Pagi itu, dengan napas tercekat, Zayyan menatap wajah Kimmy di sampingnya, yang mulai bergumam dengan kedua matanya yang masih terpejam. Semua ingatan semalam berkelebat di kepalanya, tapi ia tak bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia memijat pelipisnya, berharap sakit kepala yang berdenyut bisa meredakan kebingungannya.
"Ya Tuhan," gumamnya pelan, tubuhnya menegang. "Kenapa dia orangnya?"
Kimmy mulai menggeliat lagi. Matanya mengerjap-ngerjap, merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Saat pandangannya mulai jelas, dan tubuhnya terasa dingin, ia langsung tersentak. Tangannya langsung meraba tubuhnya yang polos, dan dengan cepat menarik selimut, menutupi seluruh tubuhnya hingga sebatas leher.
"APA INI?!" jeritnya keras. Matanya menyala marah dan bingung, langsung menatap Zayyan yang masih duduk di sisi ranjang, terpaku.
Zayyan tak bisa berkata apa-apa, hanya memandangi Kimmy dengan wajah penuh rasa terkejut. Dia mengenal gadis itu. Dia adalah mahasiswi yang selalu membuat masalah di kelasnya. Terlambat, tidak mengerjakan tugas, bahkan tertidur di tengah-tengah pelajaran, adalah hal yang sering Kimmy lakukan, dan selalu berhasil membuatnya geram.
"Ba-Bapak?!" teriak Kimmy pada Zayyan dengan kemarahan membara di matanya, saat menyadari jika pria yang ada di hadapannya itu adalah dosen yang dia benci di kampusnya. Segala ocehan pun keluar dari bibirnya.
"Kenapa Bapak di sini? Kenapa kita ...? Bapak sengaja, ya?! Ini semua jebakan Bapak, 'kan? Ayo ngaku!" teriaknya semakin lantang. "Saya nggak nyangka, dosen galak dan dingin kayak Bapak ternyata m***m juga!"
Zayyan tersentak mendengar tuduhan itu. "Apa?! Kamu pikir saya yang menjebak kamu?" balasnya dengan nada tegas, "Dengar, ya, kamu yang menyerang saya lebih dulu tadi malam!"
"Saya menyerang Bapak?!" Kimmy menatapnya tajam, lalu tertawa sinis. "Haha, omong kosong! Sejak kapan saya agresif kayak gitu, sama pacar saya sendiri aja saya nggak pernah melakukan hal kayak gini! Apa lagi sama dosen saya sendiri? Mana dosennya juga modelan manusia es macam Bapak!"
"Ya sejak semalam, Kimberly! Kamu tiba-tiba—" Zayyan berhenti, memikirkan bagaimana cara menjelaskan semua kejadian semalam. "Kamu yang duluan nyosor ke saya, tiba-tiba cium saya! Lagi pula, ini kamar saya yang pesan. Kenapa kamu bisa tiba-tiba ada di sini lebih dulu?"
Kimmy tertegun mendengar kalimat itu. "Kamar Bapak?" Dia mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. "Tadi malam … saya ingat habis tampil di Sky Lounge, terus kepala saya tiba-tiba berat dan badan saya rasanya panas dan gerah banget. Terus, ada cewek yang pake seragam hotel, yang bawa saya ke kamar ini. Dia bilang saya butuh istirahat. Saya istirahat di sini aja dulu sebelum pulang. Dia juga bilang kalo kamar ini kamar yang disediain buat saya dari pihak penyelenggara acara."
Zayyan terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kimmy. "Cewek berseragam hotel?" gumamnya.
Kimmy mengangguk. "Ya! Tapi setelah itu, saya nggak ingat apa-apa lagi, Pak. Saya cuma tau badan saya rasanya panas banget, terus tiba-tiba ada Bapak di sini pas saya buka mata!"
Zayyan menghela napas berat. "Ini jelas bukan kebetulan, Kimberly. Ada yang tidak beres. Ada seseorang yang sengaja menjebak kita."
Kimmy diam, lalu menunduk. "Jadi … Bapak nggak sengaja juga?"
"Jelas nggak!" sungut Zayyan, memijat pelipisnya lagi. "Saya hanya ingat balik ke kamar setelah reuni, dan tiba-tiba badan saya terasa panas, kepala saya juga pusing sama seperti kamu … terus semuanya jadi kabur, dan tiba-tiba kamu nyerang saya pas saya baru aja rebahan."
Keduanya terdiam sejenak. Suasana kamar terasa penuh dengan kebingungan dan ketegangan.
"Siapa yang mungkin mau menjebak kita? Rasanya nggak mungkin, Pak," tanya Kimmy akhirnya, suaranya lebih tenang, namun masih dibalut kemarahan.
Zayyan menggeleng. "Saya nggak tau. Tapi ini pasti direncanakan. Ada yang ingin mempermainkan kita."
Kimmy meremas selimutnya erat-erat, menatap Zayyan dengan pandangan penuh curiga. "Bapak nggak lagi bohongin saya, 'kan?"
"Untuk apa saya berbohong, Kimberly? Kalau disuru pilih juga saya nggak akan mau tidur sama mahasiswi yang kerjaannya bikin ulah terus seperti kamu."
Kimmy mendengus sambil menatap benci pada pria dewasa dihadapannya itu. "Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pak?"
Zayyan menatap Kimmy, menyadari bahwa situasi ini jauh lebih rumit dari yang terlihat. "Nanti saya akan cari tau siapa dalangnya. Tapi pertama-tama, saya harus tanggung jawab sama apa yang saya perbuat tadi malam sama kamu."
Kimmy mengernyit heran penuh tanya, "Tanggung jawab? Maksudnya?"
"Saya akan menikahi kamu!" jawab Zayyan dengan tegas.
"What's? Saya? Nikah sama Bapak?!" Suara Kimmy setengah berteriak terdengar menggema di kamar hotel tempat mereka menghabiskan malam panas berdua karena kondisi sama-sama mabuk.
"Iya, saya akan tanggung jawab atas apa yang saya lakukan tadi malam sama kamu. Saya akan menikahi kamu, Kimberly," tegas Zayyan mengulang kalimatnya lebih jelas.
"No No No, Pak!" balas Kimmy dengan cepat dan tegas. "Saya udah punya cowok! Lagian ... ogah banget, saya nggak mau punya suami yang galak kayak Bapak! Mending kita lupain aja deh kejadian tadi malem. Kita nggak usah bahas lagi masalah tadi malem. Anggap aja nggak pernah terjadi. Saya juga nggak mau berurusan lagi sama Bapak!"
"Kamu beneran menolak saya? Terus kalo tiba-tiba sebulan kemudian kamu hamil karena kejadian tadi malam, gimana?"
"Ha-hamil? Nggak mungkin lah! Masa sekali coblos doang langsung hamil!"
"Ya mungkin aja, apa yang nggak mungkin kalo Tuhan sudah berkehendak!"
Kimmy bergidik ngeri membayangkan menjadi istri dari laki-laki dingin dan galak seperti dosennya itu.
"Nggak! Pokoknya saya nggak akan nikah sama Bapak! Titik! Nggak pake spasi, apalagi koma!"
Kimmy menarik selimut dengan erat di tubuhnya, lalu mencoba turun dari ranjang. Saat kakinya menyentuh lantai dingin, ia mendadak memekik kesakitan. Rasa nyeri tajam menusuk di area segitiga bawah tubuhnya, membuatnya seketika terhuyung kembali ke tempat tidur.
"Ah! Apa-apaan ini?" Kimmy menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang tak tertahankan. "Kenapa sakit banget?"
Zayyan, yang sudah memunggunginya sambil mencoba mengumpulkan pikirannya, langsung menoleh. Pandangannya terpaku pada bercak merah di atas sprei putih yang sebelumnya mereka tiduri.
Dengan napas yang semakin berat, Zayyan menatap wajah Kimmy yang tertekuk menahan sakit, lalu menatap bercak merah itu lagi. "Kimberly ... kamu ... kamu masih virgin?" tanyanya pelan, namun suaranya jelas dipenuhi rasa bersalah yang mulai menggerogoti dirinya.
Kimmy menghela napas kasar, tak mampu lagi menyembunyikan fakta yang menghantamnya. "I-iya, Pak," jawabnya pendek, matanya menatap kosong ke lantai. "Saya nggak pernah ... sebelumnya, saya selalu menjaga prinsip saya, menyerahkan kesucian saya hanya untuk laki-laki yang akan menjadi suami saya kelak." Suaranya bergetar menahan tangis, tetapi dia mencoba untuk tetap tegar. Karena gadis itu memiliki prinsip untuk tidak menangis di depan orang lain, selain di depan kakek dan sahabat-sahabatnya.
Wajah Zayyan mengeras mendengar pengakuan itu. Perasaan bersalah menelusup ke dalam dirinya, membebani pundaknya seakan menghimpit. Dia segera bangkit dari tempat tidur, memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan gerakan cepat dan canggung. Setelah berpakaian seadanya, dia melangkah mendekati Kimmy yang masih duduk di tepi ranjang, menggenggam selimut erat-erat.
"Bapak mau kema—" Kimmy belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Zayyan tiba-tiba membungkuk, lalu mengangkat tubuhnya dengan gaya bridal style, tanpa permisi atau peringatan.
"Pak! Bapak mau apa?!" seru Kimmy, matanya membelalak, panik dengan kedekatan mendadak itu.
"Tutup mulut kamu dan jangan melawan," jawab Zayyan dingin, namun tegas. "Saya tau kamu lagi kesakitan, dan saya nggak bisa diam aja." Dia membawa tubuh Kimmy yang ringan dengan langkah cepat menuju kamar mandi. Kimmy hanya bisa menahan napas, terkejut dan bingung, bahkan rasa sakit yang tadi menyerangnya seakan terlupakan sementara.
Sesampainya di kamar mandi, Zayyan dengan hati-hati merebahkan Kimmy di dalam bathtub, lalu mengisi bak mandi itu dengan air hangat. Kimmy duduk membeku, terperangah dengan tindakan Zayyan yang begitu tiba-tiba dan tanpa ampun.
"Kenapa saya harus di sini, Pak? Bapak nggak berniat melanjutkan yang tadi malam, 'kan?" Kimmy akhirnya bersuara dengan suara lirih, tubuhnya gemetar sedikit karena campuran antara sakit, takut, ketidaknyamanan, dan air hangat yang mulai mengisi bathtub.
"Tentu saja tidak! Berendamlah sebentar. Air hangatnya akan membantu sedikit meredakan rasa sakit kamu," jawab Zayyan datar, tanpa menatap langsung ke arah Kimmy.
Setelah air memenuhi bathtub hingga cukup, Zayyan berdiri dan berjalan keluar dari kamar mandi tanpa menunggu balasan lagi. Dia menutup pintu kamar mandi dengan pelan, meninggalkan Kimmy sendirian.
Di luar, Zayyan memegangi kepalanya, berusaha keras mengendalikan rasa bersalah dan kebingungan yang merasuk dalam pikirannya. Dia sekarang ingat, dia sempat menolak Kimmy tadi malam, tapi karena tidak bisa menahan hasratnya, dia akhirnya membalas Kimmy dan melakukannya.
Setelah beberapa detik berlalu, dia mengambil keputusan. "Setidaknya, aku harus belikan dia pakaian ganti, bukan?" gumamnya sambil meraih dompetnya yang tergeletak di meja, lalu keluar dari kamar dengan langkah tergesa.
Zayyan melangkah cepat menuju toko pakaian terdekat yang terletak di area hotel. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal, tanggung jawab. Tidak ada cara lain untuk memperbaiki kekacauan ini selain memastikan Kimmy setidaknya merasa nyaman.
Setelah membeli beberapa pakaian di butik yang ada di dekat hotel, Zayyan segera kembali ke hotel dengan langkah panjang. Namun, saat pintu kamar terbuka, dia mendapati sesuatu yang tidak dia duga.
Kamar itu kosong.
Kimmy tidak ada di ranjang. Bahkan di kamar mandi, dia pun tidak ada.
Zayyan berdiri terpaku, jantungnya berdetak lebih kencang. "Ke mana dia?" gumamnya dengan nada cemas, menyadari bahwa situasi ini jauh lebih rumit dari yang dia kira.