5. Fck You, Shin.

1822 Kata
Goyangan di bahu Nicole membangunkan gadis itu dari tidurnya yang tidak nyenyak. Matanya mengernyit berusaha menghalau pancaran lampu kabin yang ada di atas kepalanya. Suara rendah seseorang menyadarkan diri Nicole dimana ia berada. “Kita sudah sampai, Missy. Ayo turun!” Shinichi yang berdiri di samping kursinya memberi perintah. Tanpa menunggu jawaban Nicole, pemuda itu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar pesawat. Tas panjang nya yang berisi pedang tersangkut di bahunya yang bidang. Sadar dimana ia berada, dan dengan siapa ia berada, Nicole langsung merengut. Shinichi terlihat lebih menyebalkan dari sebelumnya. Lebih marah dari sebelumnya. Yang kemudian membuat Nicole teringat apa yang dilakukan pria itu di kamar mandi. Ia mengalihkan pandangannya, berusaha tidak terlihat melongo. Setelah merenggut ciuman pertamanya tanpa rasa bersalah, kini seenaknya saja pemuda itu memerintah dan menyuruh-nyuruhnya. “Aku akan menceritakannya pada Daddy, asal kau tahu,” Nicole menjerit dari tempat duduknya. Shinichi sudah hampir sampai di pintu ketika mendadak berhenti. Kepalanya kembali melongok ke dalam dengan dahi berkerut. “Menceritakan tentang apa?” Pemuda itu bertanya. “Apa yang sudah kau lakukan padaku. Di kamar mandi.” Dahi Shinchi masih berkerut. “Aku membanting ponsel yang kau sita dari supirmu?” “Bukan…. Kau menciumku. Daddy pasti akan membunuhmu.” Nicole menyilangkan tangannya di depan dadanya. “Oh… Itu…,” sahut Shinichi singkat. “Jika kau sebut itu sebuah ciuman. Baiklah. Laporkan saja.” Kelakuan Shinichi yang tidak mengindahkan ancamannya semakin membuat Nicole dongkol. Apalagi ketika pemuda itu dengan mudahnya menyimpulkan apa yang ia lakukan di kamar mandi semalam bukanlah sebuah ciuman. Bahkan Nicole selama ini tidak membiarkan Jayden menciumnya. Mungkin karena kedua orang tua yang overprotektif, Nicole bukan lah gadis yang dapat dengan mudah mengumbar dirinya untuk pria. Sekarang, bisa-bisanya bibir yang dijaganya selama ini dicemari oleh orang yang, walaupun dikenalnya ketika kecil, tapi kini benar-benar dibencinya. Betapa ia berharap semua ini hanyalah mimpi. Tapi mengapa bahkan ketika ia berusaha untuk tidak menatap ke arah Shinichi, bahkan ketika ia kesal dan ingin melayangkan sepatunya ke kepala pemuda itu, ia tidak bisa berhenti mencari kehadiran pria itu dari sudut matanya? Kehadiran Shinichi yang menyebalkan, tapi terasa kuat. Matanya yang hitam dan tegas. Bibirnya yang tebal dan selalu merengut. Lengannya yang bertato. Otot tubuhnya. Cara pemuda itu— Sialan! Nicole memaki. Ia benar-benar tidak waras. Bagaimana mungkin ia bisa berpikir seperti itu terhadap Shinichi. Pria itu ada di situ hanya karena perintah ayahnya. Nicole menelan air mata yang hendak keluar. Benar ia selalu merindukan temannya. Tapi pria yang kini berdiri di sebelah pintu pesawat bukanlah pria yang dikenalnya. Shinichi yang dikenalnya hangat. Penyabar dan penyayang. Pria yang dibayar oleh ayahnya hanya memerintah dan membentak. Memperlakukannya layaknya bocah manja yang tidak bisa apa-apa. Tidak adil. Ia tidak melakukan kesalahan apapun dan pria itu langsung menilainya. Membencinya. Jika saja ayahnya meminta pendapatnya, mungkin ia lebih baik dijaga oleh Paman Ricky, atau Paman Pyton. Suara pintu kokpit yang terbuka mengalihkan kedongkolan Nicole. “Eh Nona Salazar? Kau tidak turun? Kita sudah sampai di San Fransisco.” Ucapan Sang Pilot mengagetnya Nicole. San Fransisco? Bukankah ia menuju ke Jepang? Nicole langsung berdiri dari tempat duduknya dan berlari keluar, menyusul Shinichi yang kini sedang mengambil koper miliknya dari bagasi pesawat. “Apa maksudnya kita di San Fransisco?” Nicole bertanya dengan nada suara meninggi. Shinichi tidak menjawab. Pemuda itu kembali melanjutkan langkahnya menuju sebuah mobil yang sepertinya disiapkan untuk mereka. Terparkir tidak jauh dari pesawat yang baru saja mereka naiki. “Shinichi!” Nicole membentak kali ini. Shinichi memasukkan semua tas mereka ke bagasi, termasuk tas jinjingnya. Ia membuka tasnya, meraih salah satu pedangnya dan menyelipkan ke belakang baju. Ia kemudian memastikan benda itu tertutup oleh pakaiannya sebelum menutup pintu bagasi. Tanpa berkata apa-apa, pemuda itu membukakan pintu penumpang untuk Nicole dan menunggu. “Masuk, Missy.” Shinichi memerintah singkat. Sialan! Cara pria itu memanggil nama Nicole, nada keras dalam suara pemuda itu, membuat tubuh Nicole bereaksi melawan benak gadis itu sendiri. Nicole memejamkan matanya ketika merasakan hawa panas itu menjalar melintasi dadanya. Detak jantungnya melaju. Nafasnya mendadak terasa sesak. Semua hanya akibat dari suara pemuda itu ketika memanggil namanya. Nicole tidak paham mengapa ia seperti itu. Mengapa tubuhnya mendadak terasa lemas ketika pemuda itu bersikap tegas dan memerintah. Dominan. Seakan berdiri di tepian jurang, Nicole merasa bersemangat dan takut di saat yang sama. Sangat aneh. “Missy. Masuk!” Shinichi mengulangi perintahnya ketika gadis itu tidak bergerak. Tapi Nicole bertahan. Ia menghentakkan kakinya. “Katakan dulu padaku, mengapa kita sekarang tidak berada di Jepang? Apa yang terjadi? Aku berhak untuk tahu.” Suara gadis itu memaksa tapi terdengar gemetaran. Matanya yang coklat menatap kegelapan mata Shinichi yang membeku. Shinichi sudah berjanji kepada kedua orang tua Nicole untuk tidak menceritakan alasan utama gadis itu kini berada dalam perlindungannya. Mereka tidak ingin Nicole panik. Apalagi ketika kini pamannya mengatakan bahwa ada mata-mata diantara organisasi, ia merasa lebih baik Nicole tidak mengetahui apa-apa. Karenanya Shinichi tidak menjawab. Ia hanya meraih lengan gadis itu dan menariknya agar masuk ke dalam mobil. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan sekarang, Missy. Yang penting, kita harus segera pergi dari sini.” Kulit Nicole terasa terbakar oleh sentuhan Shinichi. Detak jantungnya kembali berdenyut semakin keras dan cepat. Ia bisa mencium aroma Shinichi yang, oh…sungguh memabukkan. Sungguh aroma seorang laki-laki, maskulin dan kuat. Dan walaupun jemari pemuda itu tidak melekat erat, Nicole bisa merasakan panasnya tangan Shinichi. Seakan semua sell di tubuhnya terbangun untuk pertama kalinya dan sadar akan keberadaan pemuda. Nicole menghembuskan nafasnya dan menyerah. Ia melangkah masuk ke dalam mobil. Shinichi menutup pintu mobil dan berjalan ke arah supir. Begitu masuk ke dalam, pemuda itu melongok ke segala arah sebelum kemudian menutup pintu di sisinya. Orang-orang ayahnya melakukan hal yang sama, Nicole mengamati. Mereka selalu waspada akan sekelilingnya. Tidak pernah lengah. Kenyataan bahwa Shinichi melakukan hal yang sama dengan keluarga mafianya, menyatakan bahwa pemuda itu berbeda dengan pemuda kebanyakan. “Kenakan sabuk pengamanmu.” Shinichi menggumam. “Fck you, Shin.” Nicole membalas dibawah nafasnya, bahkan tidak memikirkan apa yang baru saja diucapkannya. Ia hanya ingin mengamuk. Setidaknya kali ini ucapannya mendapatkan perhatian penuh dari Shinichi. Pemuda itu menoleh sepenuhnya ke arah Nicole. “Apa katamu?” Nada suara Shinichi yang tajam tidak juga memadamkan api yang berkobar sejak pemuda itu menciumnya kemarin. Untuk menghindari rasa malu akan apa yang baru saja diucapkannya, Nicole mengalihkan pandangannya keluar jendela mobil dan berpura-pura tidak baru saja memaki pemuda yang dibayar ayahnya untuk melindunginya. Tarikan di pergelangan tangan Nicole mengalihkan kembali wajah gadis itu kearah Shinichi. “Aw!” Nicole menjerit kaget. Pandangan mata Shinichi yang panas membuat jantung Nicole mendadak tersentak berhenti. “Bisa kau ulang lagi apa yang baru saja kau ucapkan?” Shinichi bertanya. Nicole bisa melihat kedutan di rahang pria itu. “Tidak.” Nicole membalas, menarik kembali pergelangan tangannya dari genggaman Shinichi. “Kau tidak memberitahuku apa-apa. Mengapa aku harus memberi tahu apa yang baru saja kukatakan?” Sialan mulutnya yang sering tidak bisa terkontrol, pikir Nicole. Ia tidak bisa membayangkan jika Shinichi benar-benar marah. Ia berada entah dimana. Jauh dari orang-orang yang dikenalnya, tanpa sepeser uangpun. Tanpa ponselnya untuk menghubungi orang yang bisa membantunya. Bagaimana ia bisa meminta bantuan? Shinichi menaikkan alisnya yang tebal ke arah Nicole dan gadis itu menelan ludahnya dengan susah payah. Shinichi benar-benar kebalikan dari kekasihnya, Jayden. Jayden memiliki rambut pirang yang selalu terlihat rapi, sementara rambut Shinichi gelap dan panjang, terikat kebelakang. Jayden memakai pakaian bermerk yang trendy. Jeans sobek-sobek dan kaos, sneakers dan topi baseball, seorang atlet. Shinichi sementara itu, berpakaian mirip dengan keluarganya. Kaos gelap, celana gelap, yang memeluk erat tubuhnya yang jangkung dan berotot, penuh dengan kekuatan yang mengintimidasi. Jayden ceria dan lucu, menceritakan tentang apapun dan siapapun, sementara sejak kemarin, Shinichi hanya memberikan perintah dengan logat bahasa jepangnya yang kental. Jayden adalah seorang pemuda 17 tahun. Shinichi, sementara itu, tidak terlihat layaknya anak seumurannya. Tidak. Tidak ada pemuda normal berumur 17 tahun penuh dengan tato dan berkeliaran membawa pedang seperti itu. “Aku tidak peduli siapa dirimu, siapa orang tuamu, berapa banyak uang yang kau miliki. Aku tidak akan membiarkanmu berbicara seperti itu kepadaku, Missy.” Shinichi berkata dengan nada datar. Tapi hidungnya dan nafasnya yang memburu menunjukkan bahwa pemuda itu kesal. Tubuh Nicole bergetar oleh gelombang suara yang dihasilkan dari suara Shinichi. Entah mengapa, kemarahan pemuda itu justru membuatnya menginginnya sesuatu yang lebih…. Sesuatu yang lebih gelap dan dalam. Sesuatu yang ia sendiri tidak tahu apa tapi diinginkannya dengan sepenuh hatinya. “Ohya?” Nicole membalas dengan nada menantang. “Memangnya apa yang bisa kau lakukan, huh? Apakah kau akan memukulku?” Layaknya seorang anak yang membangkang perintah orang tuanya, Nicole menyilangkan tangan di depan dadanya. “Kau tidak diperkenankan melukaiku.” Paling buruk, Shinichi hanya bisa melaporkan kelakuannya pada orang tuanya. Mereka mungkin akan mengomelinya, dan walaupun Nicole merasa malu akan caranya bersikap kepada Shinichi, tapi pemuda itu yang memulai. “Benar, aku tidak diperkenankan melukaimu.” Pria itu membalas dengan nada lebih lembut kali ini. “Percayakan, jika aku jadi dirimu, menentang perintahku adalah hal terakhir yang kau pikirkan saat ini.” Nicole mengedipkan matanya. Ia tahu Shinichi membicarakan tentang situasinya saat ini. Tapi bahkan ketika pemuda itu sedang kesal, Nicole merasa bahwa pria itu masih berusaha untuk menenangkannya. Shinichi meraih ponselnya sendiri dari sakunya dan mulai mengetikkan sesuatu di dalamnya. Jemarinya terlihat menekan layar penuh dengan kemarahan, Nicole merasa pemuda itu sepertinya berniat memecahkan layar dengan jemarinya dan bukannya sedang mengirimkan pesan. Sesuatu memicu kemarahan Shinichi, Nicole bisa merasakannya, tapi ia tidak tahu apa. Tidak mungkin kelakuannya saja yang membuat pemuda itu semarah ini kan? Atau mungkin ia lah yang membuatnya marah? Jantung Nicole melesak ke bawah. Ia tidak berpikir bagaimana bukan hanya hidupnya yang terganggu, hidup pemuda itu pasti juga terganggu. Karenanya, ia perlu berdamai dengan Shinichi. Sekarang. “Maafkan aku.” Nicole berbisik lirih. Kali ini ia benar-benar merasa bersalah. Shinichi mengangkat kepalanya dari layar ponsel. “Apa?” “Aku meminta maaf,” Nicole mengulangi. “Aku sudah tidak sopan kepadamu.” Ujung bibir pemuda itu naik ke atas samar, membuat jantung Nicole mendadak melompat satu detakan. Sejak kemarin, baru kali ini ia melihat Shinichi tersenyum tulus. Sedetik, Nicole merasakan kehadiran Shinichi yang dikenalnya. “Jangan khawatir. Kau tidak perlu meminta maaf, tapi aku memaafkanmu. Semua akan baik-baik saja.” Kehangatan menyapu d**a Nicole akan ucapan Shinichi yang meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Kalimat singkat itu terasa bagaikan cahaya matahari diantara awan gelap yang sedang mengelilinginya. Pemuda itu kemudian kembali menunduk ke arah ponselnya dan terlihat berkonsentrasi. Nicole berpura-pura mengalihkan kembali perhatiannya keluar jendela, menatap hangar pesawat dimana mereka masih berada, sambil sesekali menatap pantulan wajah Shinichi dari bayangan di jendela. Tadinya agak santai, wajah pemuda itu berubah menggelap lagi begitu membaca layar ponselnya. Rahangnya mengerat dan Nicole bisa mendengar Shinichi mengumpat dalam bahasa jepang. “Shin, apa yang terjadi?” Nicole bertanya lagi penasaran. Pemuda itu memasukkan ponsel ke dalam saku celananya dan mulai menyalakan mesin. Perlahan ia menjalankan mobil keluar dari hangar dan menyusuri jalanan bandara keluar dari airport. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN