UKM Party

1412 Kata
Inara membuka matanya perlahan. Tirai pada jendela yang menghadap taman kecil depan rumah sudah terbuka. Di luar, langit mulai terang. Inara bangkit dari tidurnya, kemudian merapikan rambut dan menguncirnya menyerupai ekor kuda. Ia menoleh ke samping. Bantal dan selimut tipis yang dipakai Syabil sudah terlipat rapi. Posisi bantal juga masih seperti semula. Hanya saja, koper yang semalam ia taruh di atas kasur sudah kembali ke tempatnya. “Ke mana anak itu?” Inara mengedarkan pandang ke semua sisi ruangan. Pintu kamar tertutup, tapi Syabil tidak ada di kamar. Ia pun bergegas melipat selimutnya, lalu beranjak ke luar. “Baru bangun?” sapa Syabil yang sedang duduk di ruang tamu. “Aku buatin Milo tadi. Masih hangat.” Inara masih berdiri sambil menyandarkan punggung di daun pintu kamar. Ia menyilangkan kedua tangan di depan d**a. Tatapannya tajam mengamati Syabil yang tengah menikmati roti dan tangan kiri yang sedang fokus mengoperasikan ponsel. “Kamu jatuh dari motor nggak parah, ‘kan?” tanya Inara dengan wajah sinis. Syabil yang bersiap menggigit roti, menghentikan aktivitasnya. Ia menoleh ke arah Inara. “Maksudnya?” Inara berjalan ke Syabil. Ia lalu duduk di hadapan laki-laki yang masih mengenakan sarung yang digunakannya selepas salat Subuh. “Masih nggak paham?” Syabil menggelengkan kepala. Ia penasaran dengan ucapan Inara. Namun, ia seketika tergemap saat gadis itu memajukan tubuh mendekat padanya. Tatapan Inara lekat mengunci pandangannya. “Aduuuhh!!!” Syabil memekik karena Inara mencengkeram lengannya. “Kamu beneran sakit?” Inara terkejut mendapati teriakan cukup keras Syabil karena ulahnya tadi. “Iyalah. Ngapain aku nge-prank sampai tidur di rumah sakit,” jelas Syabil sambil meringis mengusap lengannya. Wajah Inara berubah panik. Ia menggigit ujung jari telunjuk tangan kanan. “Maaf, Bil. Tadi aku lihat kamu udah bisa makan sendiri pakai tangan kanan. Kemarin aja masih minta disuapin. Jadi, aku pikir kamu mau njebak aku.” Syabil tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Aku beneran jatuh dan sakitnya juga nyata. Tapi, nggak boleh manjain rasa sakit. Nanti malah ngerepotin kamu terus.” Inara tertegun mendengar penjelasan Syabil. Ia jadi merasa bersalah karena telah berburuk sangka. “Maaf ya, Bil.” Syabil meyunggingkan seutas senyuman. “Nggak papa, Na. Oh, iya, kamu kuliah jam berapa?” “Jam sembilan,” jawab Inara sambil menyeruput minuman coklat hangat tersebut. Ia tersenyum sambil menatap cangkir yang terbuat dari porselen tanpa motif itu. “Akhirnya bisa minum Milo di Malang.” Syabil menautkan ke dua alisnya. “Kasihan sekali hidupmu, Na. Di kos nggak pernah bikin Milo?” Inara menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Ia lalu menceritakan tentang kondisi indekosnya yang minim fasilitas di bagian dapur. Tabung gas warna hijau saja jarang terisi karena penghuninya lebih suka beli makanan di luar. “Paling Milo yang UHT itu. Tinggal minum terus buang, praktis.” “Jadi kamu nggak masak sama sekali di kos?” “Enggak. Lagian kalau dihitung lebih murah dan praktis beli masakan jadi. Tinggal masak nasi aja. Emang kamu masak?” Syabil menganggukkan kepala. “Di sini ada dapur lengkap dengan fasilitasnya, kulkas pun tersedia. Itung-itung berhemat buat nabung masa depan keluarga kecilku.” Inara terkesiap. Ia yakin kalimat terakhir itu ditujukan untuknya. Ia mendengkus kesal. Laki-laki di hadapannya masih kukuh tidak ingin mengakhiri pernikahan tanpa cinta ini. “Habis ini Resta jemput aku. Kamu udah mendingan, ‘kan? Kalau makan nggak perlu masak dulu, beli aja lewat online,” jelas Inara sambil berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan muka. Ia sedang malas berdebat dengan Syabil tentang pernikahan mereka. Tidak lama kemudian terdengar klakson motor berbunyi. Syabil bangkit dari duduknya dan mengambil kunci pagar. Ia bergegas menuju depan. “Resta, ya?” sapa Syabil ramah setelah membuka pagar. “Iya, Kak. Inara ada, ‘kan?” “Masuk aja dulu. Dia masih di kamar mandi.” Resta menganggukkan kepala. Ia kemudian turun dari motor lalu menuju teras. Di sana sudah ada Syabil yang duduk di kursi silinder yang terbuat dari batang pohon. “Resta sudah paham, kan, dengan status kami?” Syabil membuka obrolan. “Iya, Kak. Inara sudah cerita. Selamat ya, atas perikahan kalian.” Syabil pun mengucapkan terima kasih. “Resta tahu Arfa? Dia ada hubungan apa sama Inara?” Pertanyaan Syabil membuat Resta salah tingkah. Ia tidak mungkin menceritakan sosok yang digilai oleh sahabatnya itu di depan Syabil. “Dia ketua di tempat Inara ikut organisasi, Kak.” “Oh.” Syabil manggut-manggut. Ia lalu tersenyum samar. Satu ide cermelang akan dilakukannya nanti. Inara muncul dari dalam. Ia pun berpamitan pada Syabil. “Aku hari ini nggak ke sini lagi, ya. Besok mau ada UKM Party jadi harus persiapan.” “UKM party? Apa itu, Na?” Inara pun menjelaskan bahwa itu adalah kegiatan yang paling ditunggu oleh para aktivis unit kegiatan mahasiswa di kampus Gemilang. Seluruh organisasi di bidang minat bakat tersebut akan berlomba menarik perhatian mahasiswa baru untuk bergabung bersama mereka. “Ada juga UKM Al-Amien, itu oganisasi dakwah kampus paling besar. Kamu cocok tuh, masuk situ,” saran Inara. “Resta ikut apa?” tanya Syabil mengalihkan pembicaraan. “KOPMA juga?” “Bukan, Kak.” “Kalau Resta kelasnya bukan UKM lagi, dia ratunya aktivis intra sama ekstra kampus di Fakultas Ekonomi. Ya udah, aku mau balik. Ayo, Ta.” Dua mahasiswi berbeda jurusan itu pun meninggalkan rumah yang terdapat satu pohon mangga di depan teras. Tinggal Syabil sedang termenung. Pemuda itu semakin yakin dengan rencana yang akan dijalankannya. Esok hari, di acara yang bernama UKM Party. *** Jadwal kuliah hari ini hanya sampai pukul satu siang. Inara bergegas menuju basecamp KOPMA di lantai dua student center setelah dosen keluar dari kelas. Organisasi yang bergerak di bidang kewirausahaan itu terlihat mencolok dari pada kantor-kantor di samping kanan kirinya. Ada tangga yang menghubungkan langsung dengan pintu KOPMA. Selain itu, terdapat chiller dengan gambar merek minuman bersoda yang sudah sangat dikenal khalayak ramai. Inara menaiki tangga dengan semangat. “Inara!” Inara menoleh ke bawah. Terlihat Haura yang juga teman satu angkatan di Kopma tengah menyusulnya naik. “Habis kuliah? Ngos-ngosan banget kamu.” “Habis ngecek tenda buat besok. Panas banget hari ini. Gimana, sudah siap flyer-nya?” tanya Haura seraya membuka chiller dan mengambil air mineral botol. Inara mengangguk. “Udah aku taruh di dalam. Kamu sendirian tadi?” Haura menggelengkan kepala seraya menenggak air. Gadis dengan celana denim dan kemeja motif kotak itu menghela napas panjang, menikmati kesegaran air yang melewati kerongkongannya. “Sama Kak Arfa tadi. Kalian jadi berangkat ke seminar di Surabaya?” “Jadi, dong. Aku udah nunggu seminar ini. Apalagi tempatnya di universitas negeri paling terkenal. Nggak sabar, deh,” ungkap Inara dengan wajah semringah. Haura mencebik mendengar penuturan Inara. Ia lalu berkata dengan lirih, “Bilang aja mau berduaan sama Pak Ketua.” “Hah? Ngomong apa, sih?”Inara pura-pura tidak mendengar celetukan mahasiswi jurusan Manajemen tersebut. “Enggak, forget it.” Haura berlalu meninggalkan Inara yang berdiri di dekat pintu. Ia kembali mencebik. Dirinya masih tidak terima jika Inara yang akan menemani Arfa ke Surabaya. Inara menyilangkan kedua tangan di depan d**a sambil menatap punggung Haura. Gadis yang mengenakan pasmina berwarna cokelat tua itu tersenyum sinis. Sudah menjadi rahasia umum jika Haura menyukai Arfa. Begitu juga dengan kabar bahwa ketuanya itu lebih memilih dirinya dari pada Haura. *** Pagi ini langit Kota Malang bersinar cerah. Halaman parkir mahasiswa yang sudah disterilkan dari motor berganti dengan terpasangnya puluhan tenda yang ditempati seluruh UKM yang ada di kampus Gemilang. Semua peserta UKM Party mengeluarkan karya terbaik mereka untuk menghias tenda agar menarik perhatian para mahasiswa baru. Tidak ketinggalan stan Kopma yang hiasan didominasi warna biru tua dan emas. “Oke, semuanya. Sudah siap berjuang mendapatkan kader baru, ‘kan?” tanya Haura yang bertugas sebagai ketua pelaksana untuk acara tersebut. Ia sedang mengadakan briefing untuk anggota yang bertugas. “Jangan ada yang menunjukkan wajah cemberut. Kopma harus terlihat sebagai UKM yang ceria. Siap?” “Siap!” Semua yang ada di dalam tenda kompak berseru. Mereka pun saling menempelkan telapak tangan kanan hingga bertumpuk. “KOPMA Jaya!” Inara mendapat tugas di depan tenda untuk menjaring calon anggota baru bersama tiga teman yang lainnya. Sedangkan Arfa dan Haura duduk di dalam tenda untuk menjawab pertanyaan bagi pengunjung yang ingin mengenal lebih dekat KOPMA. “Huh, seenaknya sendiri mentang-mentang ketua pelaksana,” gumam Inara sambil memainkan sepatunya. Tangan yang sedang memegang flyer ia tautkan di belakang punggung. “Mbak, saya mau daftar jadi anggota.” Inara tersentak mendengar suara yang sangat dikenalnya. Ia lalu mendongakkan kepala. “Ngapain di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN