“Ngapain kamu di sini?!” pekik Inara yang sontak duduk begitu melihat sosok Syabil di hadapannya.
“Aku mau tidur,” jawab Syabil berusaha santai.
“Enggak boleh! Keluar dari kamarku cepat!”
Inara mendorong Syabil yang masih berbaring. Kekuatan gadis bertubuh mungil itu begitu besar. Tidak diragukan lagi untukpemilik sabuk kuning melati coklat dua yang dengan satu kali dorongan bisa menjatuhkan Syabil ke lantai.
“Aduh!”
Wajah Syabil terlihat meringis. Ia mengusap lengan kirinya. Pemuda itu terus mengaduh.
“Cowok kok lemah. Gitu aja masa kesakitan.”Inara mengerucutkan bibirnya sambil membuang muka. Namun, ia penasaran dengan rintihan Syabil. Dirinya merasa bersalah sudah membuat sakit pemuda itu.
“Sakit banget, Na. Patah kayanya tulangku.”
“Dasar lebay! Emangnya jatuh dari lantai enam?”
“Nggak bisa gerak nih, Na. Gimana aku mau keluar?”
Syabil terus memegang lengannya. Ia memejamkan matanya dengat raut wajah masih kesakitan.
“Beneran?” tanya Inara memastikan.
Syabil mengangguk sambil membuka matanya sedikit. Ia tersenyum tipis saat mendapati Inara beranjak dari ranjang. Ia kembali memejamkan mata saat istrinya mendekat.
“Mana yang sakit?”
“Ini,” ucap Syabil sambil meringis.
“Beneran nggak bisa bangun sendiri?”
Syabil mengangguk. Helaan napas Inara yang panjang terdengar.
“Ya, sudahlah. Ayo kubantu bangun.”
Syabil terperanjat saat tangan gadis itu menyentuh lengannya. Seolah ada aliran listrik yang menghampirinya. Inara membantu Syabil naik ke ranjang kembali.
“Terima kasih, Na.”
“Aku yang harusnya minta maaf,” ucap Inara dengan wajah tertekuk. “Istirahat aja.”
Syabil mengangguk mantap. Gadis itu berlalu dari sampingnya. Pemudaitu berpikir bahwa Inara akan keluar kamar. Namun, ia tergemap saat mendapati istrinya ikut berbaring.
“Awas kamu macam-macam. Jurusku nggak tanggung-tanggung bakal keluar.”
Inara mengepalkan tangan ke arah Syabil. Pemuda yang berstatus suami itu hanya terkekeh.
“Jangan ganggu lagi. Aku ngantuk berat,” jelas Inara sambil membelakangi Syabil.
Syabil tersenyum lebar. Aktingnya saat pura-pura kesakitan, sukses. Ia akhirnya tetap berada di atas ranjang dengan seprei berwarna fuschia tersebut. Bukan untuk tidur, tetapi memandang punggung sang istri yang sudah terlelap dengan napas yang naik turun secara teratur.
***
Inara masih memandangi wajahnya di kamera ponsel sementara Zahra sedang sibuk mengganti kerudungnya yang akan dipakai untuk resepsi.
“Cantik banget kok, Mbak Inara,” celetuk Zahra yang ditanggapi dengan senyuman malu-malu gadis yang bercita-cita sebagai guru itu. “Serasi sama suaminya.”
Inara tersentak. Kalimat terakhir Zahra dirasakannya merusak moodnya.
Masa iya aku serasi sama dia? Gantengan Arfa, deh.
Inara sibuk berasumsi dalam hati. Ia tidak menyadari bahwa Syabil yang sedang bersandar di atas ranjang tengah menatapnya lewat cermin besar. Laki-laki berambut lurus itu menyunggingkan senyuman berulang kali.
“Sudah selesai, sekarang kita ganti gaun dulu.”
Zahra dibantu asistennya mengambil gaun berwarna pink dari koper. Ia lalu memakaikan ball gown tersebut pada badan Inara yang sudah memakai furing warna senada dan legging. Sentuhan terakhir, Zahra memasangkan kerudung berenda dengan panjang hingga mata kaki. Tidak lupa ia sematkan tiara di atas kepala pengantin wanita.
“Alhamdulillah, selesai.”
Inara berdecak kagum di depan cermin. Ia terlihat sangat elegan dan memesona bagaikan putri raja.
“Aku suka, Mbak. Terbaik pokoknya Mbak Zahra.”
Inara terus memainkan gaun bagian bawah sehingga ia tidak menyadarai, kamera ponsel Syabil sedang mengarah padanya. Pemuda itu tersenyum puas memandangi wajah ayu istrinya. Hasil candid semakin menambah keanggunan gadis berusia dua puluh tahun tersebut.
“Pengantin laki-lakinya ganti yang ini, ya,” ujar Zahra sambil menyerahkan tuxedo berwarna hitam ke Syabil. Laki-laki berambut lurus itu menagngguk sambil tersenyum. Perias itu pun keluar kamar bersama asistennya. Hanya tertinggal Syabil dan Inara di kamar.
Syabil segera melepas kaos oblong yang dikenakannya. Namun, baru sampai d**a, terdengar teriakan Inara.
“Jangan di sini!”
“Kenapa?” tanya Syabil bingung.
“Ada aku, nggak lihat?”
“Lihatlah. Cantik gitu.”
“Apa?” tanya Inara memastikan apa yang didengarnya.
Syabil menggeleng sambil terkekeh. Ia melanjutkan melepas kaosnya.
“Syabil p***o!” pekik Inara sambil menutup wajahnya. Sang suami sontak tergelak mendapati tingkah gadis itu. “Udah belum?”
“Belum, masih lama. Buka aja. Kamu nggak pingin lihat?”
“Enggak mau!”
“Ya sudah, sabar. Tutup mata aja sampai capek. Aku kalau pakai baju tumpuk banyak gini lama, loh.”
“Biarin, deh.”
Inara yang duduk di tepi ranjang, masih tetap memejamkan mata sambil menutup wajah. Syabil bergegas mengganti pakaiannya. Ia menemukan pose yang bagus dari gadis di hadapannya itu. Laki-laki itu bergegas menyalakan kamera ponsel. Tangkapan gambar saat Inara memperlihatkan lukisan henna semakin terliha estetik.
“Sudah.”
Inara menghela napas pendek begitu Syabil memberitahukan kalau sudah selesai berganti pakaian.
“Lama banget. Sampai pegel tanganku. Kamu ganti apa tidur?”
“Aku nari tadi.”
“Hah?”
Inara terlihat terkejut dengan pernyataan Syabil. Gadis itu mengerutkan keningnya.
“Nggak lihat, kan? Salahnya ditutup.”
“Kamu nggak malu apa buka baju depan cewek?”
Syabil menggeleng sambil memasang dasi berbentuk kupu-kupu di kerah kemeja.
“Sama istri sendiri ngapain malu.”
Inara berdecak kesal. Syabil masih dengan santai menyebutnya sebagai istri. Gadis itu memasang mimik cemberut.
Ketukan pintu terdengar dari luar. Zahra menjemput Inara untuk segera duduk di pelaminan karena acara akan segera dimulai.
“Meskipun di rumah, tetap harus terlihat bagus pas menuju pelaminan. Jadi, masnya berdiri di sini sebelah Mbak Inara.”
Syabil dengan tubuh tegak, berdiri di samping Inara.
“Nah, sekarang Mbak Inara tangannya melingkar di tangan suami.”
Instruksi Zahra membuat Inara terperanjat. Mau tidak mau ia harus patuh. Sudah banyak pasang mata menatapanya. Ia pun menggandeng tangan Syabil. Senyuman terlihat di kedua wajah mempelai. Satu senyum bahagia dan satunya atas keterpaksaan.
Acara resepsi terselenggara dengan lancar. Tamu undangan banyak yang penasaran akan sosok pengantin yang tidak sesuai dengan nama yang tertera diundangan. Pihak keluarga hanya menjawab bahwa ada salah tulis nama. Tidak mungkin jika kejadian yang sebenarnya diceritakan.
Inara yang sudah merasa lelah luar biasa segera menuju kamarnya. Udara di kota Pati membuatnya kegerahan apalagi dengan baju pengantin yang bahannya cukup panas. Namun, ia tersentak saat baru membuka pintu kamarnya. Syabil sedang melepas tuksedonya.
“Hei! Kok, kamu di kamarku lagi, sih?”
“Terus aku di mana?”
Inara bergeming. Ia menghela napas pelan. Tidak mungkin Syabil berganti pakaian di tempat ibunya apalagi Marisa.
“Ya sudah, cepetan, aku mau lepas baju. Capek plus kepanasan,” keluh Inara. Zahra yang sedang mendampinginya tampak bingung. Suami istri di hadapannya itu seperti berbeda.
Syabil bergegas melepas bajunya. Hanya tertinggal singlet yang menutup d**a bidangnya. Ia lalu kembali mengenakan kaos oblong. Syabil pun melangkah ke luar menuju kamar mandi untuk berganti celana.
Di dalam kamar, dibantu oleh Zahra, Inara melepas baju pengantin, kerudung, hingga membersihkan make up-nya. Selesai semuanya, perias itu pun pamit. Inara mengantar Zahra hingga ke mobilnya. Selepas mobil berplat N itu melaju, gadis yang hanya mengenakan piama segera masuk ke kamar. Ia sudah rindu dengan kasurnya. Duduk di pelaminan selama tiga jam membuatnya letih.
“Nduk, Syabil udah makan?”
“Nggak tahu, Bu. Aku capek mau tidur,” ucap Inara saat akan membuka pintu kamarnya.
“Ya sudah, selamat tidur, anakku.”
Ekspresi Bu Ahmad membuat Inara mengerutkan kening. Ibunya berbicara dengan memicingkan mata sebelah kiri. Ia lalu menutup pintu kamar.
“Woi!” teriak Inara terkejut melihat Syabil sedang bersandar di dashboard ranjangnya sambil memainkan ponsel. “Ngapain di situ?”
“Mau tidurlah.”
“Kok, di kamarku?”
“Pertanyaan itu lagi?”
Inara menggaruk kepala yang tidak gatal. Ia reflek mengucap kalimat tersebut. Ia masih tidak bisa menerima status Syabil yang sudah sah menjadi suaminya. Gadis itu mendekat ke ranjang. Ia lalu duduk bersila di samping Syabil. Laki-laki itu ikut menegakkan punggungnya. Ia merasa senang, Inara ingin berincang dengannya dilihat dari cara duduknya.
“Bil.”
“Iya, kenapa, Na?”
“Begini. Kita sama-sama tahu. Pernikahan kita terjadi dengan tiba-tiba, anggaplah seperti itu. Dan, aku sangat syok hingga saat ini. Aku nggak siap menikah.”
“Ini namanya bagian dari takdir Allah. Ka-.”
“Diam! Biar aku selesaiakan dulu,” sergah Inara ketus.
Syabil mengangguk pelan sampil tersenyum simpul.
“Okelah, aku nggak mungkin juga membatalkan pernikahan ini secepatnya. Ayah bisa jantungan. Jadi--”
“Eh, apa maksudnya membatalkan pernikahan?” tanya Syabil penuh selidik memotong ucapan Inara. Ia mencium hal yang tidak baik.
“Makanya dengerin dulu.” Inara menghela napas kasar. Ia semakin kesal dengan laki-laki di hadapannya itu. “Mungkin dua tahun lagi kita bisa cerai. Maksudnya, kamu menceraikanku.”