Keteguhan Hati

1153 Kata
Inara urung menyuapkan pisang ke mulut Syabil. Kalimat terakhir yang terucap dari bibir pemuda itu membuat suasana hatinya berubah. Ia menaruh buah itu di atas meja lalu merebahkan tubuhnya di atas extra bed. “Loh, aku masih lapar, Na.” Syabil terkejut melihat Inara berhenti menyuapinya. Ia baru makan setengah buah. “Aku nggak suka kamu masih ngomongin status kita.” “Emang nyatanya seperti itu, ‘kan?” Inara menghela napas kasar. Ia beranjak mendekat lagi ke ranjang tempat Syabil berbaring. “Aku serius ingin mengakhiri pernikahan tiba-tiba ini,” ucap Inara sambil menatap mata Syabil lekat. Pemuda itu tersenyum menanggapi ucapan gadis dengan t**i lalat di ujung bibir sebelah kanan itu. “Kalau aku tetap nggak mau gimana?” Inara terperanjat. Keningnya berkerut. Syabil masih tetap pada pendiriannya. Gadis itu mencebik kesal. “Udahlah, males aku ngomong sama kamu.” Inara kembali lagi ke tempat tidurnya. Tanpa ada sepatah kata pun keluar dari bibir gadis itu. Syabil mendesah pelan melihat ekspresi Inara. Ia akan mempertahankan pernikahan ini. Perjanjian besar telah dilakukan dihadapan tuhannya dan tidak akan pernah ia gagalkan. Inara mulai memejamkan mata dengan amarah yang tersimpan di hatinya. Ribuan kali permintaan cerai terlontar dari mulutnya, akan sia-sia jika Syabil tidak mengiyakan. *** Suara azan subuh dari masjid rumah sakit membangunkan tidur Syabil. Ia kemudian melakukan tayamum. Beranjak dari ranjang untuk mengambil air wudhu masih belum memungkinkan melihat kondisi tangan kanannya. Pemuda itu segera melaksanakan salat qobliyah Subuh. Salat sunnah yang tidak pernah ditinggalkannya baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Karena dalam pemahamannya, Rasulullah menyampaikan bahwa dua rakaat sebelum subuh itu lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Selepas menunaikan salat Subuh. Syabil memperhatikan Inara yang masih terlihat nyenyak. Ia lalu turun dari ranjang. “Inara,” panggil Syabil lembut tetapi tidak ada respon dari gadis itu. “Udah subuh. Bangun, Na.” Inara menggeliat. Namun, ia hanya mengubah posisi tidur dari menghadap dinding, beralih ke sisi yang lain. Menghadap tepat di depan Syabil yang sedang berjongkok. Syabil menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia kembali membangunkan istrinya. Akan tetapi, reaksi yang didapat masih sama. “Na, bangun. Salat Subuh dulu.” Syabil menepuk bahu istrinya. Inara bereaksi, tetapi hanya sesaat. Pemuda itu menjadi gemas melihat Inara yang susah dibangunkan. “Tantangan seorang suami membangunkan istrinya,” ucap Syabil sambil menghela napas panjang. Ia lalu menyibak selimut yang menutup tubuh gadis itu. Syabil terkesiap mendapati kaus lengan panjang Inara tersingkap di bagian perut. Ia lalu menurunkan baju berwarna cokelat itu hingga menutupi bagian atas celana istrinya. Kemudian, Syabil mengambil remote AC. “Dingin banget,” ucap Inara lirih sambil bersedekap. Dengan mata terpejam, ia mencari selimut. Syabil yang memegang selimut, terkekeh melihat tingkah Inara. Ia tadi menurunkan suhu pada AC. Gadis itu mulai membuka matanya. “Balikin selimutnya,” pinta Inara dengan wajah cemberut. “Nggak mau, salat dulu.” Inara bangkit dari tidurnya. Ia mulai mengepalkan tangannya. Tatapannya tajam ke arah Syabil. Gadis itu mulai mendekat ke posisi pemuda di hadapannya. “Tanganmu mau nyobain jurusku lagi?” Inara menyeringai. Ia meniup kepalan tangannya. “Salat dulu, Na.” Inara menggelengkan kepala sambil terus mendekat ke arah Syabil yang berjalan mundur. Pemuda itu was-was jika kejadian semalam terjadi lagi. Luka di pergelangan tangan yang masih nyeri akibat terjatuh dari motor karena menghindari mobil yang tengah melambung dari arah berlawanan. Ia tidak mau jika harus kembali merasakan jurus silat Inara. Hanya tinggal satu langkah, Inara menarik selimut yang dipegang Syabil. Di luar dugaan, tangan Syabil ternyata tetap pada posisinya. Akibatnya, tubuh Inara terdorong ke depan hingga membentur d**a suaminya. Gadis itu membeliak saat menyadari embusan napas Syabil tepat di keningnya. “Jangan macam-macam kamu,” ancam Inara saat menyadari tangan kiri Syabil sudah berpindah ke punggungnya. “Lepasin! Dasar m***m!” “Kenapa disuruh salat enggak mau?” tanya Syabil tanpa senyuman. Ia memang begitu tegas dengan kewajiban satu itu. Tidak ada toleransi untuk meninggalkan salat. “Aku lagi datang bulan! Puas!” Syabil melonggarkan pelukannya. Ia menghela napas lega mendengar alasan Inara. Gadis itu segera menjauh darinya. “Kenapa nggak bilang dari awal?” Inara menoleh dengan lirikan mata yang tajam. “Aku malu mau bilang,” jawab Inara lirih. “Aaarghh, mood-ku langsung berantakan subuh-subuh.” “Ngapain malu?” Syabil terkekeh sambil kembali ke ranjangnya. Ia terus memperhatikan Inara yang masih menekuk wajah. Subuh ini, ia merasakan energi positif menyelimuti hatinya. “Aku mau balik ke kos. Kalau ada apa-apa hubungi aku,” ujar Inara sambil merapikan tempat tidurnya. Ia sudah menghubungi Resta untuk minta jemput. “Siap! Terima kasih sudah merawat suaminya,” ucap Syabil sambil tersenyum jahil. “Terpaksa!” Inara segera berlalu dari ruangan tanpa menoleh ke arah Syabil. Pemuda itu tergelak menyaksikan ekspresi jengkel dari sang istri. “Kita akan segera mengakhiri pernikahan tanpa cinta ini, Inara Syarifa,” cetus Syabil dengan nada bicara penuh keyakinan. *** [Aku tunggu di Kopma] Inara tersenyum semringah membaca chat dari Arfa. Suasana hati yang buruk karena kejadian subuh tadi perlahan memudar. [Oke, Mas] Inara segera merapikan perlatan tulisnya. Kuliah hari ini hanya sampai siang. Ia segera menuju sekretariat KOPMA. “Assalammualaikum.” “Waalaikumsalam. Udah nggak ada kuliah lagi?” Inara menggeleng sambil menaruh tasnya di kursi depan Arfa duduk. “Sendirian aja, Mas?” “Iya, Na. Untunglah kamu cepat datang. Aku jadi ada temennya,” ungkap Arfa sambil tersenyum menatap Inara. Gadis itu tersenyum canggung. “Tiga hari lagi acara seminar di Surabaya. Dana dari kemahasiwaan apa sudah turun?” “Janjinya hari ini. Aku cek dulu ke kantor,” ucap Inara sambil beranjak dari duduknya. Namun, baru akan melangkah, ia tersentak. Arfa memegang pergelangan tangannya. Inara tersentak. Pipinya mulai bersemu merah. “Maaf, Na.” Arfa melepas genggamannya. “Nanti aja, kamu tetap di sini. Nunggu teman yang lain datang.” Inara menundukkan wajahnya. Hatinya masih berdebar dengan tindakan yang dilakukan Arfa. “Matamu kayak lelah. Sakit?” “Oh, enggak, Mas. Aku ngantuk aja. Semalam tidur larut di rumah sakit.” “Siapa yang sakit?” Inara terkejut mendapati pertanyaan Arfa. “Teman, dia jatuh dari motor.” “Teman kos?” “Bukan,” jawab Inara canggung. Tidak mungkin dirinya memberitahu bahwa yang masuk rumah sakit adalah Syabil. Tidak lama kemudian, beberapa teman mereka datang. Arfa beranjak dari kursi dan mengajak Inara menuju kantor kemahasiswaan. “Naik motor nggak pa-pa, kan, ke Surabaya nanti?” “Mas Arfa yang bonceng?” “Iya, masa kamu. Mana tega aku.” Inara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasa canggung membuatnya sering mengeluarkan kalimat yang tidak penting. “Aku naik apa aja nggak masalah, Mas. Yang penting sampai.” Arfa membenarkan ucapan Inara. Ia melirik gadis di sampingnya. Senyuman menghiasi wajahnya. “Aku tanyakan dulu proposalnya,” ucap Inara sambil bergegas menuju kantor, meninggalkan Arfa yang berjalan di belakangnya. Ia mengusap dadanya. Debaran saat kejadian tadi, ditambah ketika memergoki lirikan Arfa membuatnya lemas. “Gini amat rasanya jatuh cinta,” ucap Inara sambil menarik napas panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN