Dengan berat hati Elena kembali ke meja makan. "Kenapa kau selalu menyebalkan begini," keluh Elena kesal.
"Karena kau telah membuat perusahaanku berantakan!" Tegas Alex ketus.
"Biar aku perjelas. Kau telah menjual saham perusahaan tanpa sepengetahuanku, dengan keuntungan yang fantastis. Belum cukup lagi kau bahkan membawa kabur uangku untuk kesenanganmu sendiri. Pikir, Casi! dimana kau letakkan otakmu." darah Alex mulai mendidih mengingat semuanya.
Sambil dongkol setengah mati Elena menuruti perkataan Alex. Dia pun duduk dihadapannya dengan terpaksa. Tentu saja dia tidak pernah melakukan hal memalukan itu. Dia hanya korban disini. Perkataan Alex sungguh kasar.
Alex kembali mengatur napas. Melihat Elena menunjukkan sikap patuh dia pun mengangguk puas. "Bagus. begitulah seharusnya kau bersikap. Sadar diri, Casi," tambahnya.
"Setidaknya aku bukan orang yang sombong dan angkuh sepertimu," balas Elena asal.
"Apa kau bilang?"
"Tidak. Makan saja, anggap aku tidak pernah ada," timpal Elena.
Alex memandangnya intens sampai Elena risih dibuatnya. Dalam benak lelaki itu, Casandra sudah jauh lebih manis dibanding sebelumnya. Bahkan masakannya begitu lezat memanjakan lidah. "Apa kau ingin melakukan sesuatu setelah ini?" tanya Alex kembali.
"Itu bukan urusanmu. Sejak kapan kau mencampuri urusan orang lain?" sela Elena muak.
"Kau masih istriku yang sah, Casi. aku berhak atasmu sepenuhnya. Termasuk mengawasi kamu. dan Sejak kau mengacaukan perusahaan, sejak itulah kebebasanmu akan terenggut," urai Alex dengan jelas. Bahkan lelaki itu tak berkedip sedikitpun.
Elena berdecak pelan. Dia sadar setelah ini hari-harinya akan semakin menghimpit. Memerankan Casandra harus siap dengan segala resiko. "Baiklah. Akan ku lakukan keinginanmu sesuai dengan porsiku sebagai istrimu. Tetapi ingat, Lex. Lelaki dipegang ucapannya. Setelah semua beres, Kau harus secepatnya menceraikanaku," jawab Elena dengan tenang.
"Tidak masalah," sahut Alex santai. Sebenarnya dalam hati sedikit kecewa. "Aku sudah selesai."
Elena bernapas lega melihat sarapan di piring habis tak bersisa. Dia tak perlu berlama-lama disamping pria batu ini.
"Antarkan aku ke depan dan bawakan tasku," perintah Alex lagi.
"Hah?" Elena melotot.
"Apa kau tidak dengar?" ulang Alex dengan suara tinggi.
"Kau pikir aku pengasuhmu? Kau kan bisa sendiri," seloroh Elena.
Wanita itu beranjak dari kursi dan melangkah hendak meninggalkan Alex sebelum tangan kekar milik pria itu mencekalnya kuat. "Turuti perintahku atau kau akan mendapat banyak masalah." Alex menatapnya tajam. Tatapan yang menghunus siapapun musuhnya.
Elena sampai bisa mencium aroma parfum Alex, bahkan dia bisa menghirup deru napas dari mulutnya yang hanya berjarak beberapa senti saja. Wanita itu tak berani menjawab. Wajah keduanya begitu dekat tanpa sekat.
Alex sedang menunjukkan pengaruhnya. Akhirnya Elena mengangguk sambil menahan amarahnya. "Bagitu lebih baik," ucap Alex penuh kemenangan.
Elena pun segera mengalihkan pandangan dan menyambar tas kerja Alex. Membuat pria itu semakin yakin jika istrinya itu tengah kesal. namun Alex justru tertawa dalam hati.
"Ayo. Tunggu apalagi. Kau pikir aku hanya merawatmu saja disini?" ujar Elena.
Pria itu hanya mengulas senyum simpul. Tanpa sepatah kata pun dia mengekor dibelakang istrinya.
Alex berjalan berdampingan dengan Elena menuju mobil yang sudah siap menunggunya di halaman depan. Limosin warna hitam mengkilat. "Aku pergi, Casi. Baik-baik di rumah. Kau tidak perlu lagi ke perusahaan lagi. cukup diam dan jadilah wanita baik," tegas Alex sekali lagi.
"Yah. terserah." Elena berpikir Alex mulai banyak omong.
Pria itu segera menaiki mobilnya dan menghilang di pelataran halaman yang luas. Elena menyaksikan kepergiannya dengan girang.
"Menyusahkan saja," gerutunya.
Masuk ke dalam rumah sambil berjalan santai. Berharap tidak ada lagi drama-drama menyebalkan yang ia alami setelah ini.
"Oh. Rupanya Nyonya besar sudah kembali."
Ucapan itu sontak membuat Elena menoleh. Seorang wanita paruh baya dengan gaya nyentrik sedang menyilangkan kakinya di sofa ruang tengah.
Di sisi kanan kirinya ada dua perempuan muda yang juga tengah memandangnya sinis. Jika dilihat salah satunya seumuran Elena, dan yang lain seumuran Dara, adik Alex.
"Baru saja kembali kau sudah belagu. Beraninya membuat Kakakku dalam masalah," sahut perempuan di sisi kanan. kakinya melangkah mendekati Elena dan menjambak rambutnya.
"Kau ingin cari gara-gara lagi dengan kami hah? wanita sialan!" umpat dia.
"Lepaskan!" tegas Elena mulai kesakitan. firasatnya mengatakan ini buruk. Bukan melepas, wanita itu justru menguatkan cengkeramannya sampai Elena meringis dibuatnya.
"Jangan terlalu kasar padanya, Marry. Dia sudah menghabiskan banyak uang Alex untuk foya-foya. Lihat saja rambutnya, dia ingin tampil beda sekarang," balas wanita paruh baya.
"Ha ha ha...."
Suara tawa ketiga wanita itu membuat Elena tak tahan. mungkinkah Casandra juga mengalami perundungan ini? Elena segera mendorong badan Marry dengan keras. hingga genggamannya terlepas. "Menjauh dariku," ucapnya.
"Ibu. Lihat apa yang dia lakukan padaku," rengek Marry.
"Kurang ajar sekali kau beraninya menyentuh putriku," balas wanita paruh baya dengan senyum licik. Dia segera bangkit dan mendekati Elena. "Oh, jadi benar kau semakin merawat tubuhmu?" bisiknya. dan
Plak
Tamparan keras mendarat di pipi Elena. Marry tersenyum puas. Dengan semangat dia menghampiri ibunya. Tak cukup sampai disitu, dia juga mendorong Elena hingga jatuh tersungkur.
Bukan tak mau membalas, Elena sadar dia berhadapan dengan wanita tua. Selama ini dia selalu menghormati yang lebih tua. Tetapi siapa wanita yang dipanggil Ibu ini? pikirnya.
"Kenapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Elena dengan polosnya.
"Kenapa katamu? hei, jal*ng. Kau telah banyak membuat masalah di keluarga ini. Sudah bagus kau pergi, tidak perlu kembali," balas Marry tajam.
"Beri saja dia pelajaran yang setimpal karena telah menyakiti Kak Steve, Kak," timpal gadis paling muda yang sedari tadi masih duduk menyaksikan.
Sekarang Elena paham, mereka ini pasti saudara Steve dan wanita tua itu ibunya. Apa hubungan mereka dengan Alex.
"Kau benar, Bianca!" seru Marry gembira.
"Ibu, bisakah tolong pegangi dia," lanjutnya.
"Tentu Sayang. dengan senang hati," jawab paruh baya dengan lembut.
Wanita tua itu pun dengan sigap mendekat dan menarik paksa kedua tangan Elena dan memitingnya ke belakang.
"Apa yang kalian lakukan. lepaskan, jangan menggangguku," teriaknya mulai kesal.
Elena terpaksa menarik tangannya kuat dan membalikkan badan menghadap si paruh baya sambil berkata "Anda seharusnya malu dengan umur. Wanita semakin tua akan semakin bijak bukan justru bersikap kasar," cerca Elena.
"Kurang ajar, beraninya kau mengatakan itu padaku," hardik Ibu tua.
Tangannya melayang ke udara hendak menampar Elena tetapi ditepis dengan mudah. Elena mulai berjaga-jaga. Dia tidak akan membiarkan dirinya ditindas.
"Lepaskan wanita sialan," teriaknya.
"Anda harus bisa menjadi penengah seharusnya jika-"
Prang
"Aaargh!" pekik Elena kesakitan.
Belum sempat ia selesaikan kalimatnya, rupanya Marry diam-diam sudah menyambar vas bunga di meja dan memukulkannya ke kening Elena saat ia membelakangi dan cekcok dengan ibunya.
Darah segar segera mengalir di pelipis Elena. dia meringis kesakitan. Marry memukulnya dengan keras. bahkan pecahan kecil vas itu ada yang tertancap di sisi keningnya.
"Rasakan itu pembawa sial," ujar Marry puas.
"Itu akibatnya jika kau melawan kami. kau itu hanya sampah tidak berguna di keluarga ini," timpal paruh baya dengan senyum lebar.
Elena memegangi keningnya agar darah tak mengucur semakin deras. sambil meraba-raba apa masih ada yang melukai kulitnya.
"Permisi. Maaf, Nyonya. Tuan kecil sedang menangis mencari anda," suara Bibi Mae membuyarkan semuanya. mereka serentak menoleh pada Bibi tua itu.
"Kau ini mengganggu saja!" omel paruh baya dengan kesal. Dia belum menyelesaikan pertunjukannya.
bersambung