. Penting ini, jangan sembarangan. Ibu mau ngajarin kamu.”
“Dari kecil Inara udah bisa mandi sendiri, Bu. Jangan khawatir,” jelas Inara dari kamar mandi.
Bu Ahmad gemas dengan jawaban sang anak. Beliau mengurungkan niat untuk shalat berjamaah di masjid. Wanita paruh baya itu tidak mau putrinya salah melakukan ibadah. Bu Ahmad dengan sabar menanti Inara di depan pintu.
“Nduk, duduk dulu dengerin ibu,” titah Bu Ahmad saat Inara baru membuka pintu.
Inara menuruti perintah ibunya.
“Syabil tadi itu keramas. Lah, kok kamu nggak mau keramas?”
Gadis itu menautkan kedua alis. Ia bingung ibunya tiba-tiba membahas Syabil yang mandi subuh.
“Emang kenapa kalau dia keramas terus aku enggak?”
Bu Ahmad menghela napas dalam. Ia pun menggelengkan kepala melihat tingkah putri bungsunya.
“Nduk, kalau kita habis berhubungan sama suami itu, harus mandi wajib saat mau salat.”
Inara tercengang mendengar ucapan Bu Ahmad. Ia pun beranjak dari kursi, kemudian berlalu meninggalkan sang ibu yang bingung.
“Inara nggak ngapa-ngapain sama Syabil, Bu!” pekik Inara dari dalam kamar.
Bu Ahmad tergelak mendengar penjelasan Inara. Ia maklum, sepasang pengantin pengganti itu tentu tidak berpikir hingga masalah malam pertama.
“Maafkan Ayah sama ibu, Nduk,” gumam Bu Ahmad dengan mata berkaca-kaca.
****
Pak Ahmad dan Syabil pulang dari shalat berjamaah di masjid. Laki-laki paruh baya itu kembali ke kamar, tubuhnya terasa penat setelah acara kemarin. Syabil pun menuju kamar Inara. Ia sebenarnya bimbang untuk kembali ke sana.
“Pasti Inara udah bangun,” gumam Syabil sambil berdiri di depan pintu kamar.
Laki-laki berwajah bersih itu mengacak rambutnya yang masih basah. Ia merasa canggung ketika harus berdua dengan wanita di dalam ruangan, sekalipun Inara sudah menjadi istrinya. Akhirnya, Syabil pun memutuskan masuk. Saat pintu baru terbuka, ia tergemap. Hatinya berdesir melihat Inara yang sedang menyisir rambut panjangnya.
“Ngapain di sana?” tanya Inara heran saat mendapati Syabil berdiri mematung menatapnya lekat. Ia pun melanjutkan menyisir rambut lurus sepinggang tersebut.
“Oh, enggak.”
Syabil menuju ranjang sambil membawa tas punggung yang dibawanya dari rumah. Ia mengambil Al Quran kecil bersampul hijau tua. Lantunan ayat suci mulai terdengar dari bibir yang tidak pernah tersentuh gulungan tembakau kering tersebut.
Inara menghentikan aktivitasnya. Hatinya menghangat mendengar suara Syabil kembali melantunkan surat Ar Rahman. Ia teringat akan para qari yang sering muncul di channel YouTube. Suara Syabil memang tidak sama dengan mereka, tetapi suara laki-laki itu terdengar merdu di telinganya. Ia begitu khidmat menyimak sambil memejamkan mata dengan kedua ujung bibir sedikit tertarik ke samping.
Syabil tersenyum penuh kelegaan melihat pantulan wajah Inara dari cermin besar di atas meja. Ia akhirnya bisa melihat senyum tipis istrinya untuk pertama kali.
Inara memukul kepalanya pelan. Ia merutuki diri kenapa terhanyut oleh suara laki-laki yang masuk dalam daftar blacklist-nya sejak kecil.
“Kenapa? Sakit kepala?” tanya Syabil seraya menutup Al Quran. Ia terkekeh melihat tingkah Inara barusan.
“Bukan urusanmu,” jawab Inara sinis. Ia beranjak dari kursi. “Kamu ngapain pakai keramas pagi-pagi?”
“Emang kenapa?”
“Ibu jadi mikir aneh-aneh.”
Syabil tergelak mendengar penuturan Inara. Namun, tawanya terhenti saat Inara menuju ranjang tempatnya duduk. Ia merasakan detak jantungnya terasa lebih cepat saat melihat istrinya yang tanpa mengenakan kerudung, hanya mengenakan kaos oblong dan celana pendek selutut. Rambut hitam panjang kontras dengan warna kulitnya yang bersih. Inara bagaikan bidadari bermata jeli bagi Syabil.
“Aku pingin bahas yang semalam.”
“Mau cerai?”
Inara mengangguk mantap. Ia berharap Syabil mau menyetujui rencananya.
“Nggak harus sekarang. Dua tahun lagi setelah aku wisuda juga nggak pa-pa.”
“Astagfirullah, Inara. Kamu istigfar coba. Cerai itu memang halal tapi dibenci oleh Allah. Kamu mau dibenci sama penciptamu sendiri?”
Inara tersentak. Ia tidak menyangka Syabil akan berucap seperti itu.
“Kamu mau menjalani pernikahan tanpa cinta ini?” tanya Inara sambil menatap tajam Syabil.
Laki-laki di hadapannya terdiam. Inara menyeringai. Ia tertawa kecil dengan nada sinis.
“Kenapa diam? Nggak bisa, ‘kan? Makanya cerai aja.”
Inara masih bersikukuh meminta Syabil mengiyakan rencananya.
“Baiklah,” ucap Syabil singkat. Inara tersenyum dengan mata membulat. “Kita coba jalani pernikahan tanpa cinta ini dengan baik.”
Senyuman yang sempat terlukis di bibir Inara seketika menghilang. Gadis itu melemparkan bantal ke arah Syabil. Ia sungguh jengkel dengan sikap keras kepala laki-laki yang ingin terus mempertahankan pernikahan mendadak ini.
Ponsel Inara berdering. Tertera nama Kopma Arfa di layar. Gadis itu bergegas mengangkatnya. Ia pun berlalu ke luar kamar. Inara mencari tempat yang sepi agar bisa berbincang sepuasnya dengan gebetannya itu.