Di Rumah Sakit

1358 Kata
Begitu sampai di rumah sakit, Inara segera menuju ruang IGD seperti yang disampaikan Syabil di chat. Suasana di sekitar gedung berlantai lima itu sudah sepi. Hanya ada beberapa satpam yang sedang lalu lalang memeriksa keamanan gedung dan sekitarnya. Inara tidak menunggu Resta yang sedang memarkir motor. Gadis itu berjalan cepat, seolah berlari kecil. Ia sudah sampai di ruang yang terletak di lantai satu. IGD berada di sebelah pojok kanan. “Mbak, ada pasien bernama Syabil Ibrahim?” tanya Inara pada perempuan dengan baju perawat yang duduk di belakang meja. “Ada. Mbak istrinya, ya?” Inara terkejut, lalu mengangguk canggung. “Saya siapkan berkas administrasinya ya, Mbak. Tadi masnya bilang nunggu istri dulu yang urus, jadi belum dipindah ke ruang rawat inap.” “Oh, harus rawat inap? Terus suami saya gimana kondisinya, Mbak?” Inara sontak menutup bibirnya. Ia reflek menyebut Syabil dengan suami. Kekehan terdengar di belakangnya. Rupanya Resta sudah berada di ruang tersebut. “Luka di lengan hingga tangannya lumayan parah.” Inara tercengang, bayangannya sudah yang jelak-jelek saja. Ia segera menuju ranjang tempat Syabil dirawat. “Bil,” panggil Inara pelan. Laki-laki dengan lengan sebelah kanan dibalut perban itu tampak memejamkan mata. “Syabil.” Inara menepuk bahu Syabil sebelah kiri. Namun, tidak ada respon. Inara mengernyitkan alis. “Apa dia dikasih obat tidur?” “Ngawur kamu. Masa di IGD dikasih bius?” tanya Resta yang berdiri di ujung ranjang. “Kok, nggak ngerespons dia?” Inara kembali menepuk bahu Syabil. Ia masih panik. “Bil, bangun, dong.” Masih tidak ada respons. Mata Syabil tetap saja terpejam. “Ta, kok, dia nggak bangun?” tanya Inara heran. “Padahal dia tadi ngirim foto ke w******p, loh.” “Bukan Syabil mungkin yang ngirim.” “Terus siapa?” Inara berkacak pinggang. Resta mengedikkan bahu. “Coba goyangkan kakinya.” Inara lalu menggoyangkan kaki Syabil. Namun, laki-laki itu masih belum membuka matanya. “Masih diem, Ta.” Nada suara Inara sudah terdengar parau. “Apa dia butuh operasi sampai dibius gini?” Resta ikut bingung. Namun, ia kemudian tersenyum samar. “Kayaknya Allah denger permintaanmu, tuh. Pingin cepat menjanda, ‘kan?” Inara tersentak. Ia kembali menatap laki-laki yang tubuhnya tertutup selimut. Wajah Syabil terlihat tenang. “Bil, bangun, dong. Kamu nggak mati, ‘kan?” Tangan Inara menyentuh perut Syabil. Gadis itu sedang memastikan kondisi suaminya. Ia sontak membekap mulutnya begitu menyadari tidak ada perubahan naik turun pada permukaan perut Syabil. “Resta, masa Syabil?” tanya Inara tidak percaya. Luka yang dialami suaminya hanya di tangan. Rasanya tidak terlalu parah. Mata Inara sudah berkaca-kaca. Resta merengkuh sang sahabat ke dalam pelukannya. Ia kemudian mengacungkan ibu jari di balik punggung Inara. “Sabar ya, Na.” Inara melepas pelukan Resta. Ia lalu mendekat ke sisi sebelah kanan ranjang. Air mata sudah membasahi pipinya. “Maafin aku yang sering marahin kamu, Bil,” ucap Inara sambil terisak. Ia lalu merebahkan kepalanya di d**a sebelah kiri Syabil dengan tangan memeluk tubuh tegap itu. Kening Inara tiba-tiba berkerut. “Bangun, nggak?” titah Inara sambil memencet hidung bangir suaminya selama setengah menit. Masih tidak ada respons. Gadis itu berjalan ke sisi kiri bangsal. Resta hanya berdiri sambil bersedekap memperhatikan tingkah Inara. “Masih dilanjut aja meremnya? Oke!” Inara menatap lengan dan pergelangan tangan Syabil yang dipenuhi kassa. Gadis itu menyeringai sejenak. Ia lalu mengepalkan tangan kanan dan mulai mengambil ancang-ancang ke atas. “Jangan!” Resta terkesiap menyadari apa yang akan dilakukan Inara. Namun, terlambat! “Aduh!!” Syabil memekik keras seraya mengusap lengan yang mendapat pukulan keras Inara. Resta hanya mampu menepuk dahinya melihat aksi sahabatnya tersebut. Pantas saja jika Syabil kesakitan, Inara mengeluarkan ilmu silat yang dikuasainya. “Terus aja nge-prank aku,” ucap Inara ketus. “Ayo pulang, Ta.” Baru selangkah beranjak dari tempatnya berdiri, Syabil memanggilnya. “Inara, maaf,” ucap Syabil dengan wajah memelas. “Sakit beneran ini.” Inara tidak memedulikan ucapan Syabil. Ia melanjutkan langkahnya menuju pintu luar. Resta menangkupkan kedua tangannya ke arah Syabil. Ia paham bagaimana sahabatnya itu jika sedang marah. Susah untuk diluluhkan dalam tempo singkat. “Mbak, bisa ikut saya ke bagian administrasi sebentar?” Perawat yang berjaga tadi, memanggil Inara yang baru akan membuka pintu. Inara berdecak kesal. Ia pun mengikuti petugas medis tersebut. Tidak lama kemudian, Inara kembali ke IGD. “Jadi pulang?” tanya Resta. Inara menggeleng pelan. Ia lalu berdecak kesal. “Kamu pulang dulu, deh. Syabil harus rawat inap. Aku takut dia nanti lapor orang tua kami kalau nggak aku urus di sini.” Resta terkekeh. “Gitu, dong. Istri saliha.” Inara berkacak pinggang. Mata Gadis itu mendelik ke arah Resta. “Mau ngerasain jurusku juga?” “Ampun, Na,” ucap Resta sambil membuka pintu dari kaca. “Jangan lupa jemput jam enam.” Resta mengacungkan ibu jarinya. Ia pun berlalu menuju tempat parkir. Inara kembali ke tempat Syabil. Pemuda itu akan segera dipindah ke ruang rawat inap. “Maafin aku, ya, Na,” ucap Syabil dengan wajah memelas. Inara hanya mengangguk tanpa senyuman. Ia masih jengkel dengan suaminya itu. Terlebih saat mengingat air mata yang keluar karena takut Syabil meninggal. Juga saat ia menyandarkan kepala di d**a sang suami. Duh, bikin malu sendiri aja kamu. Inara merutuki dirinya sendiri. Ia kemudian menemani Syabil yang dipindah ke ruang perawatan. Inara memilih ruangan VVIP. Gadis itu tersenyum puas melihat fasilitas yang ada di ruang tersebut. Televisi, Air Conditioner, lemari es, dispenser, satu extra bed, satu set sofa tamu, kamar mandi dalam, satu lemari pakaian dan juga kitchen set. “Aku bukan nyari apartemen, Na.” “Jangan protes! Siapa suruh kamu nge-prank aku tadi.” Inara terbahak mendapati rencana balas dendamnya yang sukses. Syabil akan menangis saat melihat tagihan saat akan pulang nanti. Kamar perawatan mewah seharga satu juta rupiah per harinya. Belum ditambah visit dokter dan konsultasi. “Bangkrut aku, Na.” “Rasain,” ucap Inara sambil menjulurkan lidah. “Uang orang tua juga. Janga sok punya uang dari hasil kerja sendiri.” “Daripada buat bayar ruang VVIP mending ditabung buat masa depan anak-anak kita nanti,” protes Syabil. “What! Anak-anak kita?” Syabil tersenyum menggoda melihat inara emosi. Ia semakin gemas jika bisa membuat istrinya itu jengkel. Rasanya seperti mendapat tantangan. “Udah, kamu tidur aja. Nanti tinggal minta papamu lagi kan, gampang. Aku ngantuk, nih. Besok kuliah pagi.” Syabil mengangguk. Ia tidak mungkin memarahi Inara. Gadis itu sudah menunjukkan perhatiannya. Tabungannya masih lebih dari cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Syabil malah bersyukur Inara memilih kamar istimewa ini. Jika tadi mengambil bangsal yang berisi beberapa pasien, mungkin ia tidak akan bisa memandangi lagi wajah cantik istrinya saat tidur. Tiga puluh menit kemudian. Mata Syabil masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Ia memegang perut yang keroncongan. “Na, udah tidur?” tanya Syabil menoleh ke samping kanan. “Belum, susah merem, nih,” jawab Inara sambil menutup wajahnya dengan punggung tangan. “Aku lapar, belum makan malam.” Tanpa mengucap kata, Inara segera beranjak dari tidurnya begitu mendengar keluhan Syabil. Ia bisa merasakan penderitan Syabil. Tidak mungkin untuk menyuruhnya berdiri mencari makanan sendiri. “Tapi, belum ada makanan di sini. Cuma ada buah.” “Iya, pisang aja nggak pa-pa.” Inara membuka bingkisan yang berisi aneka buah yang ada di meja. Ia lalu mengambil pisang dan menyerahkan ke Syabil. “Aku nggak bisa ngupas, Na,” ujar Syabil sambil menunjuk lengan kanannya. “Manja.” Dengan tanpa ekspresi, Inara mengupas kulit pisang tersebut. “Nih, tinggal makan.” “Masa tangan kiri makannya, Na?” Inara menatap Syabil dengan kening berkerut. “Aku harus nyuapin gitu?" Syabil mengangguk sambil tersenyum mantap. Inara menghela napas kasar. Ia tidak bisa menolak permintaan pemuda yang kondisinya tampak memprihatinkan itu. Gadis itu mulai menyuapi suaminya. “Rasa pisangnya beda, nggak kayak biasanya.” “Jelaslah, pisang mahal. Nih, ada merk-nya.” Inara menunjukkan label yang masih melekat di kulit buah berwarna kuning tersebut. “Bukan, aku pernah makan pisang ini, tapi nggak seistimewa sekarang.” Ucapan Syabil membuat Inara penasaran. Ia mengamati pisang di tangan, lalu menghidunya. “Kayanya sama aja, deh.” “Beda, Na. Rasanya manis banget. Soalnya disuapin kekasih halalku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN