Waktu terasa berjalan lambat bagi Arini dan Novan. Suara detak jarum jam terdengar begitu lamban. Kursi yang mereka duduki terasa bagai berduri. Satu jam yang sudah berlalu terasa bagai berhari-hari bagi mereka berdua. Mereka berharap kegilaan itu cepat berakhir, tetapi para orang tua itu masih saja antusias membicarakan topik yang mengerikan itu.
Kedua orang tua Arini dan Novan masih bersemangat pun membahas rencana perjodohan Arini dan Novan. Suara gelak tawa mereka sesekali mengenggema pelan. Masing-masing orang tua berlomba-lomba mengungkapkan kelebihan sang anak. Sedangkan dua mahluk yang sedang diperbincangkan itu sama-sama menampilkan raut wajah gelisah. Arini tak henti meneguk minumannya, sementara Novan terus saja menggerak-gerakkan lututnya di bawah meja.
“A-aku ke toilet dulu.” Novan tiba-tiba bangun dari duduknya dan bergegas pergi.
“Oke,” jawab sang mama.
Tak berselang lama, Arini pun juga bangkit dari kursinya. “A-aku juga pergi ke toilet sebentar, ya Pak.”
Ayah dan Ibu Arini mengangguk pelan.
Arini pun bergegas menyusul Novan. Dia mempercepat langkahnya begitu melihat Novan yang sudah berbelok memasuki area toilet.
“Tunggu ...!” hardik Arini.
Novan terkejut dan menoleh ke belakang.
Arini menelan ludah, lalu melangkah pelan mendekati Novan. “N-nama kamu Novan, kan?”
Novan mengangguk. “Iya. Ada apa?”
“A-aku sudah punya pacar,” ucap Arini setengah berteriak.
Novan mengerutkan dahinya, lalu melangkah lebih dekat. “Terus kenapa?”
Arini terkejut dengan sikap Novan yang terkesan cuek. “Ya artinya aku nggak mau di jodohin sama kamu!”
Hening.
Novan membeku sekian detik, lalu berdecak pelan. Pria itu tertawa pelan, lalu menatap Arini tajam. “Kamu pikir aku juga mau?”
Arini tersentak. “K-kenapa kamu ngomong seperti itu, ha?”
“Lho ... kan, kamu duluan yang bicara seperti itu. Aku juga sudah punya pacar dan maaf ... kamu itu bukan tipe aku,” jawab Novan.
Aliran darah panas Arini terasa menjalar cepat menaiki ubun-ubunnya. Ucapan
Novan sudah sukses membuatnya kelabakan dan mati gaya. Arini mengipas-ipas wajahnya yang terasa panas dan menatap Novan dengan tatapan sengit.
“Apa ada yang mau kamu katakan lagi? aku ingin buang air kecil.” Novan kembali bersuara,
“K-kamu itu juga bukan tipe aku. Dasar lelaki sombong! Cih, modal tampan aja belagu amat.” Arini berkata ketus, lalu melangkah pergi.
Novan tertawa pelan. Dia tidak menyangka gadis yang terlihat pendiam itu bisa berkata demikian. Novan segera mengejar Arini dan langsung menghadang langkah gadis itu.
“Modal tampan doang kata kamu?” tanya Novan.
Arini menelan ludah. Nyalinya mendadak ciut saat Novan menatapnya tajam.
Novan menyunggingkan senyumnya. “Padahal aku nggak merasa tampan. Jadi kamu mengakui kalau aku tampan?”
Arini tersentak. Bibirnya begerak pelan, tapi tidak ada juga kata yang terucap. “A-aku—”
“Sudahlah ... nggak penting.” Novan langsung memotong ucapan Arini. “Yang penting adalah kamu jangan setuju dengan perjodohan itu ... mengerti?”
“Hahaha ....” Arini hanya bisa tertawa canggung.
Novan pun hanya tersenyum tipis, kemudian langsung melangkah pergi.
****
Tetesan air masih menitik dari sekujur badan Novan. Dia memutuskan mandi untuk mendinginkan badannya di tengah malam setelah terlibat perdebatan panjang dengan orang tuanya. Papa dan mamanya bersikeras menyuruh Novan untuk mendekati Arini. Bahkan mereka secara gamblang meminta Novan untuk mengakhiri hubungannya bersama Jenny.
Novan tersenyum kecut dan menatap langit malam di luar jendela kamarnya. Pria berbadan kekar itu belum berpakaian dan hanya berbalutkan handuk di pinggangnya. Jemarinya kini sibuk menggulir layar handphone. Tak lama kemudian dia menghela napas panjang. Sejak pertengkaran hari itu, Jenny sama sekali belum menghubunginya sampai detik ini.
“Benar-benar keras kepala,” desis Novan.
Novan beralih duduk di pinggir ranjangnya dan terlihat berpikir sejenak. Setelah itu dia membuka akun i********:-nya dan mulai mengetikkan sebuah nama di kolom pencarian. Dia menggulir daftar nama itu perlahan. Tatapan matanya terlihat fokus. Setelah cukup lama mencari, akhirnya jemarinya berhenti di sebuah nama,
“Arini?” bisiknya pelan.
Novan segera membuka akun bernama Arini itu, lalu memeriksanya dengan seksama. “Ternyata benar-benar dia,” ucapnya lagi.
Novan pun sibuk menginvestigasi akun i********: Arini. Sesekali dia mencibir dan tertawa pelan melihat kumpulan foto Arini yang terpampang di akunnya itu. Novan merasa heran karena Arini terlihat kalem dan anggun di setiap foto yang di unggahnya. Tatapan pria itu pun terpaku pada salah satu Arini yang sedang memasak. Sosok gadis itu tersenyum manis sambil mengangkat sebuah spatula di tangannya. Sudut bibir Novan pun terangkat pelan. Tanpa dia sadari, jempolnya terpeleset dan memberikan tap love di foto itu.
“AAA ...!”
Novan berteriak histeris setelah menyadari kesalahan yang baru saja di buatnya.Dia lekas membatalkan likes itu sambil menggigiti kuku jari tangannya.
“Gila ...! kenapa aku malah menyukai postingan cewek aneh itu,” desisnya.
Di tempat lain, Arini yang baru saja memejamkan mata terkejut karena mendengar suara notifikasi di handphone-nya. Dia segera memeriksa pemberitahuan itu dan langsung spontan bangun dari tidurnya.
“N-Novan ...? gila! dia stalking akun i********: aku?” mata Arini terbelalak menatap notifikasi itu.
Arini pun juga langsung berselancar di akun i********: milik Novan. Meski memasang wajah ilfeel dan sesekali mencibir, tetapi gadis itu tetap saja menelusuri setiap postingan Novan sampai ke akar-akarnya. Diam-diam Arini cukup terkesima melihat sosok Novan yang berkharisma di setiap fotonya.
“Ah ... aku mikir apa, sih?” Arini menampar keningnya sendiri.
Pikirannya beralih pada Ikhsan. Lelaki itu ternyata benar-benar tidak menghubunginya sama sekali. Diam-diam Arini mulai menyesal telah berkata seperti itu. Harusnya dia sadar bahwa Ikhsan memang tidak akan pernah peka. Lelaki lain pasti akan membujuk wanitanya ketika merajuk seperti itu. Harap akan dibujuk, ternyata Ikhsan benar-benar patuh dan tidak menganggu Arini.
Arini tersenyum lemah, lalu menatap foto Ikhsan yang dijadikannya sebagai wallpaper handphone-nya. “Kamu di mana ...? ada banyak hal yang ingin aku ceritakan pada kamu saat ini ....”
****