"Yuk. Sekarang kamu bantu Ibu menyiapkan sarapan pagi Pak Gun."
Nayra menuruti perintah Bu Sari.
Sesampainya di dapur, Nayra mengamati pekerjaan Bu Sari. Dalam hati dia sedikit tersentak, karena Bu Sari tampak tidak begitu semangat mengerjakan pekerjaannya. Mungkin bosan. Setiap hari begini, dan Bu Sari sudah enam tahun bekerja di rumah ini.
Bu Sari terlihat asal-asalan menyiapkan roti panggang dan potongan daging asap serta telur setengah matang di atas sebuah baki. Sekilas memang terlihat rapi, tapi bagi Nayra roti panggangnya masih tampak lembek, tidak se crunchy seperti buatan ibunya di rumah. Begitu juga dengan daging asapnya yang masih terlalu merah tak berbumbu. Jus jeruk yang disiapkan juga dengan gelas yang tak sesuai. Nayra hanya menggelengkan kepalanya melihat kerjaan Bu Sari.
Meski hidup sederhana, Nayra juga mengetahui cara-cara menyajikan makanan dengan baik. Ibunya terkadang mengajarinya. Sewaktu muda, Bu Ola pernah bekerja menjadi pramusaji di sebuah restoran mewah di kota Surabaya. Meski tidak lama, tapi cukup memberinya pelajaran berharga.
"Nay. Sisanya kamu kerjakan ya? Ibu mau ke belakang dulu. Kamu langsung bereskan piring-piring kotor. Terus, sink dapur dilap sekering mungkin, jangan sampai ada bulir-bulir air. Nanti siang kamu bantu Ibu masak lagi."
"Baik, Bu."
Setelah Bu Sari benar-benar lenyap dari dapur. Nayra nekad memperbaiki semua yang dipersiapkan Bu Sari. Dari roti bakar yang lembek, daging asap yang terlihat tidak menyenangkan, serta gelas jus yang tidak elok dipandang.
Tidak tahu juga kenapa Nayra ingin melakukan itu semua. Padahal dia jelas-jelas tidak begitu menyukai Pak Guntur.
Tiba-tiba Nayra mendengar bunyi pintu kamar seperti dibuka. Nayra cepat-cepat menyelesaikan tugasnya. Dia tahu, itu pasti pak Guntur.
Dengan secepat kilat, Nayra berlari pontang panting dari dapur menuju teras belakang rumah, ke kamar Mbok Min. Dia tidak ingin terlihat oleh Pak Guntur.
Tentu saja Bu Sari yang kebetulan sedang berdiri di depan pintu kamar Mbok Min terheran-heran dibuatnya.
"Nay? Ada apa? Kamu lari-lari begini?" tanya Bu Sari yang melihat Nayra yang wajahnya pucat dengan napas ngos-ngosan.
"Nggak papa, Bu. Cuma syok. Kirain ada ular tadi di dapur. Nggak taunya hanya tali rafia hitam tadi di sana," dusta Nayra.
"Lha, kamu tau itu tali rafia kok ketakutan gitu?"
Nayra hanya menggeleng.
Bu Sari masih terlihat bingung. Lalu pandangannya tertuju ke dapur, ada Pak Guntur yang sedang menikmati sarapan pagi.
Bu Sari tersenyum sekarang.
"Kamu takut sama Pak Guntur?" tanyanya. Dia tertawa.
Nayra tak sanggup menahan malu. Dia mengangguk.
"Ya Ampuun..., Nay Nay. Kenapa takut?"
Nayra yang masih ngos-ngosan tentu saja tidak segera menjawab. Dia sibuk mengatur napasnya.
"Haha..., Ibu ke dapur lagi ya? setelah Pak Guntur selesai makan, kamu kembali beres-beres bagian dalam rumah. Trus, bantu ibu di dapur. Beres-beres lagi setelah ibu masak."
Nayra mengangguk.
_____
Pak Guntur sangat menikmati sarapan pagi di pagi Minggu itu. Bu Sari senang melihatnya. Tidak seperti biasanya, duda itu menghabiskan sarapannya lebih cepat dari biasanya. Sekarang bahkan habis tak bersisa.
Bu Sari sempat bingung melihat piring-piring dan gelas berisi jus jeruk bersih mengkilap. Biasanya ada saja remah-remah pinggir roti yang tak termakan, atau kuning telur yang beredar di tepi-tepi piring.
Dan Bu Sari merasa bangga dengan dirinya sendiri.
***
Bu Sari tersenyum menggeleng melihat gelagat Nayra yang memastikan Pak Guntur benar-benar pergi dari rumah. Nayra yang awalnya wajahnya kelihatan cemas, terlihat lega ketika bunyi deru mesin mobil Pak Guntur terdengar menjauh dari rumah. Kemudian, barulah dengan semangat dia bekerja membersihkan dan membereskan rumah beserta perabotan.
______
"Kenapa kamu takut sama Pak Gun?" tanya Bu Sari saat istirahat makan siang. Nayra lahap sekali makan, karena lelah setelah bekerja sebelumnya.
"Bukan takut, Bu Sar. Males aja. Hm..., nggak suka gitu. Orangnya angkuh."
Bu Sari tertawa renyah sekali.
"Dia pembawaannya memang begitu. Aslinya mah baik banget loh."
Baik? Nabrak sepedaku dulu dikata baik?
Nayra diam saja. Dia tidak ingin menceritakan alasan yang sangat mendasar kenapa dia tidak menyukai Pak Gun kepada Bu Sari. Lagipula dia hanya bekerja di rumah itu hanya beberapa minggu. Setelahnya ya dia tidak akan berurusan dengan Pak Guntur.
______
Sudah seminggu Nayra bekerja di rumah Pak Guntur. Dia sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya beserta rutinitasnya. Badannya mulai tampak lebih berisi, karena pekerjaan di rumah duda kaya itu tidak selelah yang dibayangkan. Sangat ringan. Ditambah makanan yang serba ada dan lumayan enak-enak. Terkadang Nayra mengingat ibu dan adiknya. Ingin sekali dia berbagi, karena seringkali dia mendapatkan makanan berlebih yang harus dibuang karena tidak ada lagi yang menyantapnya.
Nayra selalu mempertahankan gaya kerjanya. Tidak ingin terlihat dan dilihat Pak Guntur. Setiap Pak Guntur ke luar dari kamar, Nayra yang sedang bekerja di ruang tengah cepat-cepat bersembunyi di mana saja. Yang terpenting tidak terlihat oleh duda itu. Jika kebetulan berpapasan, Nayra pura-pura tidak melihat, bahkan melengos ke arah lain.
Pernah suatu hari, Pak Guntur memergoki dirinya terlihat melengos dari dapur menuju teras belakang. Nayra pura-pura tidak mendengar ketika Pak Guntur memanggilnya dengan sebutan Hei. Wajah Pak Guntur berubah heran, tapi dia tidak memperdulikannya. Nay, juga tidak memperdulikannya.
_____
Bu Sari gelisah malam ini. Nayra tentu heran melihatnya. Biasanya Bu Sar terlihat relaks. Hampir setiap sebelum tidur, dia mengajak Nayra menyaksikan sinetron di televisi di depan kamar-kamar mereka, meski Nayra tidak tertarik menyaksikannya. Tapi tidak untuk malam ini. Bu Sar sebentar-sebentar garuk-garuk kepala.
"Bu Sar nggak nonton? Kok garuk-garuk? Ada yang kelupaan?" tanya Nayra heran.
Bu Sar akhirnya duduk di hadapan Nayra yang sedang memainkan ponselnya.
"Ibunya Pak Guntur besok datang," jawab Bu Sari. Kini dia tidak garuk-garuk lagi.
Nayra diam tidak bertanya. Dia merasa aneh dengan sikap Bu Sari.
"Orangnya galak. Cerewet. Ngomongnya nyelekit."
Nayra hanya diam tidak membalas apa yang Bu Sari katakan.
"Namanya Bu Hanin."
Nayra masih memainkan ponselnya.
"Kamu kok biasa aja?" tanya Bu Sar yang melihat Nayra santai tidak membalas kekhawatirannya.
"Trus? Aku harus gimana? Takut gitu? Kan aku belum liat orangnya..."
Bu Sar menggelengkan kepalanya.
"Ini lebih kejam daripada anaknya. Kalo Pak Guntur mah baik."
Mata Nayra mengerling mendengar kata 'baik' yang melekat di diri duda b******k itu.
Nayra menghentikan kegiatannya.
"Galaknya gimana, Bu?" tanyanya akhirnya.
"Pokoknya galak. Semua harus bersih. Debu-debu kalo menempel di barang-barangnya di rumah ini, dia ngomelnya panjaaaaang kayak kereta api...,"
"La? Kan tanggung jawab aku beberes, biar aku bersiin pagi-pagi besok. Bu Sar nggak diomelin deh. Toss...,"
Bu Sar tidak membalas telapak tangan yang disodorkan Nayra ke arahnya.
"Loh?"
"Masakan juga harus enak. Kalo nggak enak dibuangnya langsung di hadapan kita."
Nayra menghela napasnya. Dia berpikir sejenak.
"Masakan Bu Sar enak kok..., trus apa kurangnya?"
"Pokoknya orangnya ngomel-ngomel gitu. Mentang yang punya rumah. Adaaa aja salahnya."
Nayra menggelengkan kepalanya. Bu Sar sama aja dengan Mbok Min, jika menghadapi masalah selalu yang dipikirkan yang tidak baiknya terlebih dahulu, bukannya solusi yang dipikirkan. Dia pikir Bu Sari lebih bijak, ternyata sama saja.
"Besok pagi-pagi..., aku beres-beres rumah. Ntar aku bantu Bu Sar. Kita masak sama-sama. Kalo ada yang kurang aku kasih tau."
Bu Sar mengamati wajah binar Nayra. Sedikit merasa tidak yakin.
"Kalo dia ngomel-ngomel, biar aku nemenin Bu Sar diomelin besok. Jadi Bu Sar ada temennya. Aku."
Bu Sar menggelengkan kepalanya. Dia akui kerjaan Nayra memang lebih baik daripada kerjaan Mbok Min. Tapi masak?
"Kalo dia ngomel-ngomel soal debu, kan aku sendiri yang diomelin. Tenang aja, Bu Sar..."
Bu Sar menggosok lengannya.
"Emang dia nomong apa sampe nyelekit gitu, Bu?" tanya Nayra.
"Yah..., biasalah. Bilang kerja nggak becuslah, nggak bereslah. Trus, mukanya itu loh. Pokoknya nggak nyenengin banget. Nggak ada senyum-senyumnya."
"Hah. Kayak Pak Gun dong,"
"Beda, Nay. Pak Gun masih senyum dikit. Ibunya, ih, kalo kerjaan beres aja, tampangnya lempeng aja gitu, giliran ada yang salah, ngomelnya bisa seharian."
Bu Sar menjulurkan kakinya ke depan seraya menepuk-nepuk bawahan dasternya.
"Wajar sih. Rumahnya dia. Dia juga yang gaji kita...,"
Nayra terkesiap.
"Oh..., bukan Pak Gun yang gaji kita?" tanyanya menyelidik.
Bu Sar mendelik.
"Bukan. Pak Gun mah cuma dosen biasa. Mana sanggup punya rumah segede gaban kegini, sama gajiin lima pembantu."
Nayra mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencibir. Ternyata...,