Day 1 as a husband and wife

1172 Kata
Ternyata rangkaian acara pernikahan yang aku takuti ternyata tidak semenyeramkan itu, semuanya lancar, seluruh anggota keluarga ku datang tanpa terkecuali. Padahal di pikiranku pasti akan ada drama yang akan mengacaukan pernikahan kami, apa lagi di hari sebelum kami siraman, ada paket kado berisi testpack yang sengaja di kirim ke rumah ku. “Liburnya masih lama ya?” Tanya Mas Al, pria itu baru saja keluar dari kamar mandi, dengan handuk tipis yang melilit di pinggang nya, aku menatap Mas Al dengan tatapan tajam, namun ia seakan tidak peduli dengan tatapan ku. “Kok keluar dari kamar mandi, Cuma handukan sih?! kok gak pakai baju dulu?” Tanya ku. Mas Al hanya mengangkat bahu dengan acuh lalu berjalan melewati ku dan berdiri di depan lemari kami sembari memilih-milih baju yang akan ia pakai hari ini. “Kan di kamar mandi tidak ada lemari.” Jawab nya, santai. Aku mendengus kesal, apa dia tidak merasa bersalah kepada ku jika hanya memakai handuk seperti itu? apa dia tau badannya itu bagus? Apa ia tidak takut jika sewaktu-waktu handuknya bisa lepas? Aku belum siap. “Tapi kan bisa sekalian bawa baju ke kamar mandi, habis mandi baju nya langsung di pakai.” Sambung ku. Aku mengalihkan tatapan ku dari Mas Al takut-takut jika ia berpikir macam-macam tentang ku. “Kalau di kamar mandi nanti bajunya basah, memang kenapa kalau pakai baju di sini?” Tanya nya. Ia masih di sana, di depan lemari kami dan memilih baju nya, cukup lama, padahal kami tidak akan kemana-mana hari ini. “Ya malu.” Jawab ku, aku masih membelakanginya, enggan menatapnya. “Kenapa?” Tanya nya, lagi. menyebalkan. “Ya malu aja, emang kamu gak malu? Kalau aku mah malu.” Jawab ku, setelahnya Mas Al tidak merespon, namun ia menuruti kata-kata ku, ia berjalan menuju kamar mandi, melewatiku yang masih enggan untuk menatapnya. Tidak lama setelahnya ia kembali, lengkap dengan baju kaos hitam polos, dan celana pendek abu-abu nya, ini adalah kali pertama ku melihatnya memakai pakaian seperti itu, sebab selama ini Mas Al selalu nampak rapih jika bertemu dengan ku. “Udah benar begini?” Tanya nya. Aku tersenyum dan mengangguk. “Hari ini gak mau kemana-mana? Mau di rumah saja? Atau mau belanja bulanan? Mumpung masih libur.” Mendengar kata belanja bulanan aku jadi excited sendiri, sudah lama aku menantikan momen seperti ini, bahkan sejak aku masih berpacaran dengan Aldo. Terkadang, setiap kali pulang kerja dan mampir untuk membeli sesuatu di mall, aku iri melihat pasangan yang seumuran dengan ku tengah berbelanja bersama, lengkap dengan anak mereka apa lagi di awal bulan. “Boleh.” Jawab ku. Mas Al mengangguk, kemudian menyambar dompet dan kunci mobil nya yang tergeletak di atas meja rias ku, jika kalian bertanya, bagaimana dengan isi dari surat perjanjian itu, jawabannya BATAL, iya, kami sepakat untuk tidak bermacam-macam seperti kemarin lagi, takut-takut jika keluarga kami tau dan membuat mereka kecewa. “Kamu gitu aja? Gak mau ganti baju dulu?” Tanya ku. Ia terlihat terlalu santai dengan baju kaos dan celana pendek nya, dompet dan ponsel nya pun hanya di pegang begitu saja. Mas Al menggeleng dengan raut wajah yang kebingungan. “Kenapa? Jelek ya?” Tanya nya. “Nggak, gak jelek. Yaudah ayo mumpung masih siang.” Mas Al merangkul ku, menggiring ku berjalan keluar dari kamar kami. Dan lagi-lagi aku merasakan debaran yang sama, aku selalu salah tingkah setiap kali Mas Al memperlakukan ku seperti itu. “Kamu kenapa jadi tegang begini?” Tanya Mas Al, aku buru-buru melepas tangannya yang masih setia merangkul ku padahal kami sudah dekat dengan mobil. “Tangan kamu berat.” Jawab ku, sebenarnya pipi ku memerah, maka dari itu aku langsung berlari ke mobil, dan Mas Al menyusul di belakang ku. Untung saja Jakarta di siang itu tidak terlalu macet, jadi perjalanan yang seharusnya kami tempuh selama sekitar satu jam jika macet, menjadi hanya dua puluh menit. Sesampainya kami di sana, Mas Al langsung menjadi pusat perhatian orang-orang, tubuh nya yang tinggi tegap menjadi santapan tersendiri bagi perempuan-perempuan lajang yang kebetulan belanja sendiri, dan konyol nya Mas Al tidak sadar akan hal itu. “Tolong pegang.” Ucap Mas Al sembari menyerahkan ponsel dan dompet nya kepada ku, sementara ia memilih untuk mendorong troley menyusuri lorong demi lorong untuk mengambil kebutuhan kami. “Kamu kenapa?” Tanya nya. Mata ku sibuk menatap tajam ke arah mata perempuan-perempuan yang menatap genit suami ku, oke, ini terdengar geli. Tapi aku memang tidak nyaman ketika mereka menatap haus Mas Al. “Besok-besok gak usah pakai baju sama celana ginian lagi deh kalau keluar, tuh liat banyak banget mata jelalatan yang liatin kamu. Lagian segala pake baju hitam, celana abu-abu, kamu gak sadar apa badan kamu itu bagus? Tuh arah angka jam 2 kamu, ada yang sampai videoin diem-diem.” Ucap ku, Mas Al langsung melirik ke arah jam 2 nya, lalu menyadari bahwa seseorang telah mengambil foto nya secara diam-diam. “Ayo.” Ia menarikku, menempatkan ku, di depannya dengan posisi ia di belakang ku sembari mendorong troley, sehingga ia seperti sedang memelukku dari belakang. Ia yang dasarnya memang sudah lebih tinggi dari ku tentu tidak masalah, bahkan kami semakin menjadi pusat perhatian. “Apaan sih mas, di liatin orang.” Ucap ku sembari berusaha kabur, namun tenaga nya jauh lebih besar di bandingkan aku sendiri, ia mengunci ku di antara kedua tangannya. “Biar kalau ada yang ambil foto atau video, mereka bisa makin iri, soalnya saya punya kamu.” Balas nya dengan enteng. Jantungku berdebar tidak karuan, apalagi ketika Mas Al secara tidak sengaja mendekatkan kepalanya dengan ku, aku bahkan bisa merasakan hembusan napas nya. “Udah ah, jangan gini.” “Kenapa?” “Gak bebas ambil barang nya. Mas besok-besok kalau kemana-mana jangan pakai baju ginian lagi kalau gak mau di liatin orang.” Jawab ku. Ia tersenyum dan mengangguk, aku baru sadar kalau suami ku ini memang terlihat sebagai sosok yang husbandable, ia terlihat seperti pria pria hangat di luar sana, badannya bagus yang pasti jadi idaman perempuan lain, wajah nya tampan, dan bonus utama nya adalah dia seorang dokter. Harusnya aku bersyukur bukan? Memiliki sosok suami sepertinya. “Fudhail?” Sebuah suara membuat kami berdua berhenti, perempuan berambut pendek dengan dress selutut dengan troley belanjaan yang belum terisi apa-apa, muncul di hadapan kami, ku lihat wajah Mas Al biasa saja, namun raut wajah perempuan di hadapan kami tidak bisa bohong, ia terlihat sangat senang. “Iya Dokter Mila.” Ucap Mas Al. “Astaga long time no see yaa, makin ganteng aja. Kamu kenapa kayak ngilang deh? Kontak lama kamu udah gak di pakai ya? Aku pengen nge chat sama nelfon kamu buat nanya-nanya kabar jadi gak bisa deh. Oh iya how’s life?” Perempuan itu meracau, senyum nya mengembang sempurna ketika berbicara dengan Mas Al sementara Mas Al hanya diam, memasang ekspresi wajah datar. “Iya di ganti. Ini istri saya, namanya Celine, Cel, dia Mila satu angkatan pas kuliah.” Raut wajah perempuan yang bernama Mila ini seketika berubah ketika mendengar Mas Al menyebut kata istri ia berkali-kali mencuri-curi pandang ke arah ku. Iya, aku tau apa yang sedang ia pikirkan, Fudhail si manusia religius yang bahkan tipe nya tak satupun mengarah kepadaku, tiba-tiba memiliki istri seperti ku. “O-oh hai.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN