Bibi Mae menundukkan wajahnya sambil berkali-kali memohon maaf. Dia tidak bermaksud berani menyela kemarahan wanita tua itu.
"Maafkan saya, Nyonya. Den bagus Jordan sedang menangis di kamarnya," jawabnya.
"Aah ya sudah, ya sudah. Bawa pembawa sial ini pergi," timpal paruh baya sambil mengibaskan tangannya.
Elena merasakan perih dan pusing bersamaan. Dia hampir kehilangan banyak darah. Bahkan pandangannya sedikit berkunang-kunang.
"Mari, Non." Bibi Mae bergegas menuntun Elena masuk.
Sesampainya di kamar Elena, Bibi Mae memerintahkan Zuma putrinya untuk mengambil kotak P3K, kompres dan es batu. "Nona tidak apa-apa? kalau Tuan tahu pasti nyonya Esma kena marah," ujar Bibi Mae.
Elena hanya terdiam memegangi keningnya yang telah dibersihkan dengan kain basah, rasa nyeri menjalar mengitari kepalanya. Baru kali ini dia dihantam benda keras.
"Aku tidak peduli, Bi. Lagi pula Alex dan mereka sama saja, membuat hidupku makin tertekan," keluhnya.
Bibi Mae memperhatikan Elena sekilas. Dia tampak berbeda. Matanya sayu dan sorotnya redup. "Apa Non sakit?"
"Aku baik-baik saja," jawab Elena pasrah. Sambil menahan butiran bening yang sejak tadi sudah berdesakan di pelupuk mata.
"Tuan sangat menyayangi Non Casi. Bibi yakin jika Tuan Alex tahu dia akan marah besar. Tuan sering kali bertengkar dengan saudara-saudara tirinya karena aduan Non Casi kan? Apa Non lupa jika Tuan kerap kali membela? Non adukan saja pada Tuan," urai Bibi Mae panjang lebar.
Entah kali ini firasatnya mengatakan lain tentang Casandra. Dia seperti gadis baik yang telah menemukan cahaya dalam hidupnya.
"Saudara tiri? jadi mereka itu saudara tiri Alex, Bi?" tanya balik Elena.
"Apa Non lupa?" kali ini Bibi Mae yang terkejut. Mana mungkin Casandra bisa lupa dalam waktu singkat.
"Maksudku, karena kepalaku bermasalah. Aku tidak cukup baik dalam mengingat akhir-akhir ini," sahut Elena beralasan.
Bibi Mae tampak berpikir sejenak. Mungkin saja Casandra telah banyak berubah. "Mereka itu ibu dan saudara-saudara tiri Tuan Alex, wanita yang mendorong Nona itu Ibu Esma. dan wanita yang seumuran dengan anda, Marry. adik dari Tuan Steve. Dan yang paling muda bernama Bianca." Bibi Mae menjelaskan panjang lebar
Sekarang Elena mengerti anggota keluarga yang tinggal di kediaman Valentino. "Selain mereka, apa ada lagi yang tinggal disini, Bi?" Elena sudah kepalang basah. Dia terlanjur ingin tahu, biarlah Bibi Mae berpikiran macam-macam terhadapnya.
"Ada nyonya Laura, ibu kandung Tuan Alex. dan nona Dara, adik Tuan Alex." Dengan sabar Bibi Mae menjelaskan pada Elena.
"Tetapi aku tidak pernah melihat mertuaku, dimana mereka?" Rasa ingin tahunya semakin besar agar di lain hari Elena bisa berhati-hati.
"Nyonya Laura tidak pernah keluar kamar, non Casi tahu sendiri sebabnya. kalau Non Dara, dia sedang sibuk menyiapkan tugas akhir."
Elena memegang kompres di dahinya sambil memijit sedikit area kepala. Rasanya sudah lebih baik. Bibi Mae dengan telaten merawatnya. Melihat kebaikan Maid itu, membuat Elena teringat akan sosok Ibunya yang penyayang.
Elena tak lagi bertanya tentang keluarga Valentino jika terlalu banyak dia khawatir Bibi Mae akan curiga. "Baiklah, Bi. Aku tidak bisa mengingat banyak hal, telah terjadi suatu hal padaku. sekarang dimana Jordan? Dia menangis mencariku bukan?"
Bibi Mae menggeleng pelan dengan senyum lebar. "Tuan kecil masih tidur nyenyak. Non Casi tidak perlu khawatir. sekarang anda istirahat saja."
Elena seketika mengernyit. "Lalu kenapa Bibi tadi bilang Jordan menangis?"
"Maaf, Non. saya berbohong," aku Bibi Mae sambil menunduk. Dia tahu Casandra paling benci dibohongi. Sebenarnya Dia telah melihat perlakuan Esma dan anaknya yang semena-mena hingga tega melukai Elena yang berusaha menghindar. Sehingga Bibi Mae tak tega membiarkan itu terjadi. Akhirnya dia beralasan dengan membawa nama Jordan.
Elena pun menghela napas panjang. Dia merasakan kekhawatiran dalam diri Bibi tua itu yang masih membekas. "Bibi tidak perlu melakukan itu. aku tidak ingin anda terkena masalah gara-gara ikut campur. lain kali jangan diulangi," ucap Elena.
Terdengar tegas namun sikapnya justru memperlihatkan kelembutan seorang majikan.
Bibi Mae memberanikan diri untuk melihat mimik muka Elena. Tidak ada kemarahan sama sekali disana. "Baik, Non," balasnya tak membantah.
"Sekarang Bibi boleh keluar, aku ingin istirahat. terimakasih telah mengobatiku," tutup Elena sambil merebahkan badannya di ranjang.
"Sudah menjadi tugas saya. Jika Non butuh apa-apa, langsung panggil saya saja, atau Zuma. Dia juga Maid di rumah ini," tambah Bibi Mae.
Elena mengangguk dengan lemah. Dia bahkan seperti kehabisan tenaga setelah ribut dengan para saudara iparnya. Sekarang baru tergambar jelas dalam kepalanya bagaimana keadaan keluarga Valentino. Sangat jauh dari kata tentram.
Beruntung tadi ia sempat menyantap pasta bersama Alex, setidaknya masih ada cadangan makanan dalam perutnya hingga siang nanti sambil ia mencari tahu keseluruhan tentang keluarga ini.
***
Elena terbangun setelah matahari mulai menyingsing tinggi-tinggi. Dia sedikit geli, ada tangan yang membelai pelan wajahnya sambil mencium pipinya.
Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia mendapati sosok mungil tengah tersenyum manis disampingnya. "Jordan?" sapa Elena dengan sumringah. dia adalah satu-satunya alasan Elena untuk tetap bertahan di rumah neraka ini.
"Mommy. Are you tired?" tanya Jordan dengan polos.
"No. Mommy hanya ketiduran," balas Elena.
Memang dia merasa tubuhnya sangat lemas saat kehilangan banyak darah tadi. kini wajahnya sedikit pucat.
"Jordan sudah makan?"
"Sudah, tapi masakan Bibi Mae tidak lezat. aku ingin makan pagi bareng Mommy."
Elena mencubit pipinya dengan gemas. Dia tahu Jordan hanya beralasan agar bisa bermanja-manja dengannya. Akhirnya ia turun dari ranjang dan menuruti permintaan keponakannya.
"Kalau begitu kita ke dapur sama-sama yuk. Mommy buatkan pizza mozarela yang lembut sangat," balas Elena dengan logat menggoda.
"Waaaaah mau mau." seketika Jordan melonjak kegirangan.
Keduanya pun segera ke pantry dekat dapur untuk mengambil bahan-bahan yang diperlukan. Bahkan rumah ini juga menyiapkan apapun kebutuhan penghuninya.
"Tante Dara!" pekik Jordan sambil melompat ke arah Dara. dan langsung disambut olehnya.
"Hei, jagoan. Kamu sudah bangun?" tanya Dara
"Yah. Aku mau buat pizza sama mommy," teriak Jordan girang.
Dara seketika mengernyit. Seumur-umur Casandra tidak pernah mau masuk ke dapur. Dilihatnya kening Elena yang tertutup perban dan kain kasa. Sedikit penasaran bagaimana dia bisa mendapat luka itu.
"Mau membantuku?" tanya Elena ragu. Elena sadar Dara bukan gadis yang mudah didekati, tetapi mengingat usia keduanya berdekatan pastilah ada sedikit kecocokan.
"Tidak. Ada hal yang harus kukerjakan," sahut Dara beralasan. Tentu saja dia menolak. Selama ini dirinya dan Casandra tidak pernah akur. "Aku permisi."
Elena menghela napas pelan. Sulit sekali mencari kawan dalam keluarga ini. Semua orang berdiri masing-masing tanpa saling sapa.
"Mommy. Ayo! katanya mau buat pizza," rengek Jordan.
"Ah, ya Sayang," jawab Elena tergagap.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
Suara bariton milik Alex membuat keduanya menoleh serempak. Bukankah dia sudah berangkat sejak tadi. Pikir Elena.
"Papa! Mommy mau buatkan Jordan pizza."
"Oh ya? Boleh Papa ikut membantu?" tanya Alex sambil mencium kening putranya.
"Boleh dong, Papa!"
Alex sadar ada yang tidak beres dengan Casandra. Dia mendekatinya dan melihat ada luka di keningnya yang dibalut perban. "Siapa yang menyakitimu?"
"Bukan apa-apa," jawab Elena cepat. Dia enggan membahas kejadian yang menimpanya.
"Siapa yang berani menyakitimu?" ulang Alex dengan nada tinggi menuntut jawaban.
bersambung...