13. Arigatou, Shinichi-san

1408 Kata
Nicole menatap wajah Shinichi tanpa berkedip. Tangannya terjulur menyerahkan kembali ponsel yang dipakainya kepada sang pemilik. “Nih,” ucap Nicole ketus. Shinichi meraih benda itu dari tangan Nicole dan mendudukan tubuhnya ke meja makan. “Jadi? Apa kata ayahmu?” Shinichi bertanya sambil mencomot makanan dalam nampan milik Nicole dan memasukkannya ke mulutnya. Nicole tidak menjawab. Ia hanya mendorong nampan di depannya dan bangkit berdiri. Dengan langkah kesal dan terpincang-pincang, gadis itu berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya, menggerutu dalam hati sepanjang lorong. “Dasar gadis manja, tidak tahu terima kasih,” gerutu Shinichi sangat pelan. PLAK! Sebuah pukulan sendok kayu kembali menghantam belakang kepala pemuda itu. “Aih… Oba-San… berhenti menganiayaku!” “Ish… dasar anak tidak tahu sopan santun. Coba bayangkan jika dirimu berada di posisi Nicole. Hari ini semua baik-baik saja, lalu besok seluruh duniamu berubah. Mendadak kau harus pergi dari rumah, meninggalkan semua yang mengenal dan menyayanginya. Kau, seharusnya lebih peka pada kesedihannya, Shin.” “Tapi ia tidak terlihat sedih, Oba-San,” elak Shinichi. “Tidak semua orang menangis ketika sedih, Shinichi. Beberapa menanggapi kesedihan dengan kemarahan… Mungkin… Nicole adalah orang yang demikian.” Perkataan Yukio membuat Shinichi terdiam. Ada sedikit rasa bersalah sudah memperlakukan Nicole dengan kasar. Kebanyakan dari temannya di Klan Goto adalah para pria. Wanita memiliki status yang berbeda dalam hirarki klan Yakuza.Mereka dianggap berada di bawah pria. Seseorang yang berada di balik layar, pendukung tapi bukan pemain utama. Sesuatu yang tidak dipahami Shinichi karena menurutnya mereka semua sama cerdasnya dengan pria. Lihat saja ibunya. Wanita itu sanggup membesarkannya selama ini seorang diri tanpa kehadiran seorang ayah. Tidakkah hal itu merupakan suatu keberanian dan kecerdasan? Cintanya pada ibunya membuat Shinichi tumbuh menjadi anak yang berbeda dari temannya. Ketika semuanya meributkan banyaknya wanita yang sudah di tiduri, Shinichi memikirkan masa depannya. Lebih tepatnya posisinya di klan Goto ketika pamannya, Kiyoshi pensiun. Pemuda itu berdiri dan mengangkat nampan makanan yang ada diatas meja. Dibawanya nampan ke depan kamar Nicole dan diletakkannya di depan pintu kamar gadis itu. Shinichi kemudian mengetuk pelan pintu kamar. “Missy-Chan,” Shinichi memanggil pelan. “Aku letakkan makanan mu di depan pintu. Makan lah agar kau tidak sakit, ok?” Shinichi menunggu beberapa saat. Tapi ketika tidak juga ada jawaban dari dalam kamar, ia akhirnya menghela nafas dan meninggalkan Nicole. Sementara itu, didalam kama, Nicole merapatkan dekapan tangan ke lututnya. Berbaring miring dikasur yang ada diatas lantai, gadis itu menyeka air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa hancur. Bagaimana tidak. Seluruh dunianya berubah dalam satu malam. Belum pernah ia berada di negara asing sendirian seperti sekarang. Jauh dari kedua orang tuanya, dari keluarganya, dari teman-temannya. Ia merindukan ayah dan ibunya. Ia merindukan rumahnya. Ia merindukan teman-temannya, dan terlebih, ia merindukan Jayden. Nicole tahu Tomas tidak menyukai Jayden. Tapi Jayden selalu bisa membuatnya merasa spesial dengan rayuan dan lawakannya. Pembawaan Jayden yang ringan dan ceria adalah apa yang di butuhkannya sekarang. Mungkin ia bisa mencari cara lain untuk menghubungi Jayden tanpa ketahuan. Nanti. Sekarang gemuruh di perutnya mengalihkan perhatian Nicole. Ia belum sempat menyelesaikan makanan malamnya dan kini mulai merasa kelaparan. Perlahan, gadis itu bangkit dan mendekatkan telinganya ke pintu. Ia lapar tapi ia malas bertemu dengan Shinichi. Setelah tidak mendengar suara apapun dari luar kamarnya, Nicole menggeser pintu kamar terbuka. Nampan berisi makanan yang di tinggalkan Shinichi di depan pintu ditariknya masuk ke dalam. Perlahan, disuapkannya makanan yang dibuatkan oleh Yukio ke dalam mulutnya. Ikan panggang dan sup miso, ditambah gorengan sayuran berbalut tepung tempura. Masakan Yukio mengingatkannya pada masakan ibu Shinichi ketika dirinya masih kecil. Tanpa sadar, gadis itu menghabiskan seluruh isi nampan hingga tidak bersisa. Ingin mengucapkan terima kasih pada Yukio, Nicole pun memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Sambil membawa nampan makanan yang sudah kosong, gadis itu berjalan ke arah dapur. Kepalanya melongok ke dalam mencari Yukio. “Oba-san?” panggilnya ketika tidak menemukan wanita itu di mana-mana. “Ia sudah pulang.” Sebuah jawaban mengagetkan Nicole, hingga hampir membuatnya menjatuhkan nampan yang di pegangnya. Shinichi rupanya sudah berdiri di belakangnya. Pemuda itu merain nampan di tangan Nicole dan membawanya ke tempat cuci piring. “Oba-san sudah pulang?” ulang Nicole. Shinichi mulai mencuci piring Nicole sambil mengangguk, “Ya. Dia pulang setiap akhir Jumat malam dan baru kembali lagi senin.” “Oh…,” balas Nicole canggung. “Hanya kita berdua hingga Senin?” “Paman mengundang kita ke acara klan Goto besok malam. Ia berniat untuk bertemu dengan mu.” “Acara?” ulang Nicole. “Ia berulang tahun yang ke 65 besok,” jelas Shinichi sambil mengelap piring yang barusan di cucinya. “Pamanmu adalah kakak dari ayahmu, benar?” “Ya.” Shinichi memasukkan piring ke dalam lemari dan menoleh. Tampak wajah Nicole yang canggung. Shinichi menebak mungkin karena gadis itu grogi. Tidak aneh. Siapapun juga pasti akan gugup jika mendapat undangan acara yang diadakan oleh klan yakuza. “Jangan khawatir,” Shinichi berkata dengan nada yang lebih ramah kali ini. Seperti kata Yukio, Nicole pasti sedang ketakutan dan sedih. Ia tidak ingin membuat perasaan gadis itu lebuh buruk dari sekarang. “Hanya makan malam di rumahnya bersama anggota Klan. Kau akan baik-baik saja.” “Oh aku tidak khawatir soal itu,” Nicole menggelengkan kepalanya. Jujur ia justru tidak sabar untuk segera bertemu dengan para Yakuza dari klan Goto. “Aku hanya khawatir tidak membawa pakaian pesta yang layak. Kukira kita dalam pelarian. Mana tahu kalau rupanya aku diharapkan untuk menghadiri acara ulang tahun.” Shinichi terlihat kaget oleh ringannya celotehan Nicole. Tumbuh dalam lingkup para gangster, Nicole rupanya sudah sangat terbiasa dengan acara yang diadakan para gangster, hingga sepertinya ia kebal dalam semua ini. “Kau tidak takut akan berhadapan dengan para Yakuza?” Shinichi bertanya penasaran. Nicole mengerutkan dahinya heran, “Haruskah aku takut?” ia justru balik bertanya. “Tidak. Tentu saja tidak.” “Baiklah kalau begitu,” Nicole mengangguk puas. “Omong-omong, dimana koperku?” Shinichi berjalan ke depan dan kembali sambil menyeret koper merah jambu milik Nicole. Gadis itu langsung meraih gagang koper dan menyeretnya keluar dari dapur. Sebelum ia keluar dari ruangan itu, Nicole berhenti dan menoleh balik. “Jam berapa acaranya besok?” Ia bertanya. “Tujuh malam.” Nicole mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan seakan sedang mencari sesuatu. “Dari tadi aku penasaran, mengapa tidak ada jam di rumah ini? Jam berapa sekarang?” “Kebanyakan penduduk mengandalkan lonceng dari kuil sebagai penanda waktu. Menurut orang-orang tua di kota ini, memiliki jam di rumah, hanya akan membuat mu hidup dalam perencanaan hingga lupa untuk menikmati masa sekarang. Jadi aku tidak memasang jam di rumah.” Penjelasan Shinichi membuat Nicole mengernyit. Apakah ia memasuki portal waktu dan terlempar ke masa lalu ketika tertidur di taksi seperti di cerita-cerita fantasi yang sering di bacanya? Tapi hal seperti itu hanya ada dalam cerita dan tidak mungkin terjadi. “Tapi bagaimana kau bisa tepat waktu dalam sebuah janji ketika kau tidak tahu jam berapa sekarang?” Nicole masih berusaha memahami. “Semua orang butuh bersiap-siap, mandi, dandan dan— Oh….” Nicole mendadak paham akan alasan Shinichi. Benar juga, selama ini kebanyakan waktunya dihabiskan untuk persiapan. Perencanaan. “Benar sekali. Ketika kau khawatir akan masa depan. Kau menyianyiakan masa sekarang,” lanjut Shinichi. “Hm… jadi tidak apa-apa jika aku terlambat ke sebuah acara?” “Tentu saja. Tapi mereka akan mulai tanpa mu, dan menganggap mu tidak sopan karena terlambat.” “Hah?!? Jadi… tetap saja penting untuk tepat waktu. Bagaimana bisa tepat waktu jika kau tidak tahu akan waktu?” Nicole mengerang. “Filosofi keluarga mu sangat tidak masuk akal, Shin. Sekarang aku malah jadi lebih stres dari sebelumnya.” Shinichi tertawa kecil melihat Nicole yang melotot dan mengomel tentang masalah sepele. Ia meraih ke dalam saku yukatanya dan mengeluarkan ponsel miliknya. “Sekarang baru pukul 7:45. Jangan bilang kau hendak tidur lagi.” Nicole menggeleng. Ia sepertinya justru kebanyakan tidur karena sekarang ia merasa segar dan sama sekali tidak mengantuk. “Jadi apa yang bisa kita lakukan kalau begitu?” “Kau butuh mandi,” sahut Shinichi. “Setelah itu aku akan memeriksa luka-luka dikakimu. Jika kau mengijinkan.” Nicole terlihat kaget. Tidakkah ia salah dengar? Pria itu meminta ijin kepadanya? “Baiklah....” Nicole menjawab. “Arigatou, Shinichi-san.” Gadis itu membungkukkan tubuhnya ke bawah yang langsung di balas oleh Shinichi dengan cara yang sama. “Dōitashimashite, Missy-chan.” Sama-sama. Dan dengan itu, Nicole sepertinya sampai pada pemahaman bahwa ia mungkin bisa mempercayai Shinichi. Atau setidaknya untuk saat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN