14. Punya dan Besar

1175 Kata
Enjoy gaes! Jemima menangis tersedu di ruangan manajer klub. Tubuhnya tremor dan merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Tiga pengunjung laki-laki hendak melecehkannya di VIP room, saat dia tengah mengantarkan minuman untuk mereka. Jemima sudah hampir ditelanjangi oleh ketiga pria berengsek itu, jika saja Jonathan—sahabat dari Semeru tidak memasuki ruangan VIP tersebut karena salah masuk. “Sudah jangan nangis. Semeru sebentar lagi datang,” ucap Jonathan menenangkan. Di dalam ruangan manajer klub tersebut ada sang manajer, salah seorang waitress—rekan kerja Jemima dan juga David. Sementara Aris sedang mencarikan minuman untuk Jemima yang masih terus menangis. Jemima sadar, dirinya memang sudah kotor karena sudah beberapa kali disentuh oleh Semeru. Namun dia tidak pernah merasa terhina seperti sekarang, karena tiga orang pria sekaligus berniat menodainya. “Minum dulu, Jemi.” Aris yang baru masuk ke ruangan tersebut memberikan segelas air putih untuk Jemima. Jemima menerimanya dengan tangan bergetar, lalu meminum air tersebut dengan perlahan. “Terima kasih, Kak,” katanya terbata. “Sudah ya, jangan nangis lagi. Mereka sudah ditahan sama sekuriti dan sebentar lagi polisi datang.” Aris turut pula menenangkan Jemima. “Ini si Semeru lama banget datangnya.” Sementara David yang sedari tadi memilih diam dan hanya memandangi Jemima kasihan, mengomel karena Semeru belum juga datang. “Jemima, saya antar pulang saja ya?” Aris memberi tawaran pada gadis berambut panjang kecokelatan itu. “Nggak usah aneh-aneh lo, Ris. Lo mau Semeru ngamuk?” Jonathan mengingatkan, karena tak ingin terjadi perpecahan di hubungan persabahatan mereka. “Gue nggak aneh-aneh lah. Orang gue cuma mau antar Jemima pulang.” “Saya mau, Kak. Tolong,” kata Jemima. Gadis itu hanya ingin segera pulang agar bisa beristirahat dengan nyaman. “Tuh, Jemimanya aja mau,” tukas Aris yang membuat Jonathan dan David saling bertatapan penuh arti. “Ayo, Jemi.” Aris mengulurkan tangannya yang tak disambut oleh Jemima. Setelah berpamitan dengan manajer klub, rekan kerja, Jonathan juga David, Jemima mengekori Aris menuju basemen. Tepat saat mereka hendak masuk ke dalam mobil, Semeru datang. “Pak Eru.” Jemima berlari memeluk Semeru, begitu pria itu turun dari kendaraannya. Jemima menangis lagi, kali ini di pelukan bos restorannya. Entah mengapa, begitu melihat sosok bosnya itu, Jemima merasa dirinya terlindungi. “Sudah, sudah, saya di sini.” Semeru menenangkan gadisnya. “Kamu nggak ada yang terluka kan?” Semeru mengecek wajah dan leher Jemima dengan saksama. Begitu dia menemukan lebam kemerahan di pipi Jemima, pria itu mengumpat kasar. “Kamu di tampar?” tanyanya memastikan. Jemima menganggukkan kepala sebagai jawaban. “B4ngs4t!” umpat Semeru lagi dengan amarah yang menyelimuti d**a. Semeru lantas menatap Aris dan bertanya, “Lo tahu siapa dia, Ris?” tanyanya pada salah satu sahabatnya itu. “Nggak kenal gue. Tapi tadi Jo lagi selidiki mereka.” Pembicaraan terhenti saat mereka menndengar suara sirine. “Polisi?” tanya Semeru memastikan. “Yup, Jo yang panggil.” Semeru mengangguk sebagai ganti ucapan terima kasih pada Aris, lantas membawa Jemima pergi dari sana. Aris tak membawa Jemima pulang ke rumah gadis itu, melainkan pulang ke apartemennya. Dia ingin menghukum Jemima yang sudah membantah perintahnya. …. POV Semeru “Pak, ini bukan jalan pulang ke rumah saya.” Jemima berujar saat aku yang harusnya membelokkan kemudi ke arah kiri, namun jutru terus lurus. “Kamu menginap di apartemen saya malam ini,” putusku. “Pak, saya nggak mau. Bapak turunin saya di sini saja deh. Atau pulangin saya ke klub lagi, biar saya pulang pakai motor aja,” protes Jemima menatapku khawatir. “Kamu mau pulang sendirian tengah malam begini? Yang ada kamu pulang tinggal nama aja, Jemima. Di klub aja kamu hampir dilecehkan, apalagi di jalanan yang senyap seperti ini.” “Selama ini saya juga biasa ke mana-mana sendiri, Pak. Lagi pula, saya sama Bapak jug nggak aman. Bapak suka pegang-pegang saya.” “Lusa kita menikah. Saya sudah atur semuanya. Kamu tinggal datang bersama ayahmu ke apartemen,” putusku. “Bapak nggak bohong, kan?” “Memangnya saya terlihat sedang berbohong?” “Saya nggak tau, tapi semoga saja Bapak benar-benar menepati janji Bapak.” “Kita buktikan besok lusa. Kamu tinggal datang dengan ayahmu dan saya yang atur semuanya,” putusku tak ingin dibantah. “Tapi sekarang saya ingin pulang aja, Pak. Saya takut sama Bapak.” “Kamu akan saya hukum.” “Kenapa saya harus dihukum? Memangnya saya salah apa?” Jemima bertanya bingung. “Kamu masih tanya salah apa?” geramku. “Sudah saya bilang tadi, kamu pulang aja, nggak perlu kerja, tapi kenapa malah ke klub?!” “Pak, rencananya saya mau genapin kerja sampai sebulan, biar nanti bisa gajian. Kalau cuma 3 minggu nanti saya nggak gajian. Kan sayang tenaga saya.” “Berapa gajimu di sana? Biar saya yang bayar.” “Bapak sombong sekali.” Jemima mencibir. Tapi aku lega karena Jemima sudah tidak sesedih tadi. “Memang, kamu baru tau?” “Terserah Bapak aja, tapi saya nggak mau tidur sekamar dengan Bapak.” “Ok, nggak masalah.” Kupinta Jemima untuk mandi dan berganti pakaian, begitu kami tiba di apartemen. Mau tidak mau dia harus mengenakan pakaianku, karena aku tak memiliki pakaian perempuan. “Pak, aku pulang saja lah. Aku nggak bawa pakaian ganti. Dan ….” “Dan apa, Clau?” “Saya juga nggak bawa ganti dalaman.” “Kalau begitu tidak usah pakai,” putusku yang membuat Jemima terngaga. “Apa? Nggak mau!” “Saya sudah melihat seluruh tubuhmu, Clau. Kamu nggak perlu malu-malu ke saya. Kamu nanti bisa tidur di kamarku dan saya akan tidur di kamar satunya.” “Bapak nggak bohong kan?” Aku mengangguk tegas. “Sudah sana mandi!” perintahku. “Iya, iya, galak sekali.” Sembari menggerutu, Jemima berjalan menuju kamarku, menggunakan kamar mandi sana. Selagi Jemima membersihkan diri, aku akan memasak pasta untuknya. Mungkin saja Jemima lapar setelah bekerja. Tunggu, tapi kenapa aku harus seperhatian ini pada gadis itu? Kugelengkan kepala, menepis apa yang sedang bersarang di kepalaku sekarang. Aku hanya mengasihani gadis itu, tidak lebih. Bertepatan Jemima selesai mandi, aku pun sudah menyelesaikan masakanku dan sudah kuhidangkan di meja makan. “Bapak bisa masak?” tanya Jemima, menatapku takjub. “Tentu. Masak adalah basic skill yang harus semua orang bisa,” sahutku, tersenyum jumawa. “Ayo makan dulu, mumpung masih hangat.” “Bapak nggak takut gendut, tengah malam begini makan?” tanya Jemima setelah menelan pasta suapan pertamanya. “Sesekali makan tengah malam begini nggak masalah. Kenapa? Kamu takut nggak bisa lihat tubuh sixpack saya lagi?” “Diih, Bapak ini ternyata selain m***m, sombong tapi juga kepedean sekali ya,” cibir Jemima yang membuatku tertawa. “Tapi jangan lupa, saya juga tampan, kaya dan seksi. Dan saya jamin, kamu akan ketagihan bermain dengan saya nanti.” “Bermain apa memangnya, Pak?” “Ular tangga.” “Oh, Bapak punya permainan itu?” “Punya dan besar.” “Boleh deh, nanti kita main itu setelah makan ya, Pak.” “Dengan senang hati, Clau,” sahutku sembari menahan diri untuk tidak tertawa melihat kepolosan Jemima. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN