Si Cantik Sheren Paulina

1120 Kata
"Ya ampun, Raisa. Dia kan Nayra Friska. Yang terkenal pinter itu di sekolah. Kok dia jadi pembantu?" seru Ila tertahan. Raisa yang menyetir menggelengkan kepalanya. Ekspresi tidak percaya terpancar dari wajah keduanya. "Bukannya dia dapat beasiswa dulu untuk kuliah di salah satu universitas negeri?" gumam Ila lagi. "Iya ya. Kok dia bisa jadi pembantu? Padahal dia pinter banget loh. Juara terus di kelas. Tapi memang dia kan dari keluarga nggak mampu sih. Tapi perasaanku dia kan anaknya semangat banget belajarnya..., sayang ya, Ila...," Keduanya masih tidak percaya. Apalagi saat Nayra bersimpuh di hadapan mereka. Wajah sedih Nayra masih terbayang di benak Raisa dan Ila. "Aku pernah belajar satu kelompok sama dia, Ila. Anaknya baik. Mau ngajarin kita-kita kalo nggak ngerti. Emang sih, aku nggak kenal dekat," gumam Raisa. Dia jadi tidak enak hati saat matanya beradu pandang dengan mata sedih Nayra. "Duh. Gara-gara dia muncul, aku jadi nggak kosentrasi dengerin Pak Guntur jelasin artikel tadi," gerutu Raisa. Dia memang sangat Syok dengan kemunculan Nayra tadi di rumah Pak Guntur. Juga Ila *** Sementara itu di kamar Mbok Min. Naira terduduk sambil memeluk dua lututnya di sudut kamar. Menangis tersedu-sedu di sana. Ini yang sama sekali dia tidak inginkan. Bertemu temannya. Apalagi dalam keadaan menjadi seorang pembantu. Dia merasa dirinya begitu rendah, apalagi saat harus bersimpuh di hadapan mereka. Nayra khawatir, kabar dirinya menjadi pembantu rumah tangga akan tersebar luas di kalangan teman-temannya, dan pasti jadi bahan pergunjingan. Nayra menggigit bibirnya getir. Sedikit cemburu dengan nasib teman-temannya yang bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sementara dirinya tidak. Dia malah harus mengayuh sepedanya menjual jamu keliling untuk ikut memenuhi kehidupan keluarganya. Nayra langsung menghubungi ibunya saat itu juga. Berharap mendapat dukungan dan nasihat. Karena kata-kata ibunya memang selalu menghangatkan jiwa raganya. Segala kesedihan dia tumpahkan. Dia tidak mampu menahan perasaannya. Ditambah lagi dengan ketidaksukaannya terhadap sang majikan. Nayra benar-benar sedih dengan keadaannya sekarang. Kata-kata penuh sesal dia utarakan ke ibunya, menyesal menyanggupi permohonan Mbok Min. "Menjadi pembantu itu bukan pekerjaan rendah, Nay. Jika kamu melakukannya dengan baik, ikhlas, pekerjaan apapun mulia di mata Allah. Itu jerih payah kamu. Kita jual jamu keliling, nggak hina. Kita jadi buruh cuci juga nggak hina. Kita harus bersyukur bisa membantu meringankan pekerjaan orang lain, kita juga mendapatkan rezeki dari sana." Suara renyah ibunya cukup menenangkan Nayra akhirnya. "Jangan pernah merasa rendah, Sayang. Ibu tau kamu kuat, Nak. Kamu teguh pendirian. Kamu anak Ibu yang pandai, rajin, lincah... Yang sabar. Toh sebentar lagi Mbok Min pulang. Kamu bisa bebas jualan lagi," "Iya, Bu." "Nah. Begitu dong. Ingat ibu, ingat Farid. Kita saling sayang, saling dukung. Ini juga kan maunya kamu bantu Mbok Min. Ingat saja niat awal. Kamu akan melewatinya nanti. Tenang saja..." Kata-kata Bu Ola sekejap menghangatkan hati Nayra. "Iya, Bu. Aku akan kerja dengan sebaik-baiknya," ucap Nayra akhirnya. ______ Sedih Nayra berkurang setelah mendengar nasihat ibunya. Dia kembali b*******h bekerja. Apalagi saat mendengar suara Bu Sari yang sayup-sayup terdengar dari dapur rumah Pak Guntur. Nayra menghela lega. Bu Sari sudah kembali ke rumah. Cepat-cepat dia mencuci wajahnya, biar dia tidak terlihat sedih di hadapan Bu Sari. _____ Malamnya, "Wow. Cantik banget ya, Bu. Artis ya?" gumam Nayra bertanya ke Bu Sari yang sedang menyiapkan makanan dan minuman hangat buat tamu Pak Guntur kali ini. "Itu tunangannya Pak Guntur. Namanya Sheren. Katanya terkenal, artis apa ya? Yang terkenal di medsos-medsos gitu. Nggak ngerti ibu," jawab Bu Sari. "Mau kamu yang antar minuman ini, atau Ibu?" tawar Bu Sari bertanya ke Nayra yang wajahnya penuh binar sehabis mengintip tamu perempuan Pak Guntur yang sudah duduk rapi di ruang tamu. Nayra menganga. Sepertinya dia belum puas melihat tamu Pak Guntur yang satu ini. "Iya, Bu. Biar aku aja," tanggap Nayra senang. Kali ini Nayra semangat. Dia sudah mengetahui tamu yang dia layani. Seorang perempuan yang sangat cantik. Meski ada Pak Guntur di hadapan tamunya, Nayra tidak gentar ingin melihat secara jelas perempuan yang wajahnya bak boneka barbie. _____ "Terima kasih udah jenguk," ucap Pak Guntur. "Mas Gun harus banyak istirahat. Ini aku bawakan madu Manuka. Asli dari New Zealand. Kalo aku nggak enak badan, minum ini. Dicampur air hanget ama jeruk lime atau lemon. Kalo nggak suka kecut, air hangat aja udah cukup kok," jelas Sheren sambil menyerahkan sebuah botol kecil berisi madu. Wajah Guntur yang sayu karena kurang fit, tersenyum mendengar penjelasan Sheren. Diraihnya botol berisi madu dari tangan Sheren. Ucapan terima kasih tidak lupa diucapkan kembali oleh Guntur, ucapan yang disertai batuk-batuk kering dari tenggorokannya. "Oh iya, Mas. Sampaikan terima kasih aku ke ibunya Mas. Repot-repot kasih aku oleh-oleh dari Jambi." "Loh? Kenapa kamu nggak sampaikan langsung?" "Susah susah gampang menghubungi orang sibuk kayak ibunya Mas." "Lewat pesan pasti dibaca kok..., tapi yah. Nanti aku sampaikan." Lalu keduanya terdiam saat Nayra muncul membawa baki berisi minuman dan makanan. "Silakan, Mbak...," ucap Nayra setelah meletakkan sajian dengan rapi di atas meja tamu. Dia tampak bersimpuh sopan di hadapan Sheren. Nayra yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk melihat wajah Sheren lebih dekat, mendongakkan kepalanya seraya menatap wajah bak malaikat itu. Putih bersih, selaras dengan lengan dan sekujur tubuhnya. Kakinya? Aduhai mulusnya. Meski sebentar, Nayra cukup puas melihat pemandangan indah itu. Tampak Pak Guntur memejamkan matanya mengamati ekspresi berlebihan Nayra terhadap tamunya. Wajahnya tidak semangat. Terlihat raut sinis dari Sheren saat melihat punggung Nayra yang menjauh dari hadapannya. Nayra menyadari sikap Sheren. Tapi dia tidak begitu memperdulikan. Dia cukup tahu diri. Nayra hanya senang melihat wajah cantik dia. Itu saja. *** Nayra kecewa. Mbok Min memintanya untuk menambah satu minggu lagi menggantikannya bekerja. Alasan Mbok Min ingin menyenangkan hati emaknya yang sudah sehat. "Tanggung, Nay. Satu minggu pas kamu kerja satu bulan kan? Gaji juga jadi bertambah. Hehe...," "Ih, Mbok. Aku udah nggak betah," "Loh? Kok nggak betah gimana ceritanya? Enak kamarku tho? Kasur empuk, makan enak, kerja sitik-sitik, gaji jute jute...," Nayra menggelengkan kepalanya. "Satu minggu nggak kerasa, Nay. Bu Sar bilang kamu juga kerjanya rajin. Aku yo seneng," Nayra mencibirkan bibirnya. Wajahnya kusam seketika. "Awas kalo nambah lagi. Aku nggak mau liat muka Mbok Min," ancam Nayra sebal. "Iya, Nay. Ini emakku yo seneng. Kamu mau gantiin aku kerja. Dia sampe pingin liat kamu lo. Aku bilang orangnya lucu, Mak. Apalagi kalo cemberut...," "Ih, Mbok. Udah keenakan di kampung begitu ya? Lupa segalanya," "Nay..., Nay. Aku mau ajak emakku jalan-jalan dulu, bikin dia senang. Anak-anakku juga senang. Seminggu..., hehe. Senyum dong. Aku siapin oleh-oleh buat kamu. Tenang aja. Ya...ya...ya?" Suara Mbok Min renyah merayu Nayra. "Iyaaa..., janji ya? Awas lo." "Iyaaa, ntar aku suruh Pak Edi satpam komplek buat ajak temen-temennya borong jamumu. Aku udah hubungi dia. Hihi...," Nayra mendengus. Sejenak dia tersenyum. Mbok Min memang pandai dan panjang akal membujuk dirinya. Jualan jamu adalah kesenangannya, apalagi jika banyak yang membeli. "Ok..., Mbok." "Wes sumeh?" "Uwes..." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN