Bab 12 : Lolos!
Batu saja mereka bernapas dengan lega, dan merasa aman. Namun, sudah ada sekelompok petugas stasiun kereta itu, mendatangi mereka. Cydney begitu takut, dan bersembunyi dibalik tubuh Louis. Laki laki itu menatap gadis yang tampak lucu dengan rasa takut yang berlebih.
"Bagaimana kalau mereka salah satu orang orang Marco? Sebaiknya kita kabur saja," bisik Cydney. Bukan pada telinga, tetapi justru di bahu Louis. Karena tinggi yang tidak setara membuat Cydney susah berkomunikasi dengan bisik membisik.
"Dalam hitungan ketiga," balas Louis dengan tidak kalah berbisik. Petugas masih sedikit jauh dari keduanya. Berjarak sekitar dua puluh meter.
"Oke!" seru Cydney.
"One, two, and go!" Tepat saat itu, kereta pun mulai berjalan dan menutup pintu secara perlahan. Sebelum benar benar tertutup sempurna, Louis menarik kembali tangan Cydney. Berlari dan lagi, memasuki lorong terakhir pada gerbong kereta.
"Raih, pintunya Cydney. Cepat. Sebelum tertutup!" seru Louis. Suara peluit pun terdengar memekik telinga untuk menghentikan aksi keduanya. Kini mereka juga mencemaskan kondisi keduanya.
"Susah!" teriak Cydney.
"Cepat!" Louis, mendorong tubuh Cydney, dan dia berhasil menahan pintunya. Gadis itu berdiri tepat di ambang pintu agar tidak tertutup dan Louis bisa masuk.
"Raih tanganku, cepat!" Cydney mengulurkan tangannya, dan di detik terakhir, sebelum dia kehabisan pijakan, Louis berhasil meraih tangan Cydney, dan masuk kedalam kereta yang menambah kecepatannya.
Napas keduanya tersenggal senggal. Dan menatap pada beberapa petugas itu, dia menunjuk nujuk ke arah mesin penjual minuman yang telah Louis tendang sebelumnya.
Sejenak, Louis dan Cydney, saling pandang. Ternyata keduanya bukanlah bagian dari Marco. Mereka ingin protes dengan cara Louis membeli minuman dengan curang, dan merusak fasilitas umum itu.
Tawa keduanya pun pecah, seperti orang gila. Mereka ketakutan dengan hal yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pelarian mereka sebelumnya.
"Gila! Ini hal tergila yang pernah aku lakukan!" tukas Cydney, dengan memegang perutnya yang terasa kaku, karena tidak berhenti tertawa.
"Konyol! Seharusnya kita tidak berlari tadi, aku masih lelah," timpal Louis.
"Kamu kan yang menyarankan berlari?" ucap Cydney. Dengan cepat, Louis menoleh, dan memicingkan matanya.
"Aku? Siapa yang berbisik pada bahuku? Yang memprovokasi kalau mereka adalah anak anak dari Marco? Kamu kan?!" sungut Louis. Dia lelah dan kesal, ditambah tuduhan yang sama sekali tidak dia lakukan.
"Kenapa kamu menyetujui ajakanku? Apa kamu sama sekali tidak mengenal siapa siapa orang orang Marco?!" Cydney tidak ingin kalah dari perdebatan.
"Ya– mana aku tahu, koneksi Marco sangat luas, bahkan aku tidak menjamin kita bisa selamat, jika tetap berada di Kota ini. Gila, ini kota seperti apa, kenapa tidak ada satu aparat yang menyergap rumah gila itu!" ungkap Louis dengan kesalnya.
"Kita kabur saja keluar kota ini," usul Cydney.
"Cukup! Kita akan berpisah, setelah kereta ini berhenti, di pemberhentian terakhir. Kamu merepotkan aku!" Louis mendelik dan membuang tatapannya pada luar jendela. Hanya ada sorot sorot lampu yang bisa dia lihat.
"Aku– aku tidak tahu selain kota Maxtron. Dan– aku– aku tidak punya uang–" Cydney melihatkan deretan giginya.
"Ck– sama saja!" gumam Louis.
"Kenapa kamu bisa ada di sana?" tanya Louis. Pertanyaan itu, sukses membuat Cydney, teringat akan sosok ayah, yang sudah tiga bulan tidak dia temui. Wajahnya muram dan menyimpan kesedihan yang mendalam.
Cydney, menceritakan kronologi yang hanya dia ketahui. Kehidupan sebelumnya, dan juga bagaimana dia sampai berada di rumah Marco. Bagaimana Marco menghabisi nyawaa sang Ayah, menurut cerita Marco. Cydney, ingin melihat langsung kondisi rumahnya. Namun, dia tidak bisa, sampai di sana.
Cydney, juga menceritakan bagaimana Marco memperlakukan dirinya selama tiga bulan ini. Bagaimana melayani nafsu Marco yang benar benar gila.
"Lalu bagaimana denganmu? Bagaimana bisa kamu bergabung dengannya, dan sekarang memilih lari darinya?" Cydney berbalik tanya. Dia ingin tahu cerita apa yang telah di lewati lelaki yang telah berjasa menolong dirinya.
"Aku memiliki banyak hutang, kepalaku akan di jadikan pengganti lampu jalan jika tidak membayarnya. Sangat banyak, dan mustahil aku membayarnya dengan singkat. Satu juta dollar, dalam lima hari, adalah hak mustahil untukku."
Louis menatap Cydney, yang mendengarkan ceritanya dengan jeli. Menopang dagu dan menumpukan sikunya pada lututnya.
"Lalu?"
"Aku bertemu Marco di Hotel Deluna's. Entah dorongan dari mana, aku meminta bantuan dan menawarkan diri untuk ikut jaringannya. Mencari banyak gadis yang bernasib seperti dirimu. Menghabisi mereka dan mengambil anak gadisnya untuk di jadikan wanita pekerja komersial." Louis menjeda ucapannya.
"Aku tidak sanggup lagi, membakar, membunuh mereka. Aku pernah berada di posisi mereka. Setidaknya seharusnya mereka memberikan kesempatan hidup. Karena mereka mengambil anaknya. Aku kasihan pada mereka. Meski aku bukan orang baik, tapi aku tidak ingin membunuh, dan menjadi pembunuh," tutur Marco.
"Jadi alasannya, karena sisi baikmu yang mengajakmu untuk pergi?" tanya Cydney.
"Entah, kamu menyebutnya apa, tapi aku tetap lelaki yang jahat, dan tidak sebaik yang kamu kira," tukas Louis dengan dingin.
"Baiklah, apapun itu, aku tetap berterima kasih padamu. Jika bukan karenamu, aku akan tetap di sana dan melayanii, laki laki yang datang silih berganti," jelas Cydney.
Louis tidak menanggapi apapun ucapan Cydney, dia memejamkan matanya karena terlalu lelah, dengan berlari tanpa henti. Dan bergelut dengan pikiran ketakutan jika tertangkap dengan anak buah Marco.
Hampir dua jam, keduanya berada di dalam kereta bawah tanah yang membawanya di ujung Kota Maxtron. Keduanya tertidur, hingga petugas kereta api, membangunkan mereka.
Keduanya membuka mata, dan meliahat sekeliling telah sepi. Bahkan lampu lampu di tangga menuju ke atas pun hampir semua di matikan.
Cydney, di bantu oleh Louis, bangkit. Mereka keluar dari gerbong kereta. Menaiki satu persatu anak tangga, dan kembali berada di jalan raya. Masih terlihat begitu ramai.
Kota Maxtron, terkenal seperti kota yang tidak pernah tidur. Ada saja aktivitas yang terjadi di luar atau dalam ruangan. Itulah sebabnya banyak yang ingin mengetahui seperti apa kota ini. Namun, banyak juga yang menyalah gunakan kebebasan itu. Seperti orang layaknya Marco.
Louis kembali mendekati mesin penjual minuman. Dia melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Namun kali ini dia mengambil dua minuman. Tidak akan menghilangkan dahaga jika hanya satu dibagi menjadi dua.
Cydney dan Louis duduk di halte busway. Menikmati segar dan dinginnya minuman yang mereka genggam, dan teguk.
"Kita kemana sekarang?" lirih Cydney, dengan tatapan sayu pada Louis. Berharap lelaki itu masih mau membantu dirinya.
"Aku akan pergi dari kota ini. Tapi, aku tidak tahu denganmu. Aku harap, kamu tidak akan mengikutiku lagi," hardik Louis.
"Please," pinta Cydney. Mengiba dan memelas, dengan wajah yang dibuat seperti seekor kucing, yang lucu.
Louis, menghembuskan napasnya, dia tidak ingin diikuti lagi, dan dibebani dengan seorang wanita. Ia tidak mau, ada masalah lagi dengan adanya wanita dalam hidupnya. Untuk sejenak mereka bisa lolos dari Marco. Namun kedepannya, tidak ada yang tahu. Meski mereka masih berharap Marco tidak akan pernah bisa menemukan keduanya.
Cydney memiliki, banyak mimpi. Meski dia harus meninggalkan kehidupannya dulu, berkuliah bertemu dengan teman. Namun, keselamatannya kali ini jauh lebih penting dari hanya sebuah kebersamaan dengan teman. Bukan tidak mungkin, Marco juga akan menyeret teman teman Cydney bukan?
Begitupun dengan Louis, pikirannya terus berputar dan mencari cara agar dia benar benar bisa lari dan lepas dari kejaran Marco yang begitu bengis. Laki laki ini, sepeda terlepas dari kandang macan, tetapi terjerumus ke lubang buaya. Seperti buah simalakama, yang memilih atau tidak tetap saja dia akan celaka dan sial.
Akankah, Louis mau menolong Cydney? Atau dia tetap membiarkan Cydney melawan kehidupan sendirian di Kota yang mengerikan?
To be continued...