4. Let's Break Up!

1828 Kata
Dua orang pengawal berlari ke kamar Hadi dan segera mengeluarkan ponselnya, menghubungi ambulans, setelah melihat kondisi sang tuan. Kimmy yang sudah kembali masuk ke kamar kakeknya, memegangi tangan Hadi dengan erat. "Kakek, tolong tahan, ambulans sebentar lagi datang," katanya dengan suara bergetar dan penuh ketakutan. Hadi hanya mengangguk pelan, matanya terpejam menahan rasa sakit. Detik-detik itu terasa begitu lambat bagi Kimmy, hatinya penuh dengan rasa bersalah dan kekhawatiran. "Kakek, maafin Kimmy ... Kimmy nggak bermaksud bentak Kakek. Maaf, Kek," bisiknya dengan air mata yang mengalir deras. Tak lama kemudian, suara sirine ambulans terdengar mendekat. Para petugas medis segera masuk ke kamar Hadi dan memberikan pertolongan pertama kepada Hadi sebelum membawanya ke rumah sakit. Kimmy mengikutinya dengan cemas, hatinya berdoa agar kakeknya bisa selamat. Di rumah sakit, Kimmy menunggu di ruang tunggu ICU dengan perasaan campur aduk. Dia sadar, semua perdebatan itu seharusnya tidak perlu terjadi jika dia bisa lebih sabar dan berbicara baik-baik pada kakeknya. Sekarang, yang terpenting adalah kesehatan kakeknya. Masa bodoh dengan perjodohan itu. Dia akan memikirkan lagi tentang itu nanti di saat kondisi sang kakek sudah membaik. Setelah beberapa jam, seorang dokter keluar dari ruang ICU. "Keluarga Pak Hadi Atmaja?" panggilnya. Kimmy segera berdiri. "Saya cucunya, Dok. Gimana keadaan Kakek saya?" Dokter itu tersenyum tipis. "Pak Hadi mengalami serangan jantung lagi, tapi kami berhasil menstabilkan kondisinya. Dia harus beristirahat dan menghindari stres berlebihan. Kami akan memantau keadaannya dalam beberapa hari ke depan. Tolong jangan buat beliau tertekan, karena itu akan sangat berpengaruh pada proses pemulihannya." Kimmy menghela napas lega. "Terima kasih, Dok. Boleh saya menemuinya sekarang?" Dokter mengangguk. "Tentu, tapi jangan terlalu lama dulu, ya. Pak Hadi masih butuh banyak istirahat." Kimmy pun mengangguk dan masuk ke ruang ICU. Hatinya hancur melihat kakeknya terbaring dengan alat-alat medis yang terpasang. Dia mendekat dan menggenggam tangan kakeknya dengan lembut. "Kek, Kimmy di sini. Maafin Kimmy, Kek. Kimmy nggak mau Kakek sakit kayak gini," bisiknya. Hadi membuka matanya perlahan dan menatap cucu tersayangnya. "Kakek juga ... minta maaf. Kakek cuma ingin yang terbaik untuk kamu ... Kakek nggak mau kalau sampai kamu tersesat dalam kemaksiatan, Nak. Kakek hanya ingin ... kamu sudah memiliki pendamping yang baik, yang akan selalu menjaga dan menyayangi kamu di saat Kakek pergi menyusul Nenek kamu suatu hari nanti," katanya dengan suara lemah dan napasnya yang masih sedikit terengah-engah. Kimmy menggeleng, air mata kembali mengalir, dan kemudian menangis terisak. "Nggak! Kakek nggak boleh berpikiran kayak gitu. Kakek nggak boleh tinggalin Kimmy kayak Nenek." "Tapi, setiap manusia akan pergi menemui sang pencipta, Kimmy. Kakek juga nggak mau meninggalkan kamu sendirian, makanya Kakek mau kamu menikah dengan laki-laki yang Kakek percaya bisa menjaga kamu dengan baik," tutur Hadi dengan air mata yang keluar dari kedua sudut matanya. Kimmy menghapus air mata kakeknya itu dengan lembut setelah dia menghapus air matanya sendiri dan mencoba tersenyum. "Yang penting sekarang Kakek harus sehat dulu. Kita bahas tentang itu nanti setelah Kakek sembuh, ya." Hadi tersenyum tipis dan mengangguk. "Kamu harus tau, Kimmy. Kakek melakukan ini karena Kakek terlalu sayang sama kamu." "Kimmy juga sayang Kakek. Pokoknya Kakek harus cepet sehat, ya," balas Kimmy dengan penuh emosi, bertekad untuk menemukan solusi yang bisa menyatukan cintanya dengan Marcel tanpa harus melukai hati kakeknya lagi. Sejak dokter meninggalkan ruang ICU, Kimmy tetap duduk di samping tempat tidur kakeknya, memegang erat tangan Hadi sambil berdoa agar kakeknya cepat pulih. Kakeknya perlahan terlelap karena kelelahan, dan Kimmy, meskipun hatinya masih terasa berat, merasa sedikit lega melihat kakeknya tertidur dengan tenang. Dia memutuskan untuk tidak meninggalkan rumah sakit sampai kondisi kakeknya benar-benar stabil. Sementara itu, di kafe tempat Kimmy seharusnya bertemu Marcel, Marcel terus menghubungi ponsel Kimmy. Namun, tidak ada satu panggilan pun dijawabnya. "Nggak biasanya dia nggak jawab telfon gue," gumam Marcel seraya menatap layar ponselnya. Dia mulai merasa khawatir, tetapi setelah dua jam dia menunggu, akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan kafe itu, dan mencoba menghubungi Kimmy lagi nanti. *** Di tempat lain, Zayyan Bagaskara sedang duduk berhadapan dengan bundanya--Rima Wijaya--di ruang tamu rumah mereka yang elegan. Wajah Zayyan terlihat tegang. "Bunda, aku sudah memikirkan hal ini matang-matang, aku setuju dengan perjodohan yang Bunda katakan sebelumnya," ujar Zayyan dengan nada serius. "Aku akan menikahinya, Bun." Rima Wijaya menatap putranya dengan kedua matanya yang berbinar. "Zayyan, sungguh, Nak? Kamu beneran mau nikah sama Kimmy?" Zayyan mengangguk mantap, tidak terlihat keraguan sedikit pun di wajahnya. "Makasih, Nak. Bunda tenang banget sekarang. Soalnya, sahabat mendiang ayah kamu, Hadi Atmaja, kondisinya lagi buruk. Serangan jantungnya sering kumat, dan dia cuma mau memastikan cucunya memiliki seseorang yang bisa menjaga dan melindunginya." Zayyan menghela napas panjang, lalu mengambil foto dan biodata Kimmy yang sebelumnya disodorkan bundanya di atas meja. Mencoba ingin memastikan gadis yang ingin sekali sang bunda jodohkan dengannya. Saat melihat foto Kimmy, dia menyadari bahwa gadis itu benar-benar Kimberly Atmaja, salah satu mahasiswinya yang tadi malam bertukar peluh dengan penuh g4irah bersamanya. "Orangnya beneran yang di foto ini kan, Bun?" Rima pun mengangguk sambil tersenyum simpul. "Iya, itu orangnya. Cantik banget, 'kan? Kamu pasti kenal dia dong? Dia kan salah satu mahasiswi di kelas kamu. Di fakultas bisnis dan manajemen." Rima tiba-tiba menitikkan air mata, berharap bisa menyentuh hati putranya, agar putranya itu benar-benar yakin dengan perjodohan itu. "Nak, kamu tau sendiri gimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai. Kimmy udah kehilangan kedua orang tuanya dari usia satu tahun dan cuma dibesarkan oleh kakek dan neneknya sejak kecil. Dan, setelah neneknya meninggal dua tahun lalu, dia memang berubah menjadi sedikit liar, karena mungkin dia kehilangan pegangan, dia merasa nggak ada lagi sosok yang selalu ada untuknya sejak kepergian neneknya. Karena kakeknya masih disibukkan dengan perusahaan konveksinya." Zayyan masih terdiam, Rima terus berusaha meyakinkannya. "Hadi sudah beberapa kali mengalami serangan jantung. Bayangkan gimana perasaannya kalo dia pergi meninggalkan dunia ini tanpa ada yang menjaga cucunya. Itu sebabnya dia sangat ingin menjodohkan cucunya dengan kamu, Zayyan. Agar dia bisa pergi dengan tenang jika suatu waktu dia benar-benar pergi meninggalkan dunia ini. Itu yang dia bilang sama Bunda." Mendengar penjelasan bundanya, Zayyan terdiam. Rasa empati ada Kimmy mulai tumbuh dalam hatinya. Mendengar cerita tentang latar belakang Kimmy membuatnya sedikit merasa tersentuh karena iba. Namun, dia kembali merasa sedikit ragu. "Bunda, aku mengerti situasinya, tapi apa Kimberly mau nikah sama Zayyan?" Rima mengangguk pelan. "Kemarin sih belum, nggak tau deh kalo sekarang. Semoga aja dia udah berubah pikiran, sama seperti kamu." "Tapi setahu aku, dia sudah memiliki pacar di kampus, Bun. Aku sering melihat dia bersama salah satu mahasiswa dari fakultas seni." "Justru itu, Hadi sangat menentang hubungan mereka, karena lelaki itu adalah orang yang telah membuat Kimmy berubah. Hal itulah yang membuatnya berpikir tentang rencana perjodohan ini." "Aku akan mempertimbangkannya lagi, Bunda. Kasih aku waktu sampai besok," ujar Zayyan akhirnya. "Karena aku perlu waktu untuk berpikir. Aku ingin memastikan bahwa keputusan ini bukan hanya untuk memenuhi permintaan seseorang, tetapi juga memang yang terbaik untuk masa depan aku." Rima tersenyum, air matanya masih mengalir. "Makasih, Nak. Kamu nggak tau betapa bersyukurnya Bunda kalau kamu bener-bener terima perjodohan ini. Kasih Kimmy kesempatan, dan mungkin kamu akan melihat sisi baiknya yang belum pernah kamu lihat sebelumnya." Zayyan mengangguk pelan. Meskipun hatinya masih bimbang, dia berjanji kepada dirinya sendiri untuk setidaknya mencoba mengenal Kimmy lebih baik sebelum mengambil keputusan akhir. Tapi, dia sudah menodai Kimmy, dia harus menikahinya. *** Keesokan paginya, Kimmy meninggalkan rumah sakit dengan hati yang berat dan mata sembab setelah seharian kemarin menangis. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran akan kondisi kakeknya, namun dia tahu bahwa dia harus tetap fokus pada ujiannya. Hari itu, kelas Zayyan adalah yang pertama dalam jadwalnya. Sesampainya di kampus, Kimmy buru-buru menuju ruang kelas meskipun sudah terlambat lima menit, dia tetap harus mencobanya, siapa tahu Zayyan kali ini mengizinkannya masuk ke kelas. Dengan napas terengah, dia mengetuk pintu kelas dan membuka sedikit pintunya. Zayyan, dosen yang terkenal ketat, menatapnya dengan tatapan dingin, namun tidak seperti biasanya yang langsung melarang Kimmy untuk masuk, kali ini dia mengangguk pelan, memberikan izin pada Kimmy untuk masuk. "Cepat masuk!" ucapnya dengan nada datar. Kimmy terkejut, begitu pula teman-teman kelasnya. "Kesambet setan apa dia hari ini? Tumben banget ngizinin gue masuk? Padahal kan gue udah telat sepuluh menit. Biasanya telat satu menit aja dia nggak ngizinin gue masuk. Apa jangan-jangan karena kejadian malem itu?" batin Kimmy. Kemudian dia cepat-cepat melangkah masuk dan duduk di kursi yang masih kosong, memulai ujiannya dengan tekad yang kuat. Dia ingin membuktikan pada dirinya sendiri dan kakeknya bahwa dia bisa lebih fokus pada kuliahnya agar bisa lulus lebih cepat. Setelah ujian selesai, Kimmy keluar dari kelas dan melihat Marcel sudah menunggunya di depan pintu. Wajahnya terlihat khawatir. "Sayang, kenapa kamu nggak datang ke kafe kemarin? Aku udah nunggu kamu lama lho. Aku telfon kamu juga nggak diangkat-angkat. Kamu ketiduran atau gimana?" kata Marcel, nadanya penuh kekhawatiran. "Terus kemarin malam tuh kamu ke mana sebenernya? Kok habis tampil aku tungguin kamu nggak ada kabar?" Kimmy menghela napas, matanya kembali berkaca-kaca, namun dia tahan, karena image-nya sebagai wanita tangguh di kampusnya bisa rusak jika sampai dia menangis di sini. "Kakek aku masuk rumah sakit lagi, Marcel. Serangan jantungnya kambuh. Jadi, aku nggak bisa datang kemarin. Maaf udah buat kamu nunggu," jawabnya dengan suara gemetar. Marcel tampak terkejut, tapi kemudian menghela napas panjang. "Aku ikut prihatin, Sayang." Kimmy mengangguk sambil tersenyum tipis. "Beib, kamu mau kan ikut sama aku ke rumah sakit buat jenguk Kakek?" tanyanya menatap Marcel penuh harap. Marcel tertegun, tampak bingung harus menjawab apa. "Maaf, Beib, kayaknya nggak bisa deh. Malam ini aku harus tampil di party ulang tahun salah satu influencer. Aku bener-bener nggak bisa ikut ke rumah sakit. Aku harus latihan dan persiapan buat nanti malam." Kimmy merasa kecewa, tapi berusaha menahan emosinya. "Marcel, tolong. Sebentar aja. Aku butuh kamu di sana. Siapa tau, Kakek luluh dan mau nerima kamu jadi calon cucu menantunya kalo kamu jengukin dia kali ini," pintanya dengan suara memohon. Akan tetapi, Marcel menggeleng. "Maaf, Beib. Ini penting buat karir aku. Tolong ngertiin aku." Kesal, Kimmy menginjak kaki Marcel dengan cukup keras. "Aaargh!" pekik Marcel sambil memegang kakinya yang diinjak Kimmy. "Sakit, Sayang!" "Kapan aku nggak ngertiin kamu, huh? Kamu yang nggak pernah ngertiin aku, Marcellino! Aku butuh kamu sekarang buat buktiin sama Kakek kalo kamu itu cowok yang baik buat aku! Tapi kamu nggak pernah ada effort apa pun untuk itu! Aku ngerti sekarang kenapa Kakek aku nggak pernah bisa respect sama kamu!" teriaknya sambil berlalu meninggalkannya. Zayyan yang masih berada di dalam kelas dan menyaksikan kejadian itu melalui celah pintu yang terbuka setengah pun, hanya bisa mengulum senyum. Sikap Kimmy mulai menarik perhatiannya. "Beib, tunggu!" Marcel berlari mengejar Kimmy dan meraih bahunya, tapi Kimmy terus menepis tangannya dengan kasar. "Lepasin, Marcel!" bentaknya. Marcel mencoba meraih Kimmy lagi. "Sayang, denger dulu. Aku bukan nggak peduli, tapi ...." Akan tetapi, Kimmy sudah tidak mau mendengarkan dan sengaja memotong perkataannya. "Kamu selalu aja punya alasan! Kamu nggak pernah peduli sama aku! Aku capek sama sikap kamu yang kayak gini. Let's break up, Marcel!" Marcel terdiam, tercengang dengan perkataan Kimmy. Kimmy pun berlari cepat menuju parkiran, meninggalkan Marcel yang masih berdiri terpaku di tempatnya berdiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN