"Pak Gun sebenarnya sudah punya tempat tinggal sendiri di apartemen kecil di Serpong. Cuma sejak cere dari bininya, dia disuruh ibunya tinggal di sini. Takut digoda-goda ciwi-ciwi...,"
Nayra masih mencibir. Ternyata Pak Gun yang sengak itu anak mama. Nayra merasa sikapnya selama bekerja di rumah itu sangatlah tepat. Tidak perlu berbasa basi dengan makhluk menyebalkan itu. Karena bukan dia juga yang akan membayar gajinya, tapi ibunya, Hanindita Surayya.
"Bu Hanin itu kaya raya. Rumahnya banyak. Belum apartemen-apartemen. Kebun sawitnya berhektar-hektar di Sumatera. Tapi ya judes."
"Hah..., namanya juga orang kaya, Bu. Wajar dong cerewet...,"
"Ya..., tapi nggak galak-galak gitu juga kali, Nay..."
Nayra jadi penasaran dengan mamanya Pak Gun. Segalak apa sih? Kalau memang lebih galak dari Pak Guntur, wah bisa berabe. Dia kan gampang sakit hati, bisa bisa Nay ngambek, terus pulang. Kasihan Mbok Min.
Nayra pun memutuskan untuk cepat-cepat tidur malam itu. Dia ingin bangun pagi-pagi sekali, biar bangun segar dan bekerja dengan senang hati esok awal pagi. Biar cepat beres.
Semoga mamanya pak Gun tidak semenyeramkan yang diceritakan Bu Sar, harap Nay.
***
Dan pagi hari itu, Nayra bangun lebih awal dari pagi-pagi sebelumnya. Dia langsung ke luar membersihkan halaman rumah. Untung saja lampu sorot jalan menerangi halaman rumah Pak Gun, sampah-sampah dedaunan pun jadi terlihat jelas oleh Nayra, sehingga memudahkan kerja Nayra.
"Neng..., eh..., Nayra. Subuh-subuh dah ngosrek." Tiba-tiba seorang satpam komplek menegurnya. Sarung dan peci masih melekat di tubuh satpam yang bernama Pak Edi itu.
"Lagi rajin, Pak Edi," balas Nayra.
"Kapan jual jamu lagi, nih?"
"Dua minggu lagi, Pak, aku jualan lagi. Ini hanya gantiin Mbok Min sedang pulang kampung."
"Ah..., masih lama nunggu jamu kamu, Nay."
"Jangan ditungguin, Pak. Emang nggak ada yang lewat selain aku? Biasanya suka ada yang lewat kan?"
"Ada..., tapi nggak seenak jamu ibumu."
Nayra terkekeh. Memang jamu ibunya sangat enak. Ah, Nayra jadi semangat bekerja jika membayangkan minum jamu buatan ibunya.
"Ok, Nay..., selamat kerja. Ditunggu jamunya...," seru Pak Edi akhirnya.
"Iya, Pak Edi. Sabar, yak!" balas Nayra.
Dan ternyata, ada yang mengintip dan menguping percakapan mereka dari salah satu jendela yang terbuka di bagian depan rumah mewah itu.
Tampak Pak Gun sambil memperbaiki kacamatanya, menutup kembali hordeng jendela dan kembali duduk di depan meja kerjanya.
_____
Nayra yang sedang membantu Bu Sar menyiapkan sarapan Pak Gun langsung memberanguskan dirinya saat mendengar suara Guntur menegur Bu Sar.
Bu Sar hanya menghela napas jika Nayra bersikap seperti itu. Dia sudah hafal dengan gelagat Nayra jika mendengar atau melihat Guntur ada di sekitar dekat dirinya di rumah itu.
Guntur sekilas melirik tubuh kecil Nay yang berjalan cepat ke teras belakang. Ada raut kesal di wajahnya.
"Sekitar jam sebelas Ibu datang, Bu Sar. Masak seperti biasa. Ibu kan suka rawon. Bisa, Bu?"
Bu Sar mengangguk menyanggupi. "Iya, Den. Kalo bahan-bahan rawon sih lengkap. Ada lagi, Den Mas?" tanya Bu Sar sopan.
"Itu aja," jawab Guntur pendek. Kemudian membalikkan badannya meninggalkan dapur. Sekilas diliriknya teras belakang mengawasi Nayra muncul atau tidak. Nayra sepertinya benar-benar tidak ingin melihatnya.
_____
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit. Guntur dengan langkah santai dan senang menyambut ibunya yang turun dari mobil.
"Apa kabar, Gun?" tanya Bu Hanin. Seperti ibu-ibu kaya lainnya, perawakan Bu Hanin sangat wah. Meski usianya mendekati tujuh puluh tahun, tapi penampakannya seperti wanita umur empat puluhan. Sangat terawat. Make up wajahnya yang sedikit tebal, kacamata besar mahal bertengger cantik di hidung besarnya. Asesoris yang melekat di tubuhnya, jangan ditanya. Pasti mahal semua. Orang kaya soalnya.
"Baik, Bu," Guntur mencium tangan ibunya.
Guntur sepertinya sangat sopan dan patuh terhadap ibunya. Terlihat tangannya melingkar di pinggang ibunya saat hendak melangkah memasuki rumah, juga wajahnya sangat teduh saat menanggapi pertanyaan dari ibunya. Yah, pertanyaan penuh basa basi seputar hidup dan pekerjaannya.
Lalu keduanya memasuki rumah, diikuti seorang pembantu laki-laki yang membawakan barang-barang yang Bu Hanin bawa dari mobil.
_____
Dan sepertinya Nayra kali ini tidak bisa mengelak dari keberadaan Guntur. Karena dia sudah berjanji untuk membantu Bu Sar di dapur. Sesekali Guntur melirik gadis itu. Bagaimana dia tidak melirik? Sikap Nayra yang enggan melihatnya membuat Guntur bertanya-tanya. Nayra sama sekali tidak pernah berbasa basi dengannya selama bekerja sebagai pembantu di rumahnya. Tapi sepertinya Guntur menyukai hasil pekerjaan Nayra, sangat rapi dan bersih. Karenanya, dia biarkan saja Nayra bersikap demikian. Mungkin Nayra segan diajak bicara, begitu simpulnya.
Nayra tampak cekatan menata meja makan.
"Sudah siap, Bu Sar?" tanya Guntur.
Bu Sar yang sedang menyiapkan air minum menggangguk sambil berseru,
"Iya, Den. Ini tinggal air minum saja."
Nayra yang merasa tugasnya beres langsung melangkah ke luar menuju teras belakang.
"Hei. Kamu ke mana? Kerjaan kamu belum selesai," Guntur setengah berteriak mencegah jalan Nayra. Nayra menahan langkahnya. Tanpa menoleh sedikitpun ke wajah Guntur, dia kembali lagi ke dapur. Bu Sar jadi tidak tega melihat wajah murung Nayra.
"Kamu harus tunggu, sampai ibu saya selesai makan," lanjut Guntur menahan kecewa. Setelah itu dia meninggalkan dapur dengan langkah tergesa-gesa. Wajahnya pun masam.
"Kamu sih, pake pergi segala..., harusnya tunggu dia pergi baru kamu pergi juga...,"
"Kan emang tugasku selesai, kenapa dia nyuruh-nyuruh aku begitu? lagipula ini kan tugas Bu Sari,"
"Udah turuti aja. Mungkin karena ibunya datang. Dia butuh kamu."
Nayra benar-benar tidak enak hati. Suara berat Guntur yang sedikit membentak membuat runyam perasaannya.
***
Wajah Bu Hanin puas ketika melihat isi rumahnya, semua rapi juga bersih. Sesekali hidungnya terlihat mengendus aroma wangi. Tampak jari-jari tangannya menyentuh hampir di setiap perabotan mewahnya yang berada di ruang utama rumahnya.
Guntur yang di sampingnya turut tersenyum melihat sikap ibunya saat mengadukan jari-jarinya di hadapannya.
"Kita makan sekarang," ujar Bu Hanin akhirnya.
Guntur menganggukkan kepalanya. Dia tersenyum lega.
Lalu keduanya melangkah menuju dapur.
***
Setelah makan siang, Bu Hanin dan putra kesayangannya duduk-duduk di teras samping. Ada teh panas beserta kudapan manis menemani mereka di siang hari itu.
"Kamu masih keberatan menikah lagi, Gun?" tanya Bu Hanin setelah menyeruput tehnya. Wanita itu tampak relaks. Mungkin karena telah melewati makan siang yang lezat, serta puas mengamati rumahnya yang sangat terawat.
Pandangan Guntur tertunduk mendengar pertanyaan ibunya.
"Semalam ibu dihubungi Sheren. Dia mengeluhkan sikap kamu. Katanya dia merasa kamu tidak begitu semangat dengan pertunangan ini. Kamu tidak banyak bicara..., juga tidak antusias...,"
Guntur menelan ludahnya. Wajahnya berubah murung. Sedikit kecewa mendengar ungkapan ibunya mengenai Sheren.
"Ya..., bukan keberatan sebenarnya, Bu. Aku hanya merasa mungkin butuh waktu agak lama untuk mengenal Sheren."
Guntur memejamkan matanya sejenak.
"Dia sangat cantik. Baik juga. Aku menyukainya. Tapi untuk menikah..., terus terang aku belum siap."
Bu Hanin menghela napas berat. Ini kali keempat dia menelan kekecewaan. Sebelum-sebelumnya dia juga pernah menjodohkan Guntur dengan perempuan-perempuan yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga. Termasuk Sheren. Jika sebelumnya Guntur dengan tegas menolak karena dia merasa kesibukannya sebagai dosen sekaligus menjabat wakil dekan pertama di salah satu fakultas di kampusnya, kini sejak jabatan itu tidak lagi dia emban dan hanya menjadi dosen biasa, Guntur akhirnya menerima keinginan ibunya untuk dijodohkan dengan Sheren, meski sebenarnya dia sendiri tidak menginginkannya.
"Gun, Gun. Kamu mbok ya ingat umur toh, Gun. Udah empat puluh lebih. Masa mau sendirian terus. Kamu tuh ganteng, banyak yang mau. Cobalah buka hati. Sedikit aja."
Bu Hanin meletakkan cangkir tehnya ke atas meja. Lalu meraih piring kecil yang di atasnya ada dua potong kue lapis legit.