6. Oh, Sial

1042 Kata
“Shin, apa yang terjadi?” Nicole bertanya lagi penasaran. Pemuda itu memasukkan ponsel ke dalam saku celananya dan mulai menyalakan mesin. Perlahan ia menjalankan mobil keluar dari hangar dan menyusuri jalanan bandara keluar dari airport. “Apakah kau mendengar pertanyaanku?” Nicole mengulangi pertanyaannya. Shinichi menarik nafasnya dalam-dalam dan mengusap dahinya dengan satu tangan. “Kau benar-benar tidak bisa berhenti bertanya, huh?” pria itu berkomentar. Nicole memajukan bibirnya, merengut. “Akan lebih mudah jika kau menjawabku, kan?” “Baiklah. Mungkin kau benar. Kali ini aku akan jelaskan. Tapi dengar,Missy,” Shinichi melirik sekilas ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. “Aku tidak selalu punya waktu untuk selalu menjelaskan mengapa aku melakukan apa yang kulakukan. Kadang kau hanya perlu mengikuti perintahku dan patuh. Apakah kau paham?” Nicole masih cemberut, tapi gadis itu akhirnya mengangguk. Cukup puas, Shinichi melanjutkan, “Pamanku menerima informasi bahwa pesawat kita sudah dilacak. Ada kemungkinan, musuh ayahmu sudah menunggu di bandara Jepang jika kita melanjutkan perjalanan. Jadi ia menyarankan agar kita berhenti dulu di San Fransisco dan setelah memastikan rute aman, maka barulah kita akan melanjutkan perjalanan ke Jepang.” “Oh. Baiklah,” Nicole mengangguk terlihat puas dengan penjelasan Shinichi. Ia pun mengalihkan pandangannya keluar dari mobil. “Aku belum pernah ke San Fransisco sebelumnya. Kudengar kota ini sangat indah.” Sementara Nicole mulai mengamati pemandangan yang mereka lewati, Sinichi akhirnya bisa memikirkan langkah selanjutnya. Kemanakah mereka akan tinggal sekarang? Shinichi tahu ada banyak klan Yakuza di San Fransisco. Mungkin ia bisa meminta bantuan mereka untuk mencari perlindungan? Tapi mereka masih terlalu dekat dengan Metro. Ia tidak tahu Klan mana saja yang bisa dipercaya dan yang mana yang tidak. Mungkin ia perlu keluar kota. Menuju ke timur, menjauh dari kota besar. Tapi mereka perlu berada di kota itu jaga-jaga jika pamannya mendadak memintanya untuk terbang kembali. Shinichi membenci tidak memiliki rencana seperti ini. Ia benar-benar merasa tersesat. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap berada di kota itu hingga ada perintah berikutnya. Sinichi melirik ke arah jam yang ada di dashboard mobil. Sudah pukul 1 dini hari, ia perlu mencari hotel. Sesuatu yang tidak mencolok, jadi bukan hotel berbintang. Sebuah lampu neon bertuliskan MOTEL dengan huruf M nya yang berkedip-kedip menangkap perhatian Shinichi. Pemuda itu membelokkan mobilnya masuk ke dalam parkiran tempat tersebut dan memarkirkan mobilnya di salah satu lahan yang kosong. Sinichi mematikan kendaraan dan mengamati sekelilingnya. Terlihat kumuh dan tidak terawat, tempat itu cocok untuk siapapun yang sedang berusaha menghilangkan jejak. Beberapa pemuda bermain skateboard dengan pakaian kedodoran dan rambut gondrong mengatakan bahwa daerah itu sepertinya tidak terlalu banyak di lalui oleh patroli polisi. Cocok bagi Shinichi dan Nicole untuk bersembunyi. “Mengapa kita berhenti?” Nicole bertanya. Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menoleh ke arah Nicole. “Karena aku lelah. Kita akan menginap di sini malam ini,” Shinichi memberitahu. Nicole mengamati motel kumuh itu dari kaca depan. Matanya yang lebar terlihat membelalak. “Disini? Apa kau tidak salah?” Shinichi membuka sabuk pengamannya dan melepaskan milik Nicole. “Kecuali kau ingin tidur di mobil,” pemuda itu menjawab sambil membuka pintu dan turun. Mengabaikan wajah Nicole yang melongo di dalam mobil, Shinichi berjalan menuju bagasi mobil dan mengeluarkan tasnya serta milik Nicole. Nicole menyentak pintu mobil terbuka dan keluar dari mobil dengan kesal. Ia membanting pintu mobil dengan keras dan mulai meniru kata-kata Shinichi dengan suara tinggi yang dibuat-buat bertujuan untuk mengejek. “Kiciwali ki ingin tidir di mibil....” Nicole mendengus. “Huh, siapa pikirnya dirinya. Raja dari Jepang? Seenaknya saja menyuruh-nyuruh orang. Dasar yakuza kampungan. Bodoh. Bodoh. Shinichi bodoooh.” Pura-pura tidak mendengar celotehan Nicole, Shinichi melaih lengan Nicole dan membawa gadis itu berjalan masuk ke dalam motel. Ia memesan sebuah kamar untuk mereka berdua dan begitu mendapatkan kuncinya, menggiring Nicole menuju kamar mereka. Shinichi membuka pintu kamar. Kegelapan langsung menyapa. Diikuti dengan aroma asap rokok yang kental. “Ugh... baunya seperti bau asbak,” Nicole berkomentar sambil berjalan masuk dan meraba-raba pinggiran dinding mencari saklar lampu. Klik! Begitu lampu menyala, rupanya penampilan kamar itu tidak lebih bagus dari aromanya. Hanya kasur dengan selimut bulu yang terlihat kasar di satu sisi, sofa, meja tulis dan lemari di sisi lain. Diletakkan diatas karpet berwarna coklat dengan bercak-bercak noda di sana sini hingga Shinichi tidak lagi yakin lagi mana yang merupakan motif dan mana yang merupakan kotoran. Secara keseluruhan, sesuai dengan harganya. Shinichi meletakkan koper Nicole dan tasnya sendiri ke atas meja dan langsung berjalan mengelilingi kamar, mengecek ruangan dan menarik korden menutup. Ada bagian dari diri Shinichi yang merasa bersalah melihat kumuhnya motel yang mereka tinggali. Tapi setidaknya, tidak akan ada yang mencari mereka di tempat kumuh seperti itu. Shinichi berjalan menuju kamar mandi dan mengecek bagian dalamnya. Setelah puas memastikan tidak ada hal mencurigakan, ia kembali ke kamar. “Kau yakin tempat ini tidak berpenyakit?” Nicole bertanya sambil mencubit selimut diatas ranjang dengan wajah jijik. “Bagaimana kalau aku terkena penyakit kulit karena tidur diatas kasur ini?” Nicole melemparkan selimut dan berdigik ngeri Sementara Shinichi mendudukkan tubuhnya ke atas ranjang dan mulai melepaskan sepatunya. “Kau bisa tidur di sofa kalau begitu.” Pemuda itu mengusulkan. “Enak saja,” Nicole langsung melangkah masuk dan menarik Shinchi agar berdiri dari ranjang. “Kau yang tidur di sofa. Lagipula kenapa kau tidak memesan dua kamar?” “Lebih aman jika kita bersama-sama. Kenapa? Apakah kau takut aku akan mencium mu lagi?” Shinichi bertanya sambil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Pemuda itu menaikkan kedua kakinya ke atas meja dan melipat tangannya di belakang kepala. “Cih. Kau sebut itu ciuman? Aku merasa seakan-akan sedang di lecehkan seekor monyet daripada sedang dicium. Apakah kau yakin kau mengerti cara mencium seorang gadis? Atau jangan-jangan itu juga pertama kalinya kau mencium seseorang?” Shinichi tertawa mendengar ucapan Nicole. Diakuinya gadis itu mungkin adalah gadis paling manja yang pernah ditemuinya, tapi tidak sedetikpun bersama Nicole terasa membosankan. “Baiklah... Karena kau sepertinya jauh lebih paham tentang hal berciuman daripadaku, bagaimana kalau kau mengajariku kalau begitu?” Shinichi bertanya. “Enak saja! Kau saja belajar sendiri situ dengan kaca!” Sementara Nicole semakin cemberut, tawa Shinichi semakin keras. Pemuda itu tidak bisa berhenti menatap bibir Nicole yang merah dan cemberut. Terlihat benar-benar seksi dan membuatnya ingin kembali merasakannya dengan bibirnya. Oh, sial!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN